- Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kebandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, bertani menggunakan bahan organik. Sugiri, Ketua KTH Kopel, mengatakan kelompoknya berkomitmen menggunakan pupuk organik, meski tahap percobaan.
- Masyarakat Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, yang didampingi Absolute Indonesia, lembaga swadaya masyarakat lokal, tahun 2023 mendapatkan izin pengelolaan Perhutanan Sosial melalui skema Kemitraan Konservasi bersama TNGHS, melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS). Jumlah penerima SK sebanyak 33 KK.
- Dengan 84,03 persen wilayahnya masuk kawasan TNGHS, Desa Cipeteuy tak hanya menjadi penyangga secara geografis, melainkan juga kultural dan ekologis.
- Hingga saat ini, tercatat 180 jiwa masyarakat Cipeuteuy ikut program Kemitraan Konservasi. Luas areanya 16,54 ribu hektar dalam skema pemulihan ekosistem.
Tangan Tirta (43) cekatan memetik kacang panjang di lahan garapannya, ditemai sang istri, Tiana (42).
“Tumbuh subur berkat pupuk kambing peliharaan kami,” terangnya, Rabu (12/2/2025).
Tirta merupakan bendahara di Kelompok Tani Hutan (KTH) Kopel yang secara legal memiliki akses pengelolaan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Pola ini melalui skema Perhutanan Sosial dengan model Kemitraan Konservasi.
Lelaki asal Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kebandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, bilang untuk menjaga kesuburan tanah, dia gunakan pupuk dan pestisida organik.
“Ramah lingkungan. Bahannya ada di sekitar lahan dan biaya pembuatannya terjangkau.”
Tirta juga menanam cabai, buncis, dan tomat bergantian. Rotasi dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah. Tirta menyadari, transisi menuju pertanian organik memerlukan waktu.
“Belum bisa sepenuhnya, bertahap. Sesekali pakai bahan kimia untuk basmi hama,” imbuhnya.
Baca: Akses Terbatas, Masyarakat Kasepuhan Jamrut Tuntut Pengakuan Wilayah Adat

Pertanian organik
Sugiri, Ketua KTH Kopel, mengatakan kelompoknya berkomitmen menggunakan pupuk organik, meski tahap percobaan.
“Untuk padi, kami sudah mengurangi pupuk kimia hingga 100 persen. Tapi untuk cabai dan tomat, kami masih kesulitan,” ungkapnya.
Metode yang diterapkan adalah penggunaan bokashi dan pupuk cair. Bokashi, yang terbuat dari bahan organik diproduksi para anggota kelompok. Mereka juga memproduksi pupuk organik cair, meski masih terbatas.
“Belum semua petani beralih organik, butuh waktu.”
Menurut Sugiri, petani di kelompoknya juga menanam alpukat, durian, dan pisang. Buahnya sangat bermanfaat dan pohonnya sebagai pelindung tanah serta penyeimbang ekosistem hutan di kawasan Halimun-Salak.
“Kami tanam sekitar 200 pohon per hektar. Sekitar 100 pohon merupakan tanaman keras endemik, sedangkan sisanya pohon buah.”
Pohon keras yang dimaksud adalah puspa, raksamala, dan huru. Sedangkan pohon buah adalah alpkuat, durian, jambu kristal, dan petai.
Di kelompok Kopel, agroforestri tidak hanya menanam pohon, melainkan juga menciptakan sistem saling mendukung antara flora, fauna, dan manusia. Petani di kawasan penyangga TNGHS ini berkomitmen menjaga kelestarian hutan dan lingkungan.
“Untuk memastikan tidak ada pembalakan liar maupun perburuan ilegal, kami rutin patroli.”
Baca: Kasepuhan Cibedug, Potret Perjuangan Warga Adat yang Hidup dalam Tradisi

Pengelolaan perhutanan sosial
Sistem pertanian organik maupun agroforestri yang diterapkan KTH Kopel, merupakan hasil belajar dari Perkumpulan Absolute Indonesia dan Yayasan KEHATI.
Muhammad Kosar, Ketua Badan Pengurus Absolute Indonesia, menjelaskan bahwa sebelumnya petani di kawasan TNGHS menghadapi ketidakpastian hukum dalam pengelolaan lahan.
“Setelah ada kejelasan, kami merancang jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lokal. Juga, berusaha menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekologis dan ekonomi,” ujarnya, pertengahan Februari 2025.
Masyarakat Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, yang didampingi Absolute Indonesia, lembaga swadaya masyarakat lokal, tahun 2023 mendapatkan izin pengelolaan Perhutanan Sosial melalui skema Kemitraan Konservasi bersama TNGHS, melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS). Jumlah penerima SK sebanyak 33 KK.
Absolute juga membantu petani memperoleh bibit unggul dan menyediakan pelatihan pengelolaan lahan yang baik, serta membangun kelembagaan badan usaha milik petani (BUMP). Satu inovasi penting adalah model bagi hasil antara petani dan kelompoknya, yakni 80 persen untuk petani dan 20 persen BUMP.
“Petani merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hasil panen, sedangkan BUMP berperan memastikan kelancaran pemasaran.”
Baca juga: Nasib Warga di Sekitar Pembangkit Panas Bumi Gunung Salak

Desa kultural dan ekologis
Dengan 84,03 persen wilayahnya masuk kawasan taman nasional, Desa Cipeteuy tak hanya menjadi penyangga secara geografis, melainkan juga kultural dan ekologis.
Budhi Chandra, Kepala Balai TNGHS, mengungkapkan sejak lama masyarakat Cipeteuy menjalin hubungan harmonis dengan hutan sekitar.
Selama ini, masyarakat setempat menjadi garis terdepan mendukung keberhasilan program-program TNGHS. Sebut saja, aksi Green Coridor Inisiatif, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), juga berpartisipasi dalam Kemitraan Konservasi dan Kampung Proklim.
“Mereka saksi sejarah bagaimana perjalanan kawasan hutan ini berevolusi dari mulai ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi, hingga menjadi kawasan konservasi,” jelasnya, Selasa (15/4/2025).
Masyarakat juga berkembang secara budaya dan kearifan lokalnya, dengan konsep ‘gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumateun, sempalan kebonan, pasir talunan, datar sawah, lebak caian, legok balongan’.
Dengan jumlah penduduk 7.332 jiwa, sebanyak 34,26 persen bergantung pada pertanian. Namun, bertani di kawasan penyangga taman nasional bukan tanpa tantangan. Konflik tenurial dan keterbatasan akses menjadi masalah yang umum terjadi.
Inilah, lanjut Budhi, pentingnya peran Kemitraan Konservasi yang difasilitasi pihak balai.
“Hingga saat ini, tercatat 180 jiwa ikut program Kemitraan Konservasi. Luas areanya 16,54 ribu hektar dalam skema pemulihan ekosistem.”
Melalui metode ini, masyarakat diajak terlibat langsung dalam legalisasi pengelolaan lahan yang sebelumnya dianggap ilegal. Mereka diberi akses kelola yang diatur dan diawasi dengan prinsip konservasi.
Aktivitas pertanian dilakukan dengan pendekatan agroforestri, memadukan tanaman endemik dan pohon bernilai non-kayu.
“Kami tidak bisa melindungi wilayah sendirian. Masyarakat adalah subjek pembangunan kawasan.”

Dituturkan Budhi, tidak hanya manfaat ekonomi hasil hutan bukan kayu yang diperoleh, masyarakat juga berkontribusi pada perbaikan kualitas lingkungan.
Program yang menjadi sorotan, salah satunya adalah kerja sama antara pihak balai taman dengan Perkumpulan Absolute, yang berlangsung sejak 2020 dan berakhir pada 2025.
Evaluasi terbaru menunjukkan, capaian kinerja program ini mencapai 65 persen, dengan pemberdayaan masyarakat menjadi pekerjaan utama.
“Keberhasilan program kami ukur melalui monitoring dan evaluasi implementasi sebagaimana menjadi bagian perjanjian kerja sama.”
Budhi memaparkan, meski berbagai program berjalan positif, namun Balai TNGHS menghadapi tantangan besar. Tahun 2025, alokasi anggaran dipangkas 25 persen sebagai bagian kebijakan efisiensi nasional.
Hal lain, perubahan orientasi generasi muda desa penyangga yang kini lebih tertarik pada sektor industri ketimbang kelestarian hutan.
“Ini tantangan klasik, luas kawasan dan kompleksitas masalah tidak sebanding dengan ketersediaan anggaran dan sumber daya manusia,” tandasnya.