Terancam Punah, 6 Fakta Dampak Krisis Iklim pada Produksi Kopi

3 weeks ago 40

Bagaimana rasa kopimu hari ini? Rutinitas minum kopi di pagi hari sebelum mulai beraktivitas atau siang hari saat kantuk menyerang menjadi sebuah kebiasaan mayoritas masyarakat Indonesia. Tapi tahukah kamu jika kopi yang kamu minum hari ini terancam krisis iklim?

Penelitian menyebutkan 25 tahun lagi diprediksi sekitar 80% produksi kopi Arabika terdampak oleh iklim. Dampaknya akan menurunkan produktivitas kopi arabika dan robusta hingga 50% karena sulitnya ketersediaan lahan. Tak hanya itu, akan ada spesies kopi yang akan hilang karena kesulitan beradaptasi dengan iklim. 

Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, para petani kopi telah merasakan penurunan produktivitas akibat cuaca yang tak menentu. Data BPS Kabupaten Enrekang menunjukkan tren penurunan produksi hingga 8,8% dalam 3 tahun terakhir (2021-2023). Padahal, kopi menjadi komoditas andalan tak hanya di Kabupaten Enrekang, tapi juga Indonesia. Ribuan petani menggantungkan hidup mereka pada komoditas ini.

Petani memetik biji kopi arabika yang menjadi andalan masyarakat Gayo. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Para petani kopi liberika di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi juga mengalami hal yang sama. Selain cuaca tak menentu, intrusi air laut membuat tanaman kopi menjadi layu dan mati perlahan. Seperti apa tantangan para petani kopi yang terancam punah akibat krisis iklim, berikut 6 faktanya:

1. Sejumlah spesies kopi terancam punah

Analisa Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) bersama Conservation International, Global Coffee Platform, HRNS Coffee Climate Initiative dan Specialty Coffee Association (2019) menyebutkan ada tanda-tanda dampak perubahan iklim pada perkebunan kopi di 15 negara. 90% diantaranya merupakan negara penghasil kopi global, seperti Amerika, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Salah satunya, sekitar 50% kecocokan tanah untuk ditanami kopi akan berkurang. Bahkan, 60% spesies kopi liar terancam punah akibat krisis iklim. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan air, proses pembungaan, perkembangan biji kopi, serta hama dan penyakit tanaman. 

Baca juga: ‘Emas Hitam’ dari Enrekang Beradu Nasib pada Cuaca

Petik kopi di Desa Ibun, Kamojang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

2. Luas lahan meningkat, tapi produktivitas kopi menurun

Misalnya saja di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, data Badan Pusat Statistik menunjukkan terjadi peningkatan luas perkebunan hingga 6,7% tapi produktivitas turun hingga 8,8% dalam 3 tahun terakhir (2021-2023). Selain itu, penurunan hasil produksi kopi juga berbanding lurus dengan curah hujan Kabupaten Enrekang yang kian menurun drastis pada periode yang sama.

Baharuddin, dosen bidang Hasil Hutan Bukan Kayu Universitas Hasanuddin menjelaskan kopi adalah komoditas yang bergantung dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah menimbulkan dampak yang signifikan bagi hasil produksi kebun kopi. 

Penelitian Braken et al. (2023) juga menunjukkan banyaknya kejadian cuaca ekstrim memicu peningkatan populasi hama dan penyakit. Imbasnya, produktivitas menurun dan banyak area yang menjadi tidak cocok untuk produksi kopi. 

Baca juga: Cerita Petani Kopi Gayo Terancam Tambang Emas

Biji kopi arabika yang sudah kering disortir untuk mendapatkan yang terbaik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

3. Perempuan petani kopi terkena dampak krisis iklim

Bukan sekedar minuman, kopi sumber kehidupan bagi sekitar 125 juta orang di seluruh dunia. Dari proses penyiapan lahan, penanaman, panen hingga penjualan, perempuan punya peran yang tak dapat dielakkan. Sebanyak 70% tenaga kerja di industri ini adalah perempuan. Namun, hanya 20% hingga 30% perempuan mendapat kesempatan untuk memimpin perkebunan kopi. Ketika krisis iklim mengancam keberlangsungan kopi, perempuan menjadi pihak yang paling rentan terdampak. 

Baca juga: Ekstensifikasi Kebun Jagung Mengancam Kopi di Gunung Tambora

4. Cuaca tak menentu, petani kopi hingga pemilik kedai khawatir

Cerita Agus, petani Kabupaten Enrekang bilang hasil kebun kopinya menurun hingga 50%. Begitu juga, Nursam Arifuddin, petani kopi robusta, yang terkena imbas krisis iklim. Jika cuaca tak menentu seperti ini, katanya panennya menurun drastis. 

Dampak krisis iklim tak hanya pada kebun kopi, para pemilik kedai kopi juga mengalami kesulitan. Agil Valentino, pemilik kedai kopi Majao di Makassar juga mengalami kesulitan pasokan kopi karena produktivitas yang menurun dari petani. Padahal biji kopi dari Enrekang punya penikmat tetap.  

Baca juga: Perempuan Renah Alai Bangun Kemandirian dan Jaga Hutan Lewat Kopi

Secangkir kopi dari biji kopi yang diolah petani kopi di Jambi. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

5. Pendapatan petani dan tingkat konsumsi berbanding terbalik

Data Organisasi Kopi Internasional (ICO) memaparkan produksi kopi selama setahun sejak tahun 2020 telah menurun sebanyak 1,7% tapi konsumsinya melejit hingga 2-2,5%. 

Sementara itu, meski minum kopi semakin populer, tingkat pendapatan petani kopi malah tergolong rendah. Ada 25 juta petani kecil yang menyumbang 80% total produksi kopi. Sayangnya, harga setengah kilogram kopi yang mereka hasilkan hanya dihargai kurang dari USD 1.

6. Asia, Brasil, dan Etiopia menjadi wilayah paling terdampak

Studi oleh Bunn et al. (2014) menyebutkan luas lahan yang cocok menjadi kebun kopi akan turun sebanyak 50%. Ini diprediksi karena Asia akan mengalami kerusakan lingkungan. 

Di Asia, wilayah yang cocok untuk penanaman kopi masih tertutup hutan. Artinya, ada ancaman deforestasi yang menghantui budidaya kopi di masa mendatang. Kondisi ini sudah terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Afrika sub-sahara, sebesar 25% di Peru dan 55% wilayah hutan di Uganda beralih menjadi pertanian kopi. 

Selain Asia, ada pula Utara Brasil dan Timur Etiopia. Dalam studi Richardson et al. (2023), kedua wilayah itu adalah wilayah paling rentan. Ada gangguan iklim seperti El Nino, La Nina, dan Osilasi Madden Julian yang paling tidak terjadi sebanyak empat kali dalam satu tahun. (***)

*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan sarjana Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender.

‘Emas Hitam’ dari Enrekang Beradu Nasib pada Cuaca

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|