Saat Korea Selatan Pangkas Subsidi Energi Biomassa, Bagaimana Ekspor Pelet Kayu dari Indonesia?

2 weeks ago 35
  • Di bulan Desember 2024 lalu, Pemerintah Korea Selatan telah mengumumkan akan mengakhiri subsidi untuk semua proyek biomassa baru untuk pabrik milik negara, efektif Januari 2025.
  • Selain itu, dukungan keuangan pemerintah untuk pabrik biomassa khusus yang menggunakan biomassa impor akan dikurangi secara bertahap, sementara dukungan untuk pabrik pembakaran bersama milik swasta akan dihapuskan secara bertahap selama dekade berikutnya.
  • Impor pelet kayu Korea Selatan dari Indonesia terus tumbuh dari sekitar 50 metrik ton menjadi 68.025 metrik ton di antara tahun 2021 dan 2023.
  • Para aktivis pendukung rencana ini menyebut pengurangan subsidi akan membantu meringankan tekanan pada hutan tropis di Asia Tenggara.

Dalam perubahan kebijakan yang besar, Korea Selatan pada tanggal 18 Desember 2024 lalu telah mengumumkan negara ini akan mengakhiri subsidi energi terbarukan untuk proyek biomassa baru, serta untuk pembangkit listrik tenaga batubara dan biomassa milik negara sejak bulan Januari 2025.

Pernyataan itu juga mencakup komitmen Korea Selatan untuk melakukan pengurangan bertahap subsidi yang mendukung pembangkit listrik yang sudah ada yang menggunakan bahan bakar biomassa hutan impor.

Perubahan ini merupakan “pembatalan kebijakan [biomassa] terbesar di Asia,” jelas lembaga nirlaba lingkungan Korea Selatan Solutions for Our Climate (SFOC). Korea Selatan saat ini merupakan pengguna biomassa hutan terbesar kedua di Asia untuk energi, dengan mengimpor 3,9 juta metrik ton pelet kayu hingga April 2024.

Para aktivis pendukung rencana ini menyebut pengurangan dukungan untuk biomassa impor ini akan membantu meringankan tekanan pada hutan yang terancam oleh pasar biomassa, secara khusus hutan tropis di Asia Tenggara.

Pelet kayu yang diproduksi oleh PT Gorontalo Citra Lestari, perusahaan biomassa yang beroperasi di provinsi Gorontalo . Dok: Forest Watch Indonesia.

Melepas Ketergantungan pada Pelet Kayu Impor

Reformasi kebijakan biomassa Korea Selatan merupakan hasil inisiatif antara Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Kementerian Kehutanan Korea, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Bersama-sama, mereka memutuskan untuk membatasi ketergantungan negara tersebut pada pelet kayu impor sebagai tanggapan atas kritik tentang dampak negatif biomassa terhadap hutan dan iklim.

Hingga akhir tahun 2024, Korea Selatan telah mensubsidi biomassa melalui program kredit energi terbarukan (Renewable Energy Certificate, REC). Dalam masa satu tahun terakhir, pemerintah telah memberikan sekitar USD688 juta untuk mendukung pembangkit listrik yang menggunakan biomassa guna memenuhi kuota listrik yang dibutuhkan.

Dalam kebijakan baru ini, subsidi untuk enam pembangkit listrik yang dimiliki oleh negara yang menggunakan batubara dan biomassa akan berakhir pada Januari 2025, sedangkan bobot REC untuk tiga pembangkit listrik khusus biomassa milik negara akan dihapuskan secara bertahap pada tahun 2027.

Sedangkan pembangkit listrik yang dimiliki oleh swasta, bobot REC untuk biomassa yang dibakar bersama batubara akan dihapuskan secara bertahap selama 10 tahun ke depan, sementara bobot REC untuk pembangkit listrik khusus biomassa akan dikurangi selama 15 tahun ke depan.

Penebangan pohon di konsesi perkebunan energi di Indonesia yang memasok pelet kayu ke Korea Selatan, memicu protes dari anggota parlemen Korea Selatan Moon Dae -Lim. Dok: Forest Watch Indonesia.

Impor Pelet Korea dari Indonesia

Korea Selatan mengimpor 84% pelet kayunya hingga awal tahun 2024, dengan 71% dari impor tersebut bersumber dari Asia Tenggara, terutama dari Vietnam. Namun, saat ini  juga sedang mengembangkan impor pelet kayu biomassa dari Indonesia.

Pada bulan Oktober lalu, Moon Dae-Lim, seorang anggota parlemen dari Partai Demokrat, partai oposisi di Korea Selatan, mengecam impor pelet kayu yang bersumber dari hutan alam yang ditebang dari Provinsi Gorontalo, Indonesia.

Saat itu, Moon pun menyerukan moratorium impor sementara pelet kayu Indonesia paralel dengan penyelidikan terhadap rantai pasokannya.

Diketahui bahwa pelet kayu asal Gorontalo diekspor oleh PT Biomass Jaya Abadi (BJA), yang membelinya dari dua perusahaan perkebunan sawit yang diubah menjadi biomassa yang beroperasi di area yang sama. Ketiga perusahaan tersebut disorot dalam laporan Moon, yang mengklaim Korea Selatan mengimpor 65% pelet kayu dari BJA.

Selain ke Korea Selatan, BJA juga mengirimkan pelet ke Jepang yang merupakan negara asal  Hanwa, sebuah perusahaan yang memegang 20% ​​saham di BJA.

Dalam Laporan yang diterbitkan pada bulan Oktober 2024 oleh Koalisi LSM: Earth Insight, Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Solutions for Our Climate (SFOC), Trend Asia, dan Mighty Earth, disebut Korea Selatan menerima sekitar 62% dan Jepang 38% dari ekspor pelet kayu Indonesia selama 2021-2023.

Antara tahun 2021 dan 2023, ekspor pelet kayu Indonesia ke Korea Selatan tumbuh dari sekitar 50 metrik ton menjadi 68.025 metrik ton, dan ekspor ke Jepang tumbuh dari 54 metrik ton menjadi 52.735 metrik ton, mengacu kepada angka yang dikumpulkan oleh Auriga Nusantara.

Rencana untuk memperluas penggunaan biomassa di dalam negeri sedang dalam tahap perencanaan. Sementara itu, deforestasi hutan untuk proyek-proyek biomassa telah muncul di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Pelet kayu yang diproduksi oleh PT Gorontalo Citra Lestari, perusahaan biomassa yang beroperasi di provinsi Gorontalo . Dok: Forest Watch Indonesia.

Beda Kebijakan dengan Jepang

Jika Korea Selatan telah mengambil langkah kebijakan pengurangan subsidi, negara tetangganya,  maka Jepang sebaliknya sedang dalam jalur untuk menjadi negara pengimpor pelet kayu terbesar di dunia pada tahun 2030.

Negara pengekspor bahan bakar biomasa ke Jepang adalah Vietnam, Kanada, Indonesia (yang terus meningkat), ditambah kemungkinan Negara Bagian California di Amerika Serikat .

Meskipun pemerintah Jepang telah menghapus insentif keuangan untuk proyek biomassa baru, pemerintahnya belum berkomitmen untuk menghentikan subsidi yang ada secara bertahap, dan pembangkit listrik biomassa yang sudah direncanakan akan tetap memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan pemerintah.

Jepang tidak hanya mengimpor pelet kayu Indonesia dalam jumlah yang terus bertambah. Jepang juga membantu mendirikan proyek biomassa di Indonesia untuk produksi energi negara itu sendiri. Mighty Earth melaporkan pada bulan Desember 2023 bahwa organisasi Jepang terlibat dalam 49 proyek cofiring biomassa di Indonesia.

“Ketika anggota parlemen Korea menyerukan moratorium impor biomassa dari Indonesia, para pembuat kebijakan Jepang melakukan hal sebaliknya,” ungkap Roger Smith, Direktur Mighty Earth Jepang, dalam emailnya kepada Mongabay.

Dorongan pengembangan pelbagai proyek biomassa ini dibantu sebagian, oleh Asia Zero Emission Community  (AZEC) sebuah aliansi pemerintah negara-negara yang dipimpin oleh Jepang pada awal tahun 2023. AZEC bertujuan untuk mempromosikan dekarbonisasi di seluruh Asia Tenggara melalui berbagai teknologi, termasuk bioenergi.

Perjanjian ini mencakup sembilan proyek biomassa di Indonesia, dari total 30 proyek di wilayah yang terkait dengan biomassa atau biofuel. Termasuk diantaranya, pembangunan pabrik pelet kayu, mengubah teknologi PLTU batubara menjadi biomassa sepenuhnya, atau mengubah sebagiannya menjadi cofiring batubara/biomassa.

Beberapa perusahaan raksasa dan pembiayaan Jepang terlibat dalam proyek ini, seperti Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries, dan IHI, serta lembaga publik seperti Japan International Cooperation Agency dan Nippon Export and Investment Insurance.

Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini dan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Benarkah ‘Co-firing’ Biomassa PLTU Itu Transisi Energi? Berikut Kajian Trend Asia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|