Menyoal Kebun Sawit Ilegal Beralih ke Agrinas Palma

1 day ago 4
  • Pemerintah mulai sita kebun-kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Dalam perjalanan, kebun sawit ilegal sitaan kemudian satgas serahkan kepada BUMN sebagai pengelola, PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas).
  • Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan,  sebenarnya hanya ada dua kebijakan yang harus negara ambil untuk mengatasi masalah sawit dalam kawasan hutan, yakni,  pelepasan atau mengembalikan jadi hutan kembali.  Hingga kini,  pemerintah tidak jelas dalam menentukan langkah.
  • Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, rencana penyerahan ke Agrinas tak ubahnya hanya pergantian aktor, dengan menggunakan penegakan hukum sebagai landasan. Langkah seperti ini, tak lebih perpindahan kuasa yang tidak memperhatikan akar masalah sesungguhnya. Kalau langkah tak cermat, khawatir berujung pada pelanggaran hukum, dan Agrinas berisiko terlibat dalam tindak pidana kehutanan itu.
  • Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, mengatakan,  pengambilalihan sawit ilegal di kawasan hutan oleh negara harus disertai pemulihan hak-hak masyarakat. Pasalnya, Perpres No. 5/2025 yang menjadi dasar kebijakan ini berisiko merugikan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, apalagi dengan pendekatan militer.

Pemerintah mulai sita kebun-kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Dalam perjalanan, kebun sawit ilegal sitaan kemudian satgas serahkan kepada BUMN sebagai pengelola, PT PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas).

Lewat Peraturan Presiden Perpres No 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang keluar akhir Januari 2025 terbentuk

Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH), dengan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Pertahanan, sebagai ketua pengarah.

Satgas PKH sudah mulai jalan. Bahkan, pada 23 Maret 2025, mereka sudah pendataan dan verifikasi terhadap objek kawasan hutan yang akan dilakukan penguasaan kembali.

Menurut data Satgas PKH, ada sekitar 1.177.194,34 hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan yang akan negara ambil alih. Dari target itu, 1.001.674,14 hektar sudah berhasil negara kuasai. Lahan-lahan sawit itu tersebar di sembilan provinsi, 64 kabupaten dan 369 perusahaan.

Febrie Adriansyah, Ketua pelaksana Satgas PKH juga Jampidsus Kejagung seperti dikutip dari Kumparan.com  mengatakan, pengambilalihan lahan sawit ilegal itu tak selalu berjalan mulus.

Dia bilang, ada saja kendala lapangan, termasuk belum melakukan penagihan denda bersamaan saat penguasaan kawasan.

“Saat ini, hal itu masih tahap pembahasan, seiring perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak berasal dari denda administratif di bidang kehutanan,” katanya masih dari Kumparan.com.

Selain itu, masih ada beberapa masalah hukum yang mereka terus identifikasi dan selesaikan. Satu contoh, beberapa aset yang Satgas PKH kuasai masih memiliki hak tanggungan di perbankan.

Kondisi ini berisiko secara umum, namun mereka sedang berupaya menyelesaikan melalui koordinasi dengan Kementerian BUMN.

Dia bilang, penertiban lahan sawit ilegal awalnya berdasarkan UU Undang Cipta Kerja. Karena masih banyak perusahaan tidak patuh, Perpres No. 5/2025 pun terbit untuk memperkuat itu.

Febrie bilang, peran Satgas PKH hanya untuk verifikasi atas lahan yang akan dikuasai.

“Setelah dikuasai, lahan sawit akan dicatat ulang oleh pemerintah, mulai dari Kementerian Keuangan hingga Kementerian Kehutanan.”

Dalam Perpres Nomor 5/2025, yang mewajibkan negara mengembalikan kawasan hutan yang disalahgunakan ke fungsi aslinya. Kebijakan ini awalnya dipahami sebagai upaya mengambil alih lahan yang dikuasai tanpa izin dan mengembalikan ke kondisi hutan semula.

Saat Satgas PKH akan menyerahkan 1 jutaan hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan ke PT Agrinas Palma Nusantara (Agrinas), BUMN yang baru terbentuk.

Bahkan, pada 10 Maret 2025, Satgas PKH sudah penyerahan tahap I kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan seluas 221.868,421 hektar kepada Agrinas. Sebelumnya kawasan itu dalam kuasa Duta Palma Group.

Pada 18 Maret, satgas lakukan penyitaan di kawasan yang dalam kelola PT Globalindo Alam Perkasa (Globalindo) seluas 12.069 hektaran.  Anak usaha Musim Mas ini merasa perusahaan punya izin lengkap dari izin usaha perkebunan sampai hak guna usaha (HGU).

Selanjutnya, pada 26 Maret 2025, Satgas PKH kembali menyerahkan seluas 216.997,75 hektar kepada perusahaan BUMN itu.

Penyerahan ini mereka klaim sebagai tindak lanjut Perpres Nomor 5/2025, yang mengatur kawasan hutan dalam penguasaan tanpa izin akan kembali ke negara dan dikelola sesuai kebijakan pemerintah.

Menurut Febrie, penyerahan ini menunjukkan komitmen pemerintah mengembalikan hak negara atas lahan yang terpakai ilegal, sambil memastikan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dia katakan, kebijakan ini bukanlah nasionalisasi, melainkan pengembalian aset negara yang dikuasai tanpa izin.

“Setiap langkah dilakukan transparan, melalui proses hukum yang jelas, serta mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat,” katanya.

Ilustrasi. Sawit ilegal terus ditebang, untuk dikembalikan fungsinya sebagai hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Tak jawab persoalan

Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti soal ini. Kebijakan rencana penyerahan 1 juta hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan kepada Agrinas mereka nilai tak menjawab masalah sebenarnya.

Upaya pemerintah itu hanya mempertahankan dan memperpanjang industri ekstraktif dengan menjaga sikut kapital negara.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan,  sebenarnya hanya ada dua kebijakan yang harus negara ambil untuk mengatasi masalah sawit dalam kawasan hutan, yakni,  pelepasan atau mengembalikan jadi hutan kembali.  Hingga kini,  pemerintah tidak jelas dalam menentukan langkah.

Penyerahan sawit ilegal dalam kawasan hutan ke Agrinas tidak memiliki skenario, tak jelas dan tak transparan dalam tata kelola.

“Apakah kebijakan akan pelepasan kawasan hutan atau pengembalian wilayah menjadi hutan kembali?”

Dia bilang, tidak ada kejelasan apakah aset akan menjadi milik negara atau tidak, apalagi beberapa masih proses hukum.

Pertanyaan lain, apakah penyerahan perkebunan sawit kepada Agrinas otomatis masuk dalam skema penyelesaian seperti dalam Pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja atau tidak.

“Atau justru masuk skema penguasaan kembali kawasan hutan seperti Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 5/2025, atau kena pendekatan pemidanaan sebagaimana dalam Pasal 7 perpres yang sama.”

Sebenarnya, perubahan UU Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan (P3KH) lewat UU Cipta  Kerja, melalui pasal-pasal sisipan 110A dan 110B menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian kasus perkebunan sawit dalam kawasan hutan. “Apakah melalui jalur pemidanaan atau melalui pemutihan dengan pemberian sanksi administratif berupa pembayaran denda.”

Regulasi itu juga tumpang tindih dengan mekanisme penyelesaian penguasaan lahan di kawasan hutan yang selama ini untuk masyarakat yang tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan.

Kondisi ini, katanya,  khawatir berdampak negatif terhadap diplomasi sawit Indonesia dan melemahkan komitmen negara dalam upaya menghentikan deforestasi.

Menurut dia, penyelesaian masalah sawit ilegal di kawasan hutan berisiko menjadi preseden buruk dalam tata kelola industri sawit.

Perusahaan-perusahaan sawit lain bisa menganggap,  pembangunan kebun sawit ilegal tetap dapat bisa karena ada proses pengampunan.

Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam penegakan hukum.

“Kebijakan pemutihan dan penyerahan sawit ilegal ke Agrinas bukan solusi tepat. Kami sejak awal menolak kebijakan ini, termasuk pelegalan sawit ilegal. Perbaikan tata kelola seharusnya menjadi langkah penting, bukan dengan melegalisasi sawit ilegal.”

Kalau pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan masalah sawit ilegal di dalam kawasan hutan, seharusnya penegakan hukum tegas dan melalui proses pengadilan.

Dengan begitu, kata Rambo, penyelesaian kasus bisa transparan, dan publik turut mengawal prosesnya.

“Pemerintah perlu lebih transparan dalam menjelaskan skenario penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan. Jika dikenakan denda, harus jelas perhitungannya dan tindak lanjutnya. Sebab, setiap lokasi memiliki kondisi dan cerita yang berbeda, hingga butuh penanganan yang sesuai.”

Peta sawit dalam kawasan hutan

Hanya ganti aktor

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, rencana penyerahan ke Agrinas tak ubahnya hanya pergantian aktor, dengan menggunakan penegakan hukum sebagai landasan.

Langkah seperti ini, katanya,  tak lebih perpindahan kuasa yang tidak memperhatikan akar masalah sesungguhnya. Kalau langkah tak cermat, khawatir berujung pada pelanggaran hukum, dan Agrinas berisiko terlibat dalam tindak pidana kehutanan itu.

Menurut Linda, pergantian pengelola tanpa solusi berbasis keadilan restoratif justru bisa menambah kompleksitas masalah. Meskipun lahan kena kelola institusi baru, kalau aspek hukum dan lingkungan yang mendasari masalah tidak tuntas, masalah pengelolaan akan terus berulang.

“Jika keputusan untuk memutihkan status kawasan hutan telah diambil, kita perlu bertanya, mengapa bukan perusahaan sebelumnya yang diberi kesempatan untuk melanjutkan pengelolaan lahan? Pada dasarnya, yang diperlukan pembayaran denda sesuai, tanpa perlu mengganti pengolah,” katanya kepada Mongabay.

Linda bilang, salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah kemampuan manajerial dari institusi baru yang akan mengambil alih pengelolaan lahan itu. Dia mempertanyakan,  apakah institusi baru, seperti Agrinas, memiliki kapasitas cukup untuk mengelola perkebunan secara profesional dan berkelanjutan, atau justru sebaliknya.

Pasalnya, kata Linda, pengelolaan perkebunan sawit bukan hanya soal menanam dan panen, juga banyak aspek lain, seperti keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan buruh. Juga, dampak sosial ekonomi, termasuk terhadap citra environmental social, governance (ESG) yang makin menguat di tingkat global.

“Tanpa adanya tata kelola yang baik, bukan tidak mungkin institusi baru ini justru akan menambah masalah yang sudah ada, seperti kerusakan lingkungan lebih parah, ketidakadilan terhadap buruh, dan ketidakpatuhan terhadap pajak.”

Selain itu, perlu ada jaminan bahwa Agrinas, sebagai institusi yang akan mengambil alih sawit ilegal, mampu memenuhi kewajiban perpajakan dengan tertib jangan sebaliknya.

Linda jabarkan tiga aspek penting yang harus menjadi perhatian utama dalam manajemen perkebunan.

Pertama; best practice dalam pertanian. Aspek ini merupakan praktik terbaik dalam pertanian harus jadi pedoman untuk memastikan kegiatan pertanian ramah lingkungan, efisien, dan menghasilkan hasil yang optimal. Ini mencakup penggunaan teknologi tepat guna, pemeliharaan tanah yang baik, serta pengurangan penggunaan bahan kimia yang merusak.

Kedua, kesejahteraan buruh. Aspek ini jadi satu faktor utama yang perlu jadi perhatikan. Buruh di perkebunan harus mendapatkan perlindungan hak, termasuk upah layak, jaminan sosial, serta kondisi kerja aman dan sehat. Tidak hanya dari sisi ekonomi, juga hak-hak sosial mereka harus dihormati.

Ketiga, kepatuhan terhadap kewajiban pajak. Aspek ini harus menjadi prioritas dalam manajemen perkebunan. Tidak ada alasan bagi pengelola perkebunan untuk mengabaikan kewajiban pajak.

Ketiga aspek itu, katanya, pada akhirnya akan ditanggung rakyat.

Masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan, katanya, akan paling terdampak oleh setiap keputusan pengelolaan lahan.

Menurut dia, kalau pengelolaan dengan tidak bijaksana, masyarakat akan menanggung dampak negatifnya, baik berupa kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, maupun kerugian ekonomi.

Selain itu, kata Linda, ketidakpastian dalam pengelolaan perkebunan dapat menambah beban masyarakat yang bergantung pada perkebunan.

Kalau pengelolaan oleh pengelola baru tidak berjalan baik, katanya, tidak hanya merugikan pengelola lahan, juga masyarakat sekitar yang harus menanggung risiko dari keputusan itu.

 Yitno Suprapto/ Mongabay IndonesiaIlustrasi. Pekerja tengah panen sawit perusahaan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Harus ada pemulihan hak masyarakat

Sementara Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, mengatakan,  pengambilalihan sawit ilegal di kawasan hutan oleh negara harus disertai pemulihan hak-hak masyarakat.

Pasalnya, Perpres No. 5/2025 yang menjadi dasar kebijakan ini berisiko merugikan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, apalagi dengan pendekatan militer.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga 2023, terdapat 2.768 desa dalam kawasan hutan. Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sekitar 28 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan hutan negara. Hingga Maret 2025, tercatat 110 kasus konflik melibatkan masyarakat adat, dengan sektor perkebunan skala besar sebagai penyumbang tertinggi.

Dengan data itu, kata Uli, dapat membuktikan, ada konflik tenurial yang secara historikal sudah lama terjadi, dan belum terselesaikan.

Menurut dia, Perpres No. 5/2025 maupun kebijakan lanjutan, termasuk penyerahan pengelolaan sawit ilegal kepada Agrinas, rentan mengusir masyarakat dari ruang hidup yang sepihak negara klaim sebagai kawasan hutan.

“Pengusiran masyarakat dari ruang hidup sangat mungkin terjadi. Apalagi yang mendorong kebijakan penertiban kawasan hutan ini adalah kepentingan investasi. Terlebih lagi, saat pemerintah sedang menggalakkan investasi berbasis lahan skala besar melalui proyek swasembada pangan dan energi,” kata Uli kepada Mongabay.

Masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan hutan, katanya,  terus menjadi korban berulang kali karena negara. Mulai dari penetapan kawasan hutan negara hingga kebijakan penertiban aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan. Semua kebijakan itu, katanya, makin meminggirkan masyarakat dari ruang hidup mereka.

Uli juga menilai, kebun sawit ilegal ke Agrinas tak akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Justru, kebijakan itu berisiko memperpanjang konflik agraria di sektor perkebunan. Pasalnya, sejumlah kebun sawit ilegal ternyata sudah masuk kebun plasma perusahaan.

“Artinya, ketika sudah diplasmakan, berarti ada masyarakat disana. Ketika negara mengambil alih lahan ini, yang paling terdampak langsung bukanlah korporasi, melainkan masyarakat.:”

“Korporasi justru tetap untung karena CPO [crude palm oil] tetap masuk ke mereka,” katanya.

Pengalihan sawit ilegal ke Agrinas, kata Uli, juga bisa menimbulkan pertanyaan sejauh mana negara akan menyelesaikan konflik agraria.

Dia juga pertanyakan keseriusan negara dalam memenuhi aspek pemulihan—baik pemulihan hak-hak masyarakat yang selama ini terlibat dalam konflik, maupun pemulihan terhadap kerusakan lingkungan.

Jangan sampai, kata Uli, pengalihan sawit ilegal kepada Agrinas hanya bertukar rupa saja, atau hanya pergantian aktor dengan pemain-pemain dari militer. Sedang konflik dengan masyarakat tidak selesai, dan tak ada pemulihan hak-hak masyarakat, maupun pemulihan terhadap kerusakan lingkungan.

“Jika hal itu terjadi, masyarakat hanya akan berhadapan dengan aktor yang berbeda, sementara masalah yang mereka hadapi tetap sama. Bedanya, pendekatan akan jauh lebih kuat dan represif, karena kini dilegitimasi oleh negara. Apalagi, Agrinas sebagian besar dari unsur militer.”

Rambo pun meminta,  ada pengecualian bagi masyarakat yang sudah menguasai kawasan hutan di bawah lima hektar untuk kepentingan menyambung hidup, bukan bisnis.

Sebagian masyarakat itu, katanya, tidak mengetahui apakah lahan yang mereka garap termasuk dalam kawasan hutan atau tidak.

*******

Aturan Tertibkan Kawasan Hutan, Benahi Tata Kelola atau Sebaliknya?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|