- Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan rencananya membantu petani di Majalengka, Jawa Barat, mengatasi serangan hama tikus. Caranya, menyediakan seribu ekor burung hantu. Apakah cara ini efektif dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem?
- Profesor Witjaksono, ahli hama dan penyakit tumbuhan dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), mengingatkan bahwa tikus sawah aktif siang dan malam, sementara burung hantu umumnya berburu malam hari.
- Walid Rumblat, Dosen Biologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan burung hantu bukan solusi instan mengatasi ledakan populasi tikus di lahan pertanian. Efektivitas harus diperhatikan, karena burung hantu tetaplah predator dengan kemampuan terbatas.
- Risiko yang perlu diwaspadai adalah efek ekologis introduksi massal burung hantu ke habitat baru. Jika burung yang didatangkan dari luar daerah, mereka bisa mengganggu keseimbangan spesies lokal. Dikhawatirkan, akan terjadi persaingan antar-spesies.
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan rencananya membantu petani di Majalengka, Jawa Barat, mengatasi serangan hama tikus. Caranya, menyediakan seribu ekor burung hantu.
Hal ini diungkapkan dalam kunjungannya di sentra penghasil padi dan jagung terbesar di Bumi Pasundan itu.
“Seribu ekor kali harga perindividu Rp150 ribu. Baik saya bantu, hari ini juga,” ucapnya, sebagaimana ditayangkan di berbagai media, Senin (7/4/2025).
Apakah cara ini efektif dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem? Pernyataan Prabowo yang merespons permasalahan petani dengan solusi ekologis itu, mendapat tanggapan dari ahli pertanian, akademisi, dan pegiat lingkungan.
Profesor Witjaksono, ahli hama dan penyakit tumbuhan dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), mengingatkan bahwa burung hantu di sawah tidak seefektif di kebun sawit.
“Penelitian kami di beberapa daerah menunjukkan hal tersebut. Tikus sawah, aktif siang dan malam, sementara burung hantu umumnya berburu malam hari. Teknologi trap barrier system (TBS) yang diterapkan di kawasan endemik tikus seperti di Kapanewon Moyudan dan Minggir, Sleman, terbukti efektif,” jelasnya, Rabu (9/4/2024) dikutip dari detikom.
Baca: Cerita Unik Burung Hantu dan Perang Melawan Hama Tikus

Burung hantu bukan solusi instan
Walid Rumblat, Dosen Biologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan burung hantu bukan solusi instan mengatasi ledakan populasi tikus di lahan pertanian.
Satu catatan kritisnya adalah efektivitas. Mereka tetaplah predator dengan kemampuan terbatas.
“Harus berhitung antara manfaat dan dampak negatif,” jelasnya, Jumat (11/4/2025).
Risiko yang perlu diwaspadai adalah efek ekologis introduksi massal burung hantu ke habitat baru. Jika burung yang didatangkan dari luar daerah, mereka bisa mengganggu keseimbangan spesies lokal. Dikhawatirkan, akan terjadi persaingan antar-spesies.
Risiko lain, apabila di sekitar sawah tidak ada pohon besar atau tempat bertengger, burung-burung ini bisa stres atau kabur.
Secara perilaku, burung hantu berburu dengan cara visual dan spasial. Mereka tidak akan menyisir setiap sudut sawah, melainkan hanya menyambar mangsa yang terlihat dari kejauhan.
“Mengincar dari ketinggian, menyambar, lalu terbang. Mereka tidak mengejar ke tengah tanaman rimbun.”
Terkait rencana Presiden yang akan mendatangkan seribu burung hantu, Walid menekankan pentingnya kajian mendalam.
“Harus ada riset, uji coba kecil-kecilan. Coba lepas 10 ekor, pantau setiap malam dan berapa banyak tikus ditangkap?”
Perlu dihitung, berapa jumlah realistis yang diperlukan untuk mengendalikan tikus di satu hamparan sawah.
“Selain itu, harus diperhatikan juga prinsip kesejahteraan satwa.”
Baca: Spesies Burung Hantu Ini Jadi Pahlawan Petani

Rancangan ilmiah
Ady Kristanto, Manager Animal & Welfare di Animalium Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa penggunaan burung hantu memang terbukti efektif sebagai predator alami tikus. Namun, pendekatannya perlu dirancang secara ilmiah dan tidak gegabah.
Dalam kondisi ideal, sepasang burung hantu mampu menjangkau area pertanian seluas 10-20 hektar. Jika dihitung kasar, seribu burung hantu bisa mencakup ribuan hektar lahan pertanian. Meski demikian, ekosistem tak semudah kalkulasi matematis.
“Kita harus tahu konteks wilayah. Kalau itu seluruh Majalengka, bisa jadi jumlahnya mencukupi. Tapi, bagaimana distribusinya? Apa langsung diturunkan seribu sekaligus?”
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah dari mana burung tersebut didatangkan. Sebab, untuk memenuhi jumlah seribu ekor dalam waktu cepat, sangat mungkin burung hantu ditangkap dari alam.
“Penangkaran itu butuh waktu dan kapasitasnya belum tentu mampu. Kalau diambil dari alam seperti dari Semarang atau Yogyakarta, maka daerah tersebut akan kehilangan predator alaminya.”
Isu lain adalah soal konservasi. Meskipun burung hantu yang biasa digunakan belum masuk daftar satwa dilindungi, namun pengambilan dari alam dalam jumlah besar bisa berdampak pada keseimbangan populasi.
“Apalagi kalau penangkapan dilakukan oleh pengepul tanpa izin atau data. Ini bisa jadi bentuk eksploitasi satwa liar.”
Hal lebih penting dari jumlah adalah kualitas habitat dan pengelolaan. Sistem paling berhasil adalah berbasis ekosistem alami. Pola ini dilakukan petani di Yogyakarta, mereka tidak membeli burung hantu, melainkan menyediakan rumah buatan di sawah.
“Idealnya, sekitar 30 persen dari luas persawahan dialokasikan untuk habitat alami burung hantu dan predator lain. Ini akan menciptakan keseimbangan berkelanjutan dan mencegah ledakan hama di waktu mendatang.”
Baca juga: Peneliti Ungkap Evolusi Burung Hantu Menjadi Nokturnal

Solusi etis dan berkelanjutan
Jihad Sulfani Udin, Senior Biodiversity Officer Burung Indonesia, menjelaskan bahwa solusi otentik bukan mendatangkan burung hantu. Melainkan, menciptakan kondisi yang mendukung mereka datang dan berkembang biak secara alami.
Habitat yang dimaksud adalah pepohonan, sarang buatan, dan ketersediaan pakan alami. Zona penyangga di sekitar sawah juga penting sebagai koridor satwa liar.
“Bila habitat mendukung, burung hantu dan predator alami lain akan datang sendiri.”
Burung raptor seperti elang tikus (Elanus caeruleus) dan alap-alap (Falconidae) juga bermanfaat bagi petani dan ekosistem. Untuk itu, edukasi kepada masyarakat penting dilakukan tekait peran burung-burung liar di alam.
“Pembangunan ekosistem berkelanjutan juga perlu diperhatikan.”
Swiss Winasis, pendiri aplikasi Burungnesia, mengatakan pendekatan ekologi berkelanjutan dengan membangun habitat yang mendukung kehadiran predator alami lebih penting dilakukan. Selain itu, mengurangi penggunaan pestisida dan perusakan habitat juga bisa memberi ruang bagi kembalinya burung.
“Burung hantu, alap-alap, elang tikus, semua itu bisa hadir jika habitatnya mendukung.”
Dia juga mengajak petani dan pemerintah untuk memetakan terlebih dahulu ekosistem lokal.
“Tidak semua lokasi cocok untuk semua jenis predator. Pendekatan berbasis lokasi (site-spesific) dan jenis (species-specific) menjadi sangat penting dijalankan,” tandasnya.