Mengenal Ular yang Tinggal Paling Dalam di Bawah Tanah

1 day ago 8
  • Ular fosorial berasal dari nenek moyang reptil berkaki empat. Evolusi kehilangan kaki terjadi sebagai adaptasi terhadap kehidupan bawah tanah yang sempit dan gelap. Bukti dari fosil seperti Tetrapodophis amplectus dan studi genetik terhadap gen Sonic Hedgehog mendukung hipotesis ini.

  • Ular fosorial menunjukkan berbagai adaptasi morfologi dan sensorik, seperti tubuh silindris, sisik halus, mata kecil atau buta, serta organ sensor kimia dan mekanik yang tajam. Beberapa bahkan bisa mendeteksi medan elektromagnetik dari tubuh mangsa mereka.

  •  Spesies ular bawah tanah tersebar di seluruh dunia dan memainkan peran penting dalam ekosistem sebagai pengendali hama dan penggembur tanah. Namun, mereka terancam oleh deforestasi, urbanisasi, dan minimnya data ilmiah, diperparah oleh stigma negatif dari masyarakat.

Di bawah permukaan tanah yang kita pijak setiap hari tersembunyi sebuah dunia gelap yang nyaris tak terjamah. Dunia ini adalah rumah bagi makhluk-makhluk luar biasa yang telah berevolusi secara ekstrem demi bertahan hidup dalam ruang sempit, tanpa cahaya, dan dengan oksigen terbatas. Salah satu penghuni paling menarik dari dunia bawah tanah ini adalah ular fosorial — kelompok ular yang telah menyesuaikan diri untuk hidup sepenuhnya di bawah tanah.

Dari Berkaki Empat Menuju Tubuh Pipih dan Lincah

Para ilmuwan meyakini bahwa nenek moyang ular dulunya adalah reptil berkaki empat yang mirip kadal. Evolusi ke arah bentuk tubuh tanpa anggota gerak terjadi sebagai respons terhadap kehidupan bawah tanah yang menuntut efisiensi gerakan dalam ruang sempit. Fosil seperti Tetrapodophis amplectus dari era Kapur menampilkan struktur empat kaki kecil, memberikan bukti transisi ini.

//commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=64547371Fosil ular berkaki empat etrapodophis amplectus | oleh Ghedoghedo – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=64547371

Lebih jauh lagi, banyak kelompok ular awal yang menunjukkan ciri-ciri semi-fosorial, mendukung teori bahwa penghilangan anggota gerak adalah proses bertahap. Penelitian molekuler juga menguatkan hal ini. Studi terhadap gen Sonic Hedgehog (Shh), yang mengontrol perkembangan anggota tubuh pada vertebrata, menunjukkan bahwa pada ular gen ini mengalami penghambatan di tahap perkembangan embrio, menyebabkan kaki tidak tumbuh sempurna. Hal ini ditemukan pula pada ular laut dan ular sanca, menunjukkan bahwa penghilangan kaki mungkin telah terjadi lebih dari sekali dalam sejarah evolusi ular.

Baca juga: Mengungkap Misteri: Lebih dari 75.000 Ular Berkumpul di Narcisse Setiap Tahun

Adaptasi Morfologi untuk Hidup Subteran

Tubuh ular fosorial memperlihatkan sejumlah adaptasi morfologis yang memungkinkan mereka bergerak secara efisien di dalam tanah. Bentuk tubuh silindris yang memanjang dengan kepala menyatu dengan leher mengurangi hambatan saat menggali. Sisik mereka halus, padat, dan sering kali mengkilap, membantu mereka “berenang” di dalam tanah seperti pisau menembus air.

Beberapa spesies memiliki modifikasi unik pada tengkorak mereka, seperti tulang-tulang yang diperkuat dan moncong yang lebih keras untuk membantu menembus substrat padat. Selain itu, ekor yang pendek dan tumpul berfungsi sebagai alat dorong atau pengarah, dan kadang-kadang digunakan untuk mempertahankan diri dengan meniru gerakan kepala agar membingungkan predator.

Sistem Sensorik dan Navigasi di Lingkungan Tanpa Cahaya

Penglihatan yang sangat terbatas menjadi hal umum pada ular fosorial. Beberapa bahkan tampak “buta”, dengan mata kecil yang tertutup sisik transparan. Namun, penglihatan bukanlah hal penting dalam kegelapan abadi. Sebagai gantinya, mereka sangat mengandalkan sensor kimia dan mekanik.

Organ Jacobson, atau organ vomeronasal, yang terletak di langit-langit mulut, memainkan peran penting dalam mendeteksi bau dan feromon. Ular akan menjulurkan lidah mereka untuk mengumpulkan partikel kimia dari lingkungan dan kemudian mentransfernya ke organ ini. Selain itu, mereka juga dapat mendeteksi getaran melalui tulang rahang bawah, memungkinkan mereka mengenali keberadaan mangsa atau bahaya dari kejauhan — kemampuan yang sangat berguna untuk mendeteksi aktivitas mangsa kecil seperti serangga dan cacing tanah.

//www.britannica.com/

Menariknya, beberapa spesies diketahui memiliki kemampuan mendeteksi medan elektromagnetik lemah dari tubuh mangsa — kemampuan yang secara evolusioner sebanding dengan ular pit viper dan ular laut. Meskipun masih sedikit dipahami pada ular fosorial, kemampuan ini berpotensi menjadi salah satu kunci navigasi mereka di lingkungan yang sepenuhnya gelap.

Baca juga: Tidak Ada Ular yang Hidup di Alam Liar di Negara-Negara Ini. Inilah Sebabnya

Keanekaragaman Ular Fosorial: Spesies-Spesies dari Kedalaman Tanah

Kelompok ular bawah tanah tersebar luas di seluruh dunia, dan banyak dari mereka berasal dari infraordo Scolecophidia, yang mencakup famili Typhlopidae, Leptotyphlopidae, dan Anomalepididae. Misalnya, Indotyphlops braminus, atau dikenal sebagai “ular kawat”, adalah salah satu spesies paling tersebar luas di dunia. Spesies ini unik karena berkembang biak secara partenogenesis — semua individu adalah betina, dan dapat berkembang biak tanpa pembuahan. Ia dapat ditemukan di kebun-kebun kota besar, area pertanian, hingga kedalaman lebih dari satu meter di tanah.

//commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50900759Indotyphlops braminus, atau dikenal sebagai “ular kawat”, adalah salah satu spesies paling tersebar luas di dunia. Spesies ini unik karena berkembang biak secara partenogenesis | Oleh Davidvraju – Own work, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50900759

Di Amerika Selatan, genus Atractus telah berevolusi menjadi lebih dari 150 spesies. Beberapa di antaranya ditemukan di lokasi yang sangat tidak biasa: di bawah makam, di taman sekolah, bahkan di ruang bawah gereja tua di Ekuador. Penemuan ini memperlihatkan betapa luasnya distribusi mereka sekaligus menunjukkan keterbatasan pengetahuan kita terhadap kelompok ular ini.

Sementara itu, Ular sinar-matahari Meksiko (Loxocemus bicolor), satu-satunya anggota famili Loxocemidae, adalah contoh ular semi-fosorial dari Meksiko dan Amerika Tengah. Walaupun berkerabat dekat dengan sanca dan ular boa, spesies ini memperlihatkan kemampuan menggali yang sangat baik dan sering ditemukan di bawah serasah daun atau tumpukan batu, menunjukkan transisi antara gaya hidup permukaan dan subteran.

Fungsi Ekologis dan Peran Dalam Ekosistem Bawah Tanah

Dalam ekosistem bawah tanah, ular memainkan peran ekologis yang signifikan sebagai predator tingkat menengah. Mereka membantu mengendalikan populasi serangga tanah, seperti semut dan rayap, serta hewan kecil lain seperti cacing dan tikus tanah. Tanpa kehadiran predator ini, populasi mangsa bisa melonjak dan mengganggu keseimbangan tanah.

Loxocemus bicolor, satu-satunya anggota famili Loxocemidae, adalah contoh ular semi-fosorial dari Meksiko dan Amerika Tengah. Walaupun berkerabat dekat dengan sanca dan ular boa, spesies ini memperlihatkan kemampuan menggali yang sangat baik dan sering ditemukan di bawah serasah daun atau tumpukan batu | Oleh Carlos Funes Creative Commons Attribution 4.0 InternationalLoxocemus bicolor, satu-satunya anggota famili Loxocemidae, adalah contoh ular semi-fosorial dari Meksiko dan Amerika Tengah. Walaupun berkerabat dekat dengan sanca dan ular boa, spesies ini memperlihatkan kemampuan menggali yang sangat baik dan sering ditemukan di bawah serasah daun atau tumpukan batu | Oleh Carlos Funes Creative Commons Attribution 4.0 International

Selain itu, dengan aktivitas menggali dan bergerak melalui tanah, ular fosorial juga berperan sebagai penggembur alami. Mereka membantu aerasi tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan penyerapan air, serta menciptakan lorong-lorong yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain. Dalam banyak ekosistem hutan tropis dan subtropis, fungsi ini menjadi sangat penting dalam menjaga produktivitas tanah.

Strategi Perilaku dan Reproduksi dalam Lingkungan Tertutup

Banyak ular fosorial bersifat nokturnal, hanya keluar dari liang saat malam hari atau pada kelembaban tinggi, misalnya setelah hujan. Perilaku ini tidak hanya membantu mereka menjaga kelembaban tubuh, tetapi juga menghindari predator permukaan. Pola makan mereka sangat beragam dan bergantung pada ukuran tubuh serta lokasi geografis: dari larva serangga, telur semut, cacing tanah, hingga kadal kecil dan mamalia kecil.

Dalam hal reproduksi, sebagian besar ular bawah tanah bersifat ovipar — bertelur dengan jumlah yang sedikit namun berukuran relatif besar. Ini merupakan strategi investasi tinggi dalam setiap keturunan. Namun, beberapa spesies diketahui bersifat vivipar, seperti beberapa anggota Atractus, yang melahirkan anak hidup — strategi yang diyakini lebih efisien di lingkungan tanah yang tidak stabil dan sulit untuk mempertahankan sarang.

Ancaman terhadap Keberlangsungan Ular Fosorial

Ular bawah tanah mungkin tidak terlihat, tetapi mereka sangat terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Penggundulan hutan, pertanian intensif, penggunaan pestisida, konversi lahan, dan urbanisasi menyebabkan degradasi habitat secara luas. Struktur tanah yang berubah serta pencemaran bahan kimia juga mempengaruhi mangsa mereka secara tidak langsung.

Lebih parahnya lagi, kekurangan data menjadi hambatan besar dalam upaya konservasi. Karena sulit ditemukan dan diamati, banyak spesies belum tercakup dalam daftar merah IUCN. Akibatnya, beberapa mungkin telah punah bahkan sebelum sempat dideskripsikan secara ilmiah.

Stigma negatif dari masyarakat terhadap ular juga menjadi kendala serius. Banyak orang masih menganggap semua jenis ular sebagai ancaman, tanpa membedakan yang berbisa dan tidak. Padahal, sebagian besar ular fosorial tidak berbisa dan justru memiliki kontribusi besar dalam menjaga keseimbangan ekologis tanah.

==

Referensi Populer & Ilmiah:

  • Gower, D. J., & Wilkinson, M. (2005). The conservation biology of caecilian amphibians. Conservation Biology, 19(1), 45–55.

  • Vidal, N., & Hedges, S. B. (2005). The phylogeny of squamate reptiles (lizards, snakes, and amphisbaenians) inferred from nine nuclear protein-coding genes. Comptes Rendus Biologies, 328(10), 1000–1008.

  • Hsiang, A. Y., et al. (2015). The origin of snakes: revealing the ecology, behavior, and evolutionary history of early snakes using genomics, phenomics, and the fossil record. BMC Evolutionary Biology, 15(1), 87.

  • Sheehy, C. M., et al. (2014). Snake fungal disease: An emerging threat to wild snakes. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 371(1709), 20150457.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|