- Satu gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati di perkebunan sawit di Sumatera Utara. Bangkai gajah sudah membusuk, di titik 4.037278, 98.072722, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung, Desa Bukit Selamat, Kabupaten Langkat.
- Subhan, Kepala Balai Besar TNGL, menyebut penemuan gajah itu berdasarkan laporan seorang karyawan PT Putri Hijau. Tim dari BBTNGL, BBKSDA Sumut, Yayasan Sumatera Hijau Lestari (YSHL), DOkter Hewan, tim dari Sumatera Rescue Alliance (SRA), Kepolisian Sektor Besitang dan perwakilan RPL melakukan pengecekan dan penanganan terhadap bangkai gajah tersebut pada 5 April.
- Amenson Girsang, Kepala Bidang KSDA Wilayah I BBKSDA Sumut, menyatakan, dugaan sementara gajah tersebut mati karena infeksi luka. Pihaknya juga masih menunggu hasil verifikasi laboratorium untuk membuktikan dugaan mati karena keracunan. Sampel jaringan dan isi perut untuk uji toksin laboratorium dalam proses pengiriman.
- Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menduga, lokasi kematian gajah merupakan wilayah jelajah gajah liar yang hidup di kawasan TNGL. Harusnya, satwa kunci ini diberi ruang agar bisa berkembang, mendapatkan lingkungan yang bagus. Hal itu, sejalan dengan konsep sawit berkelanjutan. Untuk mencapai ini, perusahaan harus memerhatikan tiga aspek, sosial, ekonomi, serta lingkungan.
Satu gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati di perkebunan sawit di Sumatera Utara. Bangkai gajah sudah membusuk, di titik 4.037278, 98.072722, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung, Desa Bukit Selamat, Kabupaten Langkat.
Subhan, Kepala Balai Besar TNGL, menyebut, penemuan gajah itu berdasarkan laporan karyawan PT Putri Hijau. Tim dari BBTNGL, BBKSDA Sumut, Yayasan Sumatera Hijau Lestari (YSHL), dokter hewan, tim dari Sumatera Rescue Alliance (SRA), Polsek Besitang dan perwakilan RPL mengecek dan penanganan terhadap bangkai gajah pada 5 April.
Gajah jantan sekitar 10 tahun ini berat 1-2 ton. Dia menduga, hewan ini mati lebih empat hari berdasarkan bagian wajah gajah terkelupas dan hilang.
Dari pemeriksaan bagian luar tubuh, tim medis menemukan luka di badan gajah. Dokter hewan yang melakukan nekropsi belum dapat menyimpulkan penyebab kematian.
“Kepastiannya masih menunggu hasil laboratorium yang akan keluar dalam 30 hari setelah sampel diterima,” kata Subhan, Senin (7/4/25).
Amenson Girsang, Kepala Bidang KSDA Wilayah I BBKSDA Sumut, menyatakan, dugaan sementara gajah mati karena infeksi luka. Mereka juga masih menunggu hasil verifikasi laboratorium untuk membuktikan dugaan mati karena keracunan. Sampel jaringan dan isi perut untuk uji toksin laboratorium dalam proses pengiriman.
“Proses litigasi atau non litigasi diputuskan setelah hasil uji lab diperoleh.”
Daulat Siregar, Manager Kebun Ryn B-Besitang RPL saat dihubungi, Selasa (8/4/25), menyebut, gajah tidak mati di konsesi mereka tetapi di perkebunan sawit warga yang berdekatan dengan perusahaan.
Mereka membantu nekropsi, pengambilan sampel, dan penguburan bangkai gajah, berdasarkan permintaan. kepolisian, BBTNGL, dan BBKSDA Sumut jadikan mereka saksi terkait persitiwa itu.
“Bukan di konsesi kami. Kami hadir di situ hanya membantu proses penguburan dan pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium,” katanya dalam pesan tertulis.
Pernyataan ini berbeda dengan temuan lapangan. Sejumlah warga desa sekitar perkebunan dan informasi beberapa pekerja kebun sawit menyatakan gajah itu mati di konsesi RPL. Titik koordinat dan tumpang susun peta menunjukkan itu.
Kematian gajah di perkebunan sawit dekat dengan hutan TNGL bukan kali ini saja. Sebelumnya, tahun 2017, terdapat kasus kematian satwa berbelalai ini di konsesi sawit PT Perkebunan Inti Sawit Subur, Desa Barak Gajah, Langkat. Titik penemuan bangkai gajah itu hanya 1,5 km dari batas TNGL.
Setahun sebelumnya, November 2016, dua gajah terkena jerat pemburu di perkebunan sawit yang sama. Tim gabungan BBKSDA Sumut dan petugas BBTNGL, bersama tim dokter hewan, bergerak turun ke lokasi untuk penyelamatan.
Terdapat kawat baja tebal dan besar tertanam di kami gajah. Hampir membuat kaki anak gajah putus. Setelah gajah pulih, mereka pun melepasliarkan kembali ke TNGL.

Perlu regulasi kuat
Bobby Nopandry, Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Stabat, BBKSDA Sumut, menyebut, perlu regulasi kuat untuk konservasi satwa liar dilindungi di luar kawasan konservasi, terutama di kebun sawit. Saat ini, mereka hanya bisa mengandalkan pakem-pakem yang sudah diterapkan asosiasi seperti ISPO atau RSPO.
“Saat ini, masih bersifat voluntary, belum mandatory. Salah satu efeknya kita tidak mempunyai data dan tim yang memadai untuk pengelolaan dan mitigasi.”
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menduga, lokasi kematian gajah merupakan wilayah jelajah satwa langka dilindungi yang hidup di kawasan TNGL ini. Seharusnya, satwa kunci ini dapat ruang agar bisa berkembang, mendapatkan lingkungan aman.
Hal itu, sejalan dengan konsep sawit berkelanjutan. Untuk mencapai ini, perusahaan harus memerhatikan tiga aspek, sosial, ekonomi, serta lingkungan.
“Apabila satu di antaranya tidak terpenuhi, maka tidak termasuk dalam kategori sawit berkelanjutan,” katanya lewat sambungan telepon.
Untuk itu, harus ada upaya peninjauan kembali terhadap dokumen perusahaan sawit yang beraktivitas di lintasan gajah.
Perbaikan itu, katanya, harus memerhatikan wilayah jelajah satwa liar, termasuk gajah. Jadi, kajian menyeluruh terkait jalur-jalur lintasan satwa harus dilakukan.
Kalau jalur lintasan itu menabrak wilayah masyarakat, solusinya memberikan skema tanah objek reforma agraria (Tora), dan konsep lain yang dapat menjamin kehidupan masyarakat.
Untuk perusahaan, mereka bisa memberikan wilayah mereka jadi kawasan konservasi atau wilayah khusus jelajah satwa liar. Dengan melakukan ini, maka citra perusahaan pun akan lebih baik, karena memerhatikan aspek lingkungan atau keberlanjutan.

Pada dasarnya, tak boleh ada konversi wilayah perlintasan satwa jadi kebun sawit. Harus ada restorasi wilayah atas keterlanjuran ini.
“Kecuali ada pelanggaran hukum. Harus ditindaklanjuti atau diusut. Contoh, jika HGU overlap dengan kawasan hutan,”katanya.
Ke depan, Rambo meminta, ada perbaikan tata kelola, khusus ihwal tata ruang yang bisa mengadopsi kepentingan berbagai pihak, termasuk wilayah jelajah gajah. Untuk melakukan ini, harus ada konsultasi publik yang melibatkan masyarakat. Supaya semua bisa sadar dan melihat gajah sebagai hewan dilindungi.
“Masalahnya, proses ini muncul ketika ada kejadian. Tapi dilupakan setelah beberapa tahun. Makanya perlu musyawarah dan rencana untuk mengatasi masalah ini.”
Amenson menyebut, perlu ada mitigasi konflik untuk menjaga keberadaan populasi gajah tersisa di koridor Aceh-Sumut. Perlu kerjasama kelompok masyarakat dan dunia usaha di wilayah jelajah hewan berbelalai ini.
Dia berharap, tiap perusahaan di sekitar TNGL membentuk tim mitigasi konflik satwa liar dan manusia. “Sehingga ketika ada konflik seperti ini bisa segera terpantau dan membantu penanganan dengan lebih baik.”
