- Nelayan di negeri ini terus menghadapi persoalan bahkan bertambah. Investasi maupun infrastruktur skala besar terlebih yang berlabel proyek strategis nasional (PSN) makin menghimpit kehidupan mereka. Undang-Undang 7/2016 mengenai perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, seakan tak berarti.
- Data Kiara, hingga kini ada 48 proyek PSN di seluruh wilayah pesisir di Indonesia. Besarnya jumlah proyek PSN dinilai berpotensi menyingkirkan masyarakat pesisir dari ruang hidupnya. Keberadaan masyarakat pesisir akan semakin terpinggirkan dengan adanya kebijakan tata ruang terintegrasi, yang memberi ruang bagi investasi untuk menguasai ruang hidup masyarakat pesisir.
- Data Walhi, alokasi ruang untuk reklamasi di pesisir Indonesia mencapai 3.527.120,19 hektar, dan pertambangan pasir laut 63.763,03 hektar. Sedangkan pemukiman nelayan dan kawasan mangrove 53.712,81 hektar.
- Nelayan meminta penerapan penangkapan ikan terukur (PIT) tidak dijalankan dengan memperhatikan memperhatikan perbedaan kondisi geografis dan pola tangkap nelayan di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk, situasi yang dihadapi oleh nelayan perbatasan dan masyarakat di wilayah kepulauan.
Nelayan di negeri ini terus menghadapi persoalan bahkan bertambah. Investasi maupun infrastruktur skala besar terlebih yang berlabel proyek strategis nasional (PSN) makin menghimpit kehidupan mereka. Undang-undang 7/2016 mengenai perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, seakan tak berarti.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir makin terdesak dengan ada PSN.
Data Kiara, hingga kini ada 48 PSN di seluruh pesisir Indonesia. Kehadiran proyek-proyek itu rawan menyingkirkan masyarakat pesisir dari ruang hidupnya.
Dalam penetapan pun, pemerintah tak mempertimbangkan hubungan masyarakat dengan lingkungannya.
Susan bilang, masyarakat pesisir makin terpinggirkan dengan kebijakan tata ruang terintegrasi. Kebijakan ini dia sebut membuka jalan bagi investasi untuk menguasai ruang hidup masyarakat pesisir.
Jawa Tengah, katanya, sudah punya perda itu. Dia contohkan, sepanjang pesisir Kendal sebagai wilayah industri. “Peta tata ruang terintegrasi juga memasukkan daerah-daerah PSN dan industri nikel,” katanya.
Di Manado, Sulawesi Utara, nelayan berhadapan dengan rencana reklamasi pantai seluas 90 hektar. Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola) mengatakan, masalah itu menunjukkan tak ada strategi khusus dari pemerintah merespons pengembangan kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan.
“Justru, yang terjadi penerbitan izin untuk memprivatisasi ruang pesisir yang mengesampingkan keberadaan UU 7/2016.”
Menurut dia, ancaman berulang kali nelayan dan masyarakat pesisir hadapi tidak hanya mengganggu waktu kerja dan aktivitas melaut, juga menurunkan kepercayaan diri keluarga nelayan dan generasi muda.
“Banyak keluarga nelayan, orang tua nelayan, melihat nelayan bukan sebagai profesi yang bisa diturunkan ke anak-anaknya, karena punya pengalaman buruk.”
Khawatir kondisi masyarakat pesisir dan nelayan, Walhi) dan Kiara menggugat persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL), yang pemerintah pusat terbitkan. Gugatan itu mereka daftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 15 November 2024.
Data Walhi, alokasi ruang untuk reklamasi di pesisir Indonesia mencapai 3.527.120,19 hektar, dan pertambangan pasir laut 63.763,03 hektar. Sedangkan pemukiman nelayan dan kawasan mangrove 53.712,81 hektar.
Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, sampai Desember 2023 ada 218 izin usaha pertambangan di 34 pulau kecil di Indonesia. Adapun, konsesi pertambangan di pulau-pulau kecil seluas 274.549,57 hektar.
Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, konflik nelayan dan masyarakat pesisir dengan industri ekstraktif dalam 1-2 tahun belakangan, seharusnya disikapi pemerintah dengan memperkuat perlindungan.
Apalagi, katanya, kalau pemerintah berupaya mewujudkan kemandirian pangan. “Nelayan adalah aktor penting penyediaan pangan. Nah perlindungan itu jadi evaluasi yang sangat krusial, di tengah kebijakan yang makin memarjinalisasi nelayan kit kecil.”
Upaya itu, katanyajuga harus mencakup perlindungan ruang penangkapan ikan dari praktik ilegal, maupun alat merusak seperti bom dan racun. Dia juga memastikan, kesehatan laut dari pencemaran limbah yang berdampak mengurangi hasil tangkapan dan kebersihan kampung-kampung nelayan.
“Sampai saat ini, belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk membenahi kampung pesisir dan memuliakan nelayan beserta keluarganya,” katanya.
Zona tangkap kian sempit
Sepanjang 2024, nelayan juga merasa khawatir dengan kebijakan pertambangan pasir laut yang muncul sebagai pengelolaan sedimentasi, seperti dalam Peraturan Pemerintah 26/2023. Pada 15 Maret 2024, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengumumkan tujuh lokasi pembersihan sedimentasi laut.
Lokasi-lokasi itu antara lain, Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Cirebon, Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Lingga dan Bintan, Kepulauan Riau.
Masnuah, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, nelayan dan masyarakat pesisir di Demak, khawatir dengan proyek itu.
Upaya penolakan, katanya, dibuat dengan menggalang dukungan dari masyarakat pesisir di berbagai daerah di Jawa Tengah. Sebab, peta lokasi pertambangan pasir laut dia sebut mencakup hingga Pati dan Jepara.
“Kami sudah diskusi bersama masyarakat pesisir Jawa Tengah, untuk menghadang ancaman yang makin merusak laut,” katanya.
Dia menilai, warga khawatir kalau penambangan pasir laut akan memperparah sejumlah daerah yang sudah terendam air.
Berdasarkan catatan Walhi, pada 2020, ada 109 desa tenggelam di Jawa Tengah dari 1.448 desa yang tenggelam di Indonesia.
Dampaknya, kata Masnuah, warga makin sulit mengakses kesehatan dan mendistribusikan hasil tangkapan ikan. “Pemasaran ikan terhambat, harga ikan jadi murah, nelayan tak punya harga tawar karena dipermainkan tengkulak.”
Di perbatasan seperti Natuna, nelayan harus menghadapi ancaman penangkapan oleh otoritas Malaysia dan Singapura. Juga kekhawatiran dengan maraknya penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing.
Berdasarkan catatan Mongabay, dalam rentang Juni hingga Oktober 2024, setidaknya terdapat 5 kasus penangkapan yang melibatkan 46 nelayan Natuna. Pada November 2024, lagi-lagi tiga nelayan Natuna ditangkap Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (AAPM) di perairan Tanjung Payong.
Syukur Harianto, Sekretaris DPW KNTI Kepulauan Riau mengatakan, ada beberapa permasalahan dihadapi nelayan di perbatasan. Antara lain, jarak ke wilayah negara tetangga hanya 7-8 mil kerap kali membuat nelayan merasa tak sedang menangkap ikan di negara lain.
Permasalahan lain, katanya, belum jelas peta perbatasan. Nelayan mengaku belum begitu mengatahui batas pasti teritorial Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Dia berharap, pemerintah segera merampungkan peta tata batas antara Indonesia dengan negara tetangga.
“Peta perbatasan harus cepat diselesaikan. Nelayan harus dibelali GPS yang sudah merekam titik-titik perbatasan. Kalau peta buta saja, mereka tidak bisa baca.”
Di laut yang terhimpit, nelayan kerap kali berurusan dengan kapal asing yang mencuri ikan. Syukur menilai, masalah ini karena pengawasan di perairan Indonesia lemah.
Secara keseluruhan, pada 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, sudah menangkap 240 kapal pencuri ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPPNRI). Kapal-kapal itu terdiri dari 30 kapal berbendera asing dan 210 kapal ikan Indonesia.
“Tujuh kapal ikan dari Malaysia, 17 dari Filipina, tiga dari Vietnam, satu Rusia dan dua dari Sierra Leone,” kata Pung Nugroho, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dalam siaran pers KKP, 23 Desember lalu.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi Nasional, menambahkan, masalah lain laut Indonesia adalah kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN). Melalui proyek ini, pemerintah menggabungkan konservasi laut dengan pariwisata premium.
Proyek itu, dia sebut sebagai politik konservasi baru. Era sebelumnya, konservasi dianggap tak mendukung peningkatan ekonomi hingga muncul pariwisata skala besar di wilayah-wilayah konservasi.
“Sebetulnya, konservasi yang didorong tidak jauh berbeda, ekofasis, ditambah skema baru yang dikembangkan pemerintah yaitu menjadi wilayah pariwisata premium.”
Sebelumnya, pemerintah menetapkan 10 KSPN prioritas yakni KSPN Danau Toba, Borobudur-Yogyakarta-Prambanan, Lombok-Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Wakatobi, Manado-Likupang, Bangka-Belitung, Morotai dan KSPN Raja Ampat.
Perikanan terukur
Awal tahun ini pemerintah mulai terapkan program penangkapan ikan terukur (PIT). Kondisi ini khawatir makin mempersempit akses melaut nelayan kecil. Soalnya, kebijakan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11/2023 ini, akan mengatur zona dan mengendalikan tangkapan lewat sistem kuota.
Di peraturan itu, pemerintah menetapkan kuota penangkapan ikan di zona PIT dalam tiga kategori. Yakni, kuota industri pada setiap zona PIT di atas 12 mil, kuota nelayan lokal pada setiap zona PIT sampai 12 mil laut, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Supaya bisa dapat kuota industri, nelayan atau pengusaha perikanan harus memperoleh perizinan berusaha dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedangkan, untuk mendapat kuota nelayan lokal, harus mengantongi izin dari gubernur.
Syukur menilai, kebijakan itu terasa problematis kalau diterapkan di daerah perbatasan. Soalnya, perairan di sekitar Kepulauan Riau terbilang dekat dengan teritori Malaysia dan Singapura.
Sedangkan, menangkap ikan di perairan Indonesia yang bisa ditempuh lebih dari 12 mil, pada kurun waktu tertentu disebut rentan menghadapi ombak besar. “Musim paceklik gini, kapal disuruh melaut ke 12 mil itu keburu mati nelayannya. Tidak mungkin kapal 7-10 GT melawan ombak yang begitu besar. Kalau tangkap di 8 mil kan mereka kena sanksi (karena masuk wilayah negara lain).”
Syukur menilai, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan PIT dengan memberi perhatian lebih pada nelayan-nelayan perbatasan, seperti di Kepulauan Riau. Misal, dengan menyediakan pemenuhan hak-hak nelayan ketika tidak bisa melaut karena pengaturan kuota dan zona PIT.
“Kalau PIT mau berlaku, Kepri ini harus ada dispensasi khusus. Jangan disamakan dengan daerah lain. Jawa tidak ketemu dengan daerah perbatasan (negara lain). Kalau Kepri, kami nyeberang sedikit sudah Malaysia dan Singapura,” katanya.
Susan mengatakan, PIT di tengah menyempitnya ruang pesisir dan area tangkap nelayan, berisiko melahirkan perebutan ruang produksi di laut. Saat merumuskan PIT, pemerintah tidak memperhatikan perbedaan kondisi geografis dan pola tangkap nelayan di berbagai daerah di Indonesia.
Risiko lain, katanya, nelayan beralih profesi karena tersingkir dari ruang hidup dan ruang produksinya. “Saya khawatir nelayan alih profesi karena tidak adalagi yang bisa diharapkan. Di darat, mereka bertarung di laut juga rebutan sumber daya.”
Meski disebut mendapat sejumlah kelonggaran, namun untuk memperoleh kuota industri dan kuota nelayan lokal, nelayan kecil yang prioritas adalah mereka yang tergabung dalam koperasi.
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI menilai, meski koperasi perikanan eksis bahkan sebelum Indonesia merdeka, namun cukup memprihatinkan.
Dia khawatir, ketika PIT jalan hanya orang per orang atau badan usaha privat yang lebih siap mengakses kuota. “Mungkin ada koperasi yang akses PIT, tapi prinsip koperasi tidak dijalankan dengan baik, tidak berikan kesejahteraan bersama.”
Dani juga mengkritik definisi nelayan kecil dalam PP itu. Dalam UU Nomor 7 tahun 2016, katanya, nelayan kecil adalah mereka yang memiliki kapal di bawah ukuran 10 GT. Kategori ukuran kapal itu disebut memberi arahan jelas, dan statistik yang menunjukkan 90% kapal neyalan kecil Indonesia rata-rata berukuran di bawah 10 GT.
“Masalahnya, sejak UU Cipta Kerja, tidak adalagi batasan kepemilikan kapal berbasis ukuran.”
Dalam PP tentang PIT, nelayan kecil sebagai orang yang mata pencaharian melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.
Dani menilai, kalimat “untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari” sebagai pernyataan kabur. “Untuk kebutuhan sehari-hari, apakah boleh dijual, apakah hanya untuk makan? Tidak ada nelayan kita yang cari ikan hanya untuk makan. Itu yang menjadikan pengaturan mengenai sektor perikanan jadi sangat kabur, bahkan tidak jelas orientasi perlindungannya.”
Rignolda menegaskan, definisi nelayan kecil yangdalam PIT menempatkan nelayan sebagai subjek yang tidak berkembang. Seharusnya, kategori itu ditentukan dari konteks alat produksi, bukan membatasi produktivitas nelayan.
“Batasannya tidak jelas, sampai sekarang kita terjebak pada definisi seperti itu. Bisa jadi, nelayan kecil ada karena mereka tidak terfasilitasi untuk berkembang.”
Pemerintah, kata Parid, perlu kembali pada mandat di sektor kelautan dan perikanan sebelum ada UU Cipta Kerja. Mandat itu, katanya, telah diatur dalam UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Perikanan, UU Kelautan dan UU Perlindungan Nelayan.
Keempat UU itu, katanya, punya penekanan pada aspek-aspek tertentu. Contoh, UU Perikanan mengatur komoditas, UU Pesisir dan Pulau Kecil dan UU Kelautan mengatur bentang alam, kemudian perlindungan aktor diatur dalam UU Perlindungan Nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam.
Selain itu, lanjut Parid, di UU 7 tahun 2016 terdapat pasal-pasal yang memerintahkan negara atau pemerintah untuk menyediakan skema ekonomi, kalau nelayan tidak bisa melaut karena cuaca buruk, krisis iklim.
“Itu mandat UU, minimal pemerintah sediakan 10% dari APBN/APBD untuk perlindungan nelayan. Sampai sekarang tidak ada, padahal situasi di lapangan terus mengalmi pemburukan. Pemerintah malah merujuk UU Cipta Kerja yang hanya mengejar PNBP dan tidak menjawab krisis.”
********