- Koalisi Nelayan Pesisir Balikpapan menggugat Keputusan Menteri (Kepmen) Perhubungan nomor KM 54/2023 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Mereka menyebut, Kepmen itu mengancam keberlangsungan hidup nelayan tradisional dan merusak ekosistem strategis kawasan perairan Teluk Balikpapan.
- Catatan koalisi, Teluk Balikpapan merupakan kawasan ekologis strategis di Indonesia, dengan fungsi vital sebagai tempat mencari makan, pengasuhan, dan daerah pemijahan beragam spesies laut. Di sana, lebih 10.000 nelayan tradisional menggantungkan hidup.
- Slamet, nelayan Teluk Balikpapan menilai, kepmen ini akan merampas ruang hidup mereka, dan memberi dampak buruk bagi lingkungan. Karena itu, mereka melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta untuk menyelamatkan perairan Teluk Balikpapan.
- Koalisi menilai, lokasi pelabuhan di perairan Balikpapan merupakan zona perikanan tangkap di Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Timur. Selain itu, konsideran Kepmen KM 54/2023 disebut gunakan surat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim sebagai rekomendasi pemerintah daerah. Padahal, DKP Kaltim tak pernah berikan rekomendasi.
Koalisi Nelayan Pesisir Balikpapan menggugat Keputusan Menteri (Kepmen) Perhubungan nomor KM 54 tahun 2023 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kepmen yang mengatur lokasi aktivitas kepelabuhanan di perairan Balikpapan itu mengancam keberlangsungan hidup nelayan tradisional dan merusak ekosistem strategis kawasan perairan Teluk Balikpapan.
Catatan koalisi, Teluk Balikpapan merupakan kawasan ekologis strategis di Indonesia, dengan fungsi vital sebagai tempat mencari makan, pengasuhan, dan daerah pemijahan beragam spesies laut. Di sana, lebih 10.000 nelayan tradisional menggantungkan hidup.
Mappasele, perwakilan Pokja Pesisir mengatakan, pada dekade 90an Teluk Balikpapan hasil perikanan berlimpah. Dari hasil laut, nelayan bisa membangun rumah, ibadah haji, juga biayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi.
Sejak 2017, pembangunan pelabuhan batubara sebabkan meningkatnya lalu-lintas di perairan Teluk Balikpapan, dan berdampak kerusakan alat tangkap nelayan.
“Beberapa tabrakan terjadi, kami tidak tahu siapa pelakunya. Rumpon nelayan tidak bisa bertahan lama. Baru di pasang 2-3 bulan, hilang,” katanya.
Slamet, perwakilan nelayan mengatakan, aktivitas ramai di perairan Teluk Balikpapan mempersempit ruang dan menurunkan hasil tangkapan nelayan. “Kami sudah aksi tolak bongkar-muat batubara, tapi sampai sekarang masih terlaksana (aktivitas di teluk).”
Dia khawatir, keberlanjutan ekosistem Teluk Balikpapan makin terancam karena kebijakan itu.
Pada 8 Juni 2023, Menteri Perhubungan menerbitkan Kepmen KM 54 tahun 2023, yang menetapkan wilayah tertentu di perairan—pada empat titik koordinat—untuk sejumlah kegiatan.
Diktum kedua kepmen itu menyatakan, lokasi-lokasi itu dapat untuk alih muat antarkapal, lay-up (kapal tidak beroperasi), floating storage (gudang terapung), dan pencucian kapal. Juga, pencampuran bahan, pengisian minyak atau air bersih, kapal dalam keadaan darurat, perbaikan kapal ringan, dan ship chandler (penunjang operasional kapal).
Slamet menilai, kepmen ini akan merampas ruang hidup mereka, dan memberi dampak buruk bagi lingkungan. Karena itu, mereka melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta untuk menyelamatkan perairan Teluk Balikpapan.
“Ini sangat meresahkan kami,” katanya.
“Kami harap, pemerintah batalkan Keputusan Menteri Perhubungan KM 54 tahun 2023. Kami juga berharap, perairan dan Teluk Balikpapan bebas dari bongkar muat batubara.”
Tuntutan koalisi
Sebelumnya, di PTUN Jakarta, Koalisi Nelayan Pesisir Balikpapan juga menyerahkan pernyataan sikap berisi tiga tuntutan utama.
- Cabut Keputusan Menteri Perhubungan KM 54/2023, dengan menghentikan pembangunan merusak ruang tangkap nelayan dan mengancam kehidupan mereka.
- Lindungi hak nelayan tradisional, memprioritaskan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat lokal dan kearifan tradisional yang terbukti menjaga keseimbangan lingkungan.
- Pulihkan ekosistem Teluk Balikpapan. Meminta pemerintah ambil langkah nyata melindungi kawasan ini, sebagai ekosistem strategis yang penting bagi ketahanan ekologis dan sosial masyarakat pesisir.
Deny Adam Erlangga, kuasa hukum nelayan menyatakan, gugatan itu berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pertama, ketidaksesuaian ruang yang pemerintah tentukan.
Menurut dia, lokasi aktivitas kepelabuhanan di perairan Balikpapan merupakan zona perikanan tangkap di Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Timur.
Dengan penetapan lokasi pelabuhan di perairan Balikpapan, dia menilai, pemerintah pusat tak mempertimbangkan aspek tata ruang. Kondisi ini, katanya, makin meminggirkan aktivitas nelayan.
Apalagi, katanya, pada 2017, Menteri Perhubungan telah menetapkan keputusan tentang alur pelayaran, yang mengatur zona alih muat antar kapal.
“Jadi, bukan hanya bongkar muat, tapi ada peningkatan alur pelayaran, ada zona pandu, hingga menggangu ikan pelagis, demersal di perairan Teluk Balikpapan.”
Selain itu, konsideran Kepmen KM 54/2023 menggunakan surat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim sebagai rekomendasi pemerintah daerah. Padahal, katanya, DKP Kaltim tidak pernah berikan rekomendasi.
“Ternyata, dinas tidak pernah berikan rekomendasi. Itu ada surat resminya yang kami dapatkan. Mereka hanya sampaikan informasi, titik koordinat lokasi sebagai zona perikanan tangkap. Tapi surat dipelintir faktanya. Yang awalnya informasi, jadi rekomendasi,” katanya.
Atas dasar itu, kata Deny, Kepmen /2023 melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang mencakup kepastian hukum, kecermatan dan ketelitian.
“Kami lihat ada cacat prosedural dan pelanggaran administrasi di situ. Kami tegas meminta itu (Kepmen 54/2023) dibatalkan.”
Antoni Arif Priadi, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, seperti dikutip dari Project Multatuli, mengatakan, Kepmen KM 54/2023 justru mengatur konsentrasi aktivitas bongkar muat di satu titik. Hal itu dia sebut memudahkan pengawasan, pengendalian lingkungan, serta mendeteksi batu bara yang terbuang ke laut.
Selain itu, katanya, Perda 1/2023 tentang RTRW Kaltim menjelaskan tentang zona berlabuh dan tak melarang semua aktivitas. “Jadi, kalau yang perda (RTRW Kaltim) itu ngomongnya itu untuk zona berlabuh. Tidak semua aktivitas dilarang di zona berlabuh,” katanya Oktober lalu.
******