Tambang Emas Rusak Ruang Hidup Petani Sukabumi

1 day ago 5
  •  Masyarakat Desa Cihaur, Kecamatan Simpenan,  Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,  cemas dengan operasi perusahaan tambang emas. Para petani mengeluhkan limbah tambang emas mencemari lingkungan. Bahkan, puluhan hektar sawah petani di desa itu rusak karena eksplorasi perusahaan.
  • Rebo, petani Desa Cihaur mengatakan, tambang berada di perbukitan jadi ketika para pekerja tambang melakukan pengerukan menggunakan alat berat, limbah turun yang kemudian mencemari sawah, perkebunan serta saluran irigasi.
  • Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat menegaskan, bakal menutup tambang emas itu. Dia sampaikan saat memberikan arahan kepada jajaran Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat.
  • Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat bilang, Pemerintah Jawa Barat dan Sukabumi harus melihat kondisi lapangan dan memeriksa kemungkinan pelanggaran perusahaan pemegang IUP.  Pengabaian dari upaya-upaya pemulihan lingkungan usaha pertambangan menjadi cermin ketidakhadiran pemerintah di masyarakat. Harusnya, ada penegakan hukum bila terjadi pelanggaran.

Masyarakat Desa Cihaur, Kecamatan Simpenan,  Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,  cemas dengan operasi perusahaan tambang emas. Para petani mengeluhkan limbah tambang emas mencemari lingkungan. Bahkan, puluhan hektar sawah petani di desa itu rusak karena eksplorasi perusahaan.

Dari dokumentasi yang Mongabay terima, petakan sawah petani banjir dengan air berwarna merah kecoklatan bercampur lumpur. Menurut petani, tanah itu dari aktivitas alat berat PT Golden Pricindo Indah (GPI), perusahaan tambang emas di perbukitan. Konsesi GPI seluas 97 hektar juga mencakup Blok Beling.

Video lain memperlihatkan aliran air sungai deras berwarna kecoklatan. Dugaan warga karena pembukaan lahan untuk eksplorasi tambang. Lantaran area perbukitan gundul membuat resapan air rusak.

Rebo, petani Desa Cihaur mengatakan, sawah yang terkena dampak pencemaran tambang emas seluas 40-50 hektar. Tak hanya sawah, kata Rebo,  perkebunan maupun pemukiman juga terkena dampak.

“Kalau kita hitung itu mungkin bisa sampai lebih 40-50 hektar. Mulai perkebunan, sampai ke perkampungan, sampai ke daerah-daerah Cipari itu,” katanya, Minggu, (4/4/25).

Pantauan citra satelit area tambang emas PT Golden Pricindo Indah (GPI) di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Peta Gakkum KLH, area konsesi GPI seluas 97 hektar.

Dia bilang, tambang berada di perbukitan jadi ketika para pekerja tambang melakukan pengerukan menggunakan alat berat, limbah turun yang kemudian mencemari sawah, perkebunan serta saluran irigasi.

“Lokasinya ada di Kole, termasuk Yadagari, juga Beling. Itu kan sangat berdampak ke sini. Karena bisa kita lihat semua, karena aktivitas mereka  itu, dampaknya seperti ini, lahan pertanian kami,” katanya.

Walau sawah belum petani tanami padi, namun mereka khawatir, apabila sudah waktu tanam, padi rusak dan gagal panen karena tercemar limbah tambang.

“Terus langkah kedepannya seperti apa kalau dibiarkan seperti ini,” kata Rebo.

Dia kecewa dengan pemerintah yang seolah tutup mata dengan masalah ini. Seharusnya, pemerintah mengambil tindakan tegas sebelum ada laporan masyarakat. Sebab, bukti kerusakan lingkungan sudah jelas.

“Mereka itu melihat-lah, melihat apa yang perlu keselamatan masyarakat sekitar, karena kita mayoritas petani. Kalau dari sisi kerusakan, mereka harus ada inisiatif.”

Pantauan citra satelit area tambang galena PT Generasi Muda Bersatu (PT GMB). Berdasarkan Peta Gakkum KLH, PT GMB memiliki konsesi seluas 100 hektar

Tutup tambang

Para petani mendesak pemerintah menyetop aktivitas tambang emas karena dampak lingkungan merugikan masyarakat sekitar.

“Kalau mereka tidak ada penanggulangan untuk bencana atau segala macam seperti itu, ya lebih baik ditutup. Untuk apa? petani dirugikan.”=

Solehudin, petani Cihaur pun mempertanyakan izin tambang ini seperti upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL). Kalau perusahaan ada izin itu, katanya, seharusnya tak merusak lingkungan.

“Limbah dari pengerukan tanah PT Golden ini mengganggu sandang pangan kami berupa area pertanian. Kami rasa jalan satu-satunya hanya ingin penutupan pertambangan. Soalnya yang pertama tidak ada itikad baik untuk masyarakat dan tidak ada manfaat apapun untuk masyarakat,” katanya.

Senada Dahlan, petani Desa Cihaur, sampaikan. Dulu, katanya, sebelum ada perusahaan tambang emas, air jernih, hasil panen pun memuaskan. Setelah ada tambang emas, para petani terkena dampak.  Panen sawahnya pun terancam gagal karena rusak.

“Mau panen tapi hancur karena lumpur dari Golden. Jadi Golden itu nggak ada tanggung jawab,” katanya.

Lahan pertanian petani rusak. Apalagi saat turun hujan membawa material lumpur dari area tambang memasuki saluran irigasi dan mencemari sawah maupun perkebunan. Hingga kini, tak ada pertanggungjawaban perusahaan.

“Harusnya ditutup aja, ditutup saja.”

Sawah petani tercemar operasi tambang emas. Foto: Walhi Jabar

Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat menegaskan, bakal menutup tambang emas itu. Dia sampaikan saat memberikan arahan kepada jajaran Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat.

“Saya sudah minta Kasatpol PP (Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Sukabumi) dan Bupati (Bupati Sukabumi) yang tambang kemudian menguruk sawah warga kasihan, yang punya pasti orang luar bukan Sukabumi, nanti dikoordinasikan, tutup saja udah,” kata Dedi dalam Channel Youtube.

Dilansir sukabumiupdate Pemerintah Sukabumi menghentikan sementara seluruh aktivitas tambang emas Golden di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan yang diduga cemari puluhan hektar sawah di Desa Cihaur.

Keputusan ini Wakil Bupati Sukabumi Andreas sampaikan,  saat meninjau area tambang serta bertemu Direktur Utama Golden maupun perwakilan warga. Setelahnya Andreas juga meninjau lokasi persawahan yang terdampak banjir lumpur.

“Ini bentuk tanggung jawab pemerintah. Ada keresahan dari warga yang harus segera direspons. Karena berkaitan dengan perizinan dan kewenangan lintas instansi, saya ambil kebijakan sementara seluruh aktivitas tambang dihentikan dulu,” katanya, Kamis, (10/4/25).

Mongabay telah menghubungi  Lauw Lanny Farida, Direktur Utama Golden namun tak ada respon.

Sawah petani Desa Cihaur tercemar limbah tambang emas. Foto: Walhi Jabar

Pertanian unggulan

Walhi Jawa Barat menilai,  para petani bukan hanya kehilangan panen, juga sumber penghidupan, kelumpuhan pangan, dan keberlanjutan ekosistem yang selama ini turun temurun mereka jaga.

Pemerintah daerah,  seharusnya memperhitungkan dampak sejak awal sebelum memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan.

“Jangan sampai IUP berlebihan karena ingin memaksimalkan pendapatan daerah dari sektor itu. Setiap wilayah memiliki daya dukung terbatas, terlebih ada masyarakat yang tinggal di sana yang tidak bisa dikesampingkan,”  kata Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sukabumi, pada 2019, distribusi persentase produk domestik bruto (PDB) dari sektor pertambangan dan penggalian di Sukabumi hanya 5,25%. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan 22,5%.

Dalam dokumen evaluasi hasil RKPD Sukabumi Triwulan IV 2023, nilai produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha Sukabumi 2016-2021 dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Rp9,051,57 miliar. Jumlah itu jauh lebih banyak dari sektor pertambangan dan penggalian hanya Rp2,833,44 miliar.

Berdasarkan dokumen Perda No. 10/2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Sukabumi 2023–2043, Kecamatan Simpenan termasuk area yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya. Ini jadi penekanan penting untuk menjaga fungsi ekologis di area itu agar tidak menimbulkan kerusakan yang bisa berdampak pada keselamatan masyarakat, ruang hidup, dan sumber penghidupan.=

“Telah banyak kerusakan akibat dari tidak diperhatikannya daya dukung lingkungan saat memberikan IUP. Momentum ini bisa menjadi untuk audit pertambangan,” katanya.

Hannah bilang, Pemerintah Jawa Barat dan Sukabumi harus melihat kondisi lapangan dan memeriksa kemungkinan pelanggaran perusahaan pemegang IUP.

Pengabaian dari upaya-upaya pemulihan lingkungan usaha pertambangan menjadi cermin ketidakhadiran pemerintah di masyarakat. Harusnya, ada penegakan hukum bila terjadi pelanggaran.

“Kerusakan saat ini jika terus dibiarkan bukan hanya memiskinkan masyarakat sekarang juga menjadi tanggungan generasi mendatang.”

Pemerintah, katanya,  perlu mempertimbangkan kembali IUP dengan memposisikan lingkungan tidak hanya sebagai lanskap, juga keragaman makhluk dan budaya yang menjadi satu kesatuan.

“Lingkungan merupakan sumber kehidupan masyarakatnya yang tidak semata-mata diabaikan demi pendapatan negara dari sektor pajak. Pemasukan negara yang tidak signifikan tidak sebanding jika ditukar dengan kerusakan ekosistem, rantai makanan, dan kebudayaan masyarakat.”

Pantauan citra satelit area tambang di Kabupaten Sukabumi tambang emas PT Wilton Wahana Indonesia (WWI). Berdasarkan Peta Gakkum KLH, area konsesi PT WWI seluas 2.878,50 hektar.

Tambang bawa bencana

Dampak lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam di Sukabumi bukan pertama kali terjadi. Pada Desember 2024, banjir bandang dan tanah longsor landa Sukabumi.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),  enam orang meninggal dunia dan hilang tiga.

Sedangkan kerusakan, tercatat rusak berat 361 rumah, rusak sedang 1.047 dan rusak ringan 1.531 rumah. Jembatan putus. Sebanyak 12 desa di 9 kecamatan banjir dan 30 desa di 22 kecamatan terdampak tanah longsor. Ada 2.500 orang terdampak karena rumah mereka hancur.

Penelusuran Mongabay melalui citra satelit, menemukan empat lokasi dengan pembukaan lahan luas, tiga merupakan area tambang emas. Lokasi pertama di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, ada Golden. Tak jauh dari sana, jarak lurus ke arah selatan sekitar 828 meter ada Blok Beling, masih area eksplorasi tambang emas Golden. Berdasarkan Peta Gakkum KLH, konsesi  Golden seluas 97 hektar.

Bergeser ke arah Selatan jarak lurus sejauh 10,1 kilometer, di Desa Cihaur ada PT Generasi Muda Bersatu seluas 100 hektar dengan komoditas galena. Kemudian, arah sama sejauh 20,2 kilometer di Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas ada tambang emas PT Wilton Wahana Indonesia seluas 2.878, 50 hektar.

Area tambang itu berada di perbukitan, di bawahnya terdapat perkebunan, persawahan dan pemukiman warga.

Di Blok Beling, ada aliran yang mengarah ke sawah. Sawah dengan metode terasering itu pun berwarna kuning kecoklatan.

Pembukaan lahan di Sukabumi juga marak. Tampak, area yang awalnya bertutupan gundul jadi hamparan tanah merah. Bukaan lahan yang luas terpantau area konsesi PT Wilton Wahana Indonesia.

Secara keseluruhan, berdasarkan Peta Gakkum KLH terdapat 46 IUP dengan berbagai komoditas, mulai dari emas, bijih besi, pasir besi, batu gamping hingga bentonit. Pemegang izin, dari PT, CV dan perseorangan. Dari 46 IUP, 12 masih berlaku, sedangkan 36 izin sudah berakhir.

Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan,  kerusakan lingkungan di Sukabumi terjadi sejak 20 tahun lalu hingga sekarang karena marak pembukaan lahan untuk konsesi tambang dan pembangunan infrastruktur.

Kondisi ini, katanya, tak lepas dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) untuk memperluas kawasan pertambangan.

“Dalam kurun 10 tahun, perusahaan tambang emas ini cukup memberikan kontribusi kerusakan signifikan terhadap lingkungan dan muaranya memang bencana. Akumulasi dari itu (Desember 2024) 38 kecamatan terendam banjir bandang yang disebabkan oleh Sungai Cimanuk,” katanya kepada Mongabay.

Dia meminta, kaji ulang Permen ESDM karena tidak berlandaskan upaya pemulihan ekologi di Sukabumi yang seharusnya pemerintah lakukan. Upaya ini, makin penting karena Sukabumi memiliki fungsi pengendali banjir bagi daerah seperti Jakarta dan sekitar, juga Cianjur dan Bogor.

“Ketika landscap DAS (daerah aliran sungai), baik DAS maupun sub-DAS-nya rusak, kontribusi bencana itu tidak hanya di kawasan yang berdekatan dengan lokasi kegiatan tambang. Juga akan berdampak terhadap masyarakat di bawahnya, masyarakat di hilir.”

Iwang bilang, pemerintah seakan memberikan karpet merah bagi pelaku usaha tambang, tanpa pengawasan, baik yang legal ataupun ilegal.

Selama ini, katanya,  belum ada tindakan tegas dari Pemerintah Sukabumi untuk pelaku usaha pertambangan yang melanggar ketentuan.

Eksplorasi tambang,  kata Iwang, rata-rata beroperasi di wilayah yang berdekatan dengan DAS. Sebab, tambang membutuhkan air. Pada akhirnya, material tambang mencemari DAS yang jadi tumpuan masyarakat.

Masyarakat, kata Iwang,  bisa protes dan mengajukan permintaan untuk menghentikan aktivitas pertambangan kepada pemerintah. Meski, perusahaan tambang memiliki IUP, bukan berarti hak penuh eksplorasi tanpa memperhitungkan dampak lingkungan.

“Wilayah-wilayah tambang itu perlu dicek kesesuaian fungsinya, kesesuaian kegiatan apakah sesuai peruntukan sesuai RTRW atau tidak,” katanya.

Banjir menerjang Sukabumi kuat dugaan dampak operasi pertambangan yang banyak menghilangkan daerah resapan. Foto: dokumen warga

**********

Tambang Emas Ancam Rusak Laut dan Kearifan Warga Sangihe

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|