Apakah kamu suka makan salmon nigiri, nasi sushi dengan cuka dan sepotong salmon di atasnya? Jika iya, ada kabar buruk buat kamu. Berdasarkan data Indeks Living Planet untuk Ikan Tawar Bermigrasi pada Tahun 2024, salmon merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang populasinya menurun drastis.
Meski salmon bukan ikan yang ada di perairan Indonesia, situasi menurunnya populasi ikan air tawar juga dialami di Indonesia. Penurunannya terbilang signifikan bahkan terancam punah. IUCN menyebutkan ada 25% dari seluruh spesies ikan air tawar berisiko punah.
Studi terbaru juga memaparkan bahwa populasi ikan tawar yang bermigrasi menurun hingga 81% sejak tahun 1970-2020. Ini disebabkan adanya degradasi dan hilangnya habitat, eksploitasi berlebih (overfishing), peningkatan polusi, dan perubahan iklim juga turut berperan dalam situasi ini.
Selain itu, studi tersebut juga menjelaskan fragmentasi sungai akibat degradasi dan hilangnya habitat juga disebabkan adanya bendungan dan penghalang lain yang menghambat ikan untuk bermigrasi. Salah satunya yang terjadi di Danau Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Konversi hutan di sekitar Danau Poso menyebabkan hutan primer seluas 681 hektar hilang Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Padahal wilayah tersebut sudah ditetapkan dalam situs AZE (Alliance for Zero Extinction) karena menyimpan banyak spesies unik yang tidak ditemukan di wilayah lainnya di dunia.
Apa saja ikan tawar yang hilang di Danau Poso dan wilayah Indonesia lainnya? Simak penjelasannya di bawah ini:
1. Ikan gobi sarasin (Mugilogobius sarasinorum)

Danau Poso menjadi suaka bagi beberapa spesies endemik air tawar yang kini terancam. Spesis ini jarang ditemukan di tempat lain dan sebagian besarnya adalah invertebrata, seperti moluska, udang dan ikan air tawar.
Ada kepiting Migmathelphusa olivacea dan ikan gobi sarasin (Mugilogobius sarasinorum) menjadi spesies unik Danau Poso yang terancam punah. Tak hanya itu, ada juga ikan bontinge (Adrianichthys oophorus) dan bungu masiwu sejenis ikan gobi sarasin atau gobi poso.
2. Ikan arwana merah (Scleropages formosus)

Arwana super merah merupakan spesies endemik dari Indonesia dan menjadi primadona di kalangan pecinta arwana. Di Kalimantan Barat, orang mengenal dengan nama ikan silok merah. Sisiknya berwarna merah, lalu di kedua sudut mulutnya masing-masing ditumbuhi seutas sungut. Ini juga yang menganggapnya sebagai simbol keberhasilan, keperkasaan dan kejayaan karena mirip seperti ‘naga merah.’
Tahun 70-an, spesies silok merah tersebar di beberapa wilayah Kalimantan Barat, seperti Semitau, Embaloh, Silat, Sentabai, Selimbau, Jongkong, Bunut, Tembalung, dan Danau Sentarum. Namun, pada 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7/1999 yang menyebutkan silok merah menjadi satwa dilindungi karena populasinya yang menurun drastis. Bahkan, IUCN menyatakan ikan arwana super red masuk Appendix I CITES kategori terancam punah (endangered).
Baca juga: Menjaga Silok Merah di Danau Empangau
3. Ikan batak (Neolissochilus thienemannie)

Di pesisir Danau Toba, ada jenis ikan air tawar yang lekat dengan kehidupan Suku Batak yakni Neolissochilus thienemannie atau biasa dikenal ikan batak. Ikan ini biasa digunakan untuk ritual, upacara adat, atau masakan tradisional.
Sayangnya, populasi ikan batak terus menurun drastis. Nelayan di Bakkara, Humbang Hasundutan mengaku tak pernah lagi menjumpai ikan batak saat berlayar. Di tahun 2020, ikan batak masuk dalam daftar IUCN Red List yang terancam punah.
Dalam penelitian Rachmad, dkk., mereka menemukan hanya ada 25 ekor ikan batak jantan dan 13 ekor ikan batak betina di tiga sungai di tiga kabupaten Sumatera Utara. Robert Sibarani, Guru Besar Antropologi Universitas Sumatera Utara, kearifan lokal Suku Batak bisa menjadi salah satu upaya penyelamatan ikan ini.
Warga Desa Bonan Dolok, Samosir memercayai ikan batak hanya muncul pada waktu tertentu. Kemunculan ikan ini menjadi pertanda keberuntungan. Oleh karena itu, penangkapannya tidak boleh sembarangan. Ikan batak hanya boleh ditangkap lewat doa dan upacara di habitat mereka.
“Ikan yang berada di dekat pohon beringin tak boleh sembarangan diambil atau ditangkap. Kalau ikan sengaja ditangkap, dimasak 7 hari tujuh malampun ikan gak akan matang. Akan ada bala bagi mereka yang memakan,” jelas Robert. Menurutnya, mitos semacam itu bisa jadi alternatif pelestarian ikan batak di habitat alami dan mencegah penangkapan berlebihan.
4. Ikan belida lopis (Chitala lopis)

Sejak 2021, ikan endemik Pulau Jawa, belida lopis (Chitala lopis) sudah dinyatakan punah oleh IUCN. Menurut penelitian Dr. Heok Hee Ng, seorang ahli ikan tawar asal Singapura, ikan sudah tidak terlihat di perairan Jawa sejak tahun 1851.
Selain belida lopis di Jawa, ada sejumlah spesies belida asli Indonesia yang lain, yakni belida borneo (Chitala borneensis), belida sumatera (Chitala hypselonotus), dan belida jawa (Notopterus notopterus). Di antara spesies-spesies lain, belida lopis memiliki ukuran paling besar hingga 150 cm untuk ukuran dewasa.
Menurut Haryono, peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ikan ini pernah menduduki puncak rantai makanan di ekosistem sungai di Jawa. Namun, degradasi habitat yang masif telah menghancurkan populasi belida lopis. Selain itu, maraknya kegiatan industri, domestik, dan pertanian yang menghasilkan polutan juga menjadi faktor kepunahan belida lopis.
Baca juga: Ikan Endemik Bangka Belitung, Riwayatmu Kini
5. Ikan pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi)

Ikan pelangi Sulawesi (Marosatherina ladigesi) atau “beseng-beseng” adalah ikan air tawar endemik di Sulawesi Selatan. Bentuknya unik dengan tubuh transparan dengan warna beragam, seperti hijau toska metalik, kuning kunyit, dan hitam. Keindahan tersebut membuatnya populer sebagai ikan hias, terutama jantan yang memiliki sirip berwarna-warni.
Sayangnya, ikan ini semakin langka akibat eksploitasi berlebihan untuk perdagangan akuarium serta rusaknya habitat alami. Ikan ini masuk sebagai spesies kategori rentan dalam IUCN. Artinya, populasi ikan pelangi ini terus menurun.
6. Pari manta karang (Mobula alfredi)

Pari manta karang (Mobula alfredi) menjadi ikon perairan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Spesies ini cukup besar dengan panjang hingga 9 meter dan berat hingga 3 ton saat dewasa.
Sayangnya, status konservasinya saat ini berada dalam kategori rentan (vulnerable) menurut IUCN. Spesies ini punya risiko punah jika tak ada upaya perlindungan yang efektif. Perburuan ilegal, hilangnya habitat, dan tekanan dari kegiatan manusia yang semakin meningkat di wilayah perairan menjadi faktor utama ancaman kepunahan bagi pari manta karang.
Di Raja Ampat, pari manta karang membentuk metapopulasi. Mereka tersebar di beberapa ekosistem terumbu karang, seperti di sekitar Pulau Waigeo, atol Ayau, dan perairan Misool. Penelitian yang dilakukan oleh Edy Setyawan dan timnya mengungkapkan bahwa spesies ini lebih cenderung tinggal di habitat yang sama dalam jangka waktu lama. Pergerakan mereka terbatas karena faktor-faktor alami seperti laut dalam dan keberadaan predator.
(****)
Kearifan Masyarakat Tempirai: Menjaga Ekosistem Ikan Air Tawar dengan Melindungi Lahan Basah