Pertahankan Tanah, 11 Warga Halmahera Timur Terjerat Hukum

8 hours ago 2
  • Polda Maluku Utara (Malut) menangkap 27 warga Maba Sangaji, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), 11 ditetapkan sebagai tersangka usai menuntut pertanggungjawaban PT Position, yang menyerobot lahan warga untuk tambang nikel. Polisi menuding aksi warga yang menuntut haknya sebagai bentuk premanisme yang menganggu investasi.
  • Anto Yunus, kuasa hukum warga, mengatakan penangkapan terhadap warga merupakan bentuk pembatasan hak berekspresi. Ia mempertanyakan dasar hukum dari penahanan tersebut terutama karena warga hanya menyampaikan aspirasi dan menuntut ganti rugi atas lahan adat yang diserobot perusahaan.
  • Amin Yasim, warga Maba Sangaji, mengatakan penangkapan–sekaligus penetapan tersangka–merupakan pembungkaman hak masyarakat adat mempertahankan ruang hidupnya atas ancaman tambang nikel. Dengan menangkap warga, kata Amin, polisi justru membela perusahaan dan tidak menyelesaikan konflik tanah adat di Maba Sangaji.
  • Julfikar Sangaji Dinamisator Jatam Malut mengatakan penangkapan dan penetapan tersangka terhadap warga tak lain untuk membungkam warga yang kritis. Polisi juga menyebarkan narasi sesat warga membawa senjata tajam dan melakukan tindakan premanisme padahal sekadar pengalihan isu untuk sebagai pembenaran atas represifitas aparat terhadap masyarakat adat.

Sebanyak 27 warga Desa Maba Sangaji, Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara, polisi amankan gara-gara  berunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban  PT Position yang menambang nikel di tanah adat. Polda Maluku Utara pun menetapkan 11 orang sebagai tersangka, Senin (19/5/25).

Polisi menuduh warga menghalang-halangi aktivitas tambang perusahaan. “Tindakan yang dilakukan tersebut menunjukkan aksi premanisme yang meresahkan masyarakat dan investasi,” kata Bambang Surhayono, Kabid Humas Polda Malut dalam siaran pers yang Mongabay terima. 

Dia menyebut, selain membawa senjata tajam saat aksi, warga juga merebut 18 kunci alat berat perusahaan. Barang bukti yang mereka amankan antara lain 10 parang, satu tombak, lima ketapel, satu pelontar panah dan 19 anak panah, spanduk, hingga terpal. 

Protes yang berlangsung Jumat (16/5/25) itu karena warga  kesal lantaran tanah mereka tergali  begitu saja. Warga pun terpaksa menghentikan kegiatan penambangan di hutan Maba Sangaji itu. Saat itulah, polisi  menangkap 27 warga, 11 jadi  tersangka.  Inisial HI, HL, JH, AS, JB, NS, YHS, SA, SM, UM, dan S.

Polisi menjerat mereka dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat No.12/1951 membawa sajam tanpa hak dengan ancaman 10 tahun,  Pasal 162 UU No.3/2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan berizin dengan ancaman pidana satu. Juga  Pasal 368 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, atas dugaan tindak pidana pemerasan dan pengancaman.

Kuasa hukum bersama 27 warga yang ditangkap di markasPolda Maluku Utara, Senin, 19 Mei 2025. Foto: dokumen warga.

Alami kekerasan saat diperiksa

Anto Yunus, kuasa hukum warga, mengatakan,  sebagian warga diduga mengalami penganiayaan saat pemeriksaan. “Mereka (warga Maba Sangaji) bahkan mendapat penganiayaan. Ada kekerasan fisik. Sudah kita lihat dan foto,” katanya kepada Mongabay, Senin (19/5/25). 

Penangkapan warga Maba Sangaji, katanya,  sebagai upaya membatasi hak warga berekspresi. Dia pun mempertanyakan dasar hukum penahanan. Aksi warga, katanya,  semata menuntut ganti rugi atas lahan yang  perusahaan terobos.

Soal tudingan polisi terkait warga yang membawa senjata tajam saat beraksi,  karena mereka adalah petani. Sudah  kebiasaan  petani manapun saat pergi ke lahan  membawa peralatan seperti parang dan  lain-lain. Jadi, katanya,  bukan untuk tindak kekerasan.

“Apakah ada pengancaman dan ada yang luka di perusahaan? Atau ada mobil yang terbakar di sana dan ada operasi industri yang ditutup di sana? Apakah ada kerugian? Tunjukkan kerugian keuangan perusahaan atas aksi warga. Kalau tidak ada kerugian, jangan berdalih?”

Anto mendesak,  Polda Malut membebaskan 11 warga itu melalui pendekatan restorative justice atau pendekatan penyelesaian perkara pidana yang menekankan pada pemulihan dan rekonsiliasi, bukan hukuman. Kalau tidak, mereka  akan mengajukan gugatan praperadilan.

Petugas kepolisian berusaha menghalau warga yang berunjuk rasa di area tambang PT Position. Foto: tangkapan layar.

Awal mula

Perjuangan warga mempertahankan  tanah dan hutan adat dari  tambang nikel Position sudah berlangsung sejak akhir 2024. Ketika itu, warga tiba-tiba mendapati perusahaan sudah beraktivitas hingga menyebabkan hutan dan kebun rusak. Sungai utama di desa juga tercemar.

Perusahaan tidak pernah menyampaikan hal apapun atas rencana mereka untuk menambang termasuk kepada pemerintah desa sekalipun. Karena itu, warga pun menyebut aktivitas perusahaan di wilayah itu sebagai tindakan ilegal. 

Desember 2024, perusahaan  sempat ke desa dan menggelar rapat. Namun, bukannya mengkonfirmasi penyerobotan lahan yang mereka lakukan, melainkan untuk sosialisasi dan perekrutan pekerja. Tak pelak, pertemuan itu justru membuat warga geram. 

“Alih-alih mengkonfirmasi tindakan penyerobotan mereka, PT Position justru mengundang kepala desa dan membicarakan talih asih, tanpa melibatkan warga sama sekali,” katanya. 

Menurut informasi, tali asih sebagai kompensasi atas lahan warga yang terdampak. Tanpa persetujuan warga, perusahaan memutuskan untuk memberi tali asih  Rp2.500 per meter persegi tanah. Warga pun menolak hingga tak ada kesepakatan. 

Warga beralasan, daya rusak pertambangan jauh lebih besar ketimbang tali asih yang di luar nalar itu. “Hutan yang dihancurkan oleh perusahaan adalah hutan pala dan semua warga punya tanaman pala, kayu damar, kayu besi, kenari di hutan tersebut. Perusahaan juga menghancurkan sungai kecil dan besar. Kerusakan sungai ini turut menghancurkan laut di Maba Sangaji.” 

Kendati mendapat penolakan, perusahaan tetap saja beroperasi. Hingga  Jumat (16/5/25), warga mendatangi lokasi tambang  di hutan Maba Sangaji. Di sana, warga menyita kunci mesin alat berat guna memastikan kegiatan  berhenti. 

Mongabay berusaha meminta penjelasan kepada pihak perusahaan terkait persoalan ini, meski tak membuahkan hasil. Nomor resmi perusahaan yang tercantum di laman resmi sedang tidak aktif saat dihubungi Mongabay.

Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Malut menyebut, Position  memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) seluas 4.017 hektar. Izin ini berlaku dari 2017- 2037. Sekitar 51%P saham Position punya  PT Tanito Harum Nickel (THN). Sedangkan 49% tergenggam oleh Nickel International Kapital, Pte.Ltd (NICAP) yang berbasis di Singapura.

THN merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan PT Harum Energy Tbk (HRUM) dalam hubungan ‘entitas anak tidak langsung.’ Perusahaan ini dimiliki oleh Kiki Barki yang tercatat sebagai orang terkaya ke-33 di Indonesia versi Forbes 2023.

Warga Maba Sangaji, Halmahera Timur (Haltim) berunjuk rasa di depan Mapolda Malut untuk menuntut pembebasan warga. Foto: Rabul Syawal/Mongabay Indonesia.

Desak pembebasan

Kabar penahanan belasan warga Maba Sangaji memantik protes berbagai pihak. Senin (19/5/25), massa dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa di depan Mapolda Malut untuk mendesak pembebasan para tersangka.

Amin Yasim, warga Maba Sangaji, mengatakan, penangkapan koleganya semata untuk membungkam hak masyarakat adat mempertahankan ruang hidup dari  tambang nikel. Hal itu sekaligus mempertegas keberpihakan polisi pada perusahaan, ketimbang warga yang berjuang mempertahankan haknya.

“Ini jelas menunjukkan sikap polisi yang terang-terangan membela perusahaan dan tidak menyelesaikan konflik tanah adat di Maba Sangaji. Padahal tugas polisi untuk melayani dan mengayomi masyarakat.”

Amin katakan, apa yang warga lakukan untuk mempertahankan tanah ulayatnya, bukan tindakan kriminal. 

“Kita pun bertanya, polisi melindungi dan  mengayomi itu untuk siapa? Setiap kali warga melawan, mereka selalu dicap sebagai kriminal. Padahal mereka hanya mempertahankan ruang hidupnya dari kesewenang-wenangan perusahaan,” jelas Amin di lokasi aksi.

Dirinya juga sayangkan sikap pemerintah daerah (Pemda) yang cenderung abai dan tidak menganggap penting persoalan ini. “Bupati Haltim Ubaid Yakub tidak ada tanda-tanda mengambil satu keputusan serius untuk menyelesaikan masalah tanah adat di Haltim. Ini potret kebusukan pemerintah kita saat ini,” terang Amin.

Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Malut tambahkan, teror dan intimidasi terhadap warga Maba Sangaji penolak tambang nikel Position berlangsung secara terorganisir. Praktik itu berlangsung sejak konflik mencuat hingga berujung pada penangkapan warga itu. 

Begitu juga penangkapan yang berujung penersangkaan 11 warga, menurut Julfikar, hal itu sebagai upaya menakut-nakuti warga. Tujuannya, tidak ada lagi protes dan menerima apapun dampak buruk akibat operasional perusahaan. 

“Narasi yang disebarkan Polda Maluku Utara yang menyebutkan warga membawa senjata tajam dan melakukan tindakan ‘premanisme’ merupakan pengalihan isu sebagai pembenaran atas represivitas aparat terhadap masyarakat adat.”  

Julfikar menegaskan, warga yang ditangkap bukanlah preman, melainkan petani dan nelayan. Mereka protes karena alam dan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan mereka telah rusak akibat tambang. 

Dia menilai,  tindakan aparat menetapkan  11 tersangka sebagai bentuk intimidasi paling nyata untuk melemahkan perjuangan masyarakat adat. “Aksi Masyarakat Adat Maba Sangaji bukanlah bentuk premanisme, melainkan upaya mempertahankan hak yang sah. Negara seharusnya hadir untuk melindungi warga, bukan berpihak pada korporasi yang merampas tanah rakyat.”

Julfikar mendesak,  polisi menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap warga adat Maba Sangaji yang berjuang mempertahankan hak dan sumber penghidupan mereka dari ancaman tambang. Dirinya mendesak agar izin Position dicabut dan membebaskan warga dari segala tuduhan. 

“Penyelidikan independen atas tindakan represif aparat kepolisian yang bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi.”

*****

Laut Obi dan Halmahera Tercemar Aktivitas Tambang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|