- Owa jawa (Hylobates moloch) adalah satu-satunya spesies owa di Pulau Jawa dan tergolong kera kecil (small apes) dan sepenuhnya arboreal (hidup di pohon). Populasinya kini terancam karena fragmentasi habitat dan laju reproduksi yang lambat.
- Alih fungsi lahan menjadi kebun dan permukiman memisahkan habitat owa menjadi fragmen kecil yang berisiko memicu kawin sedarah dan menurunnya keragaman genetik.
- SwaraOwa di Hutan Petungkriyno, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah tidak hanya melakukan survei dan pemantauan populasi owa, tetapi juga melakukan pendampingan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan satwa liar, termasuk mengembangkan inisiatif ekonomi berkelanjutan seperti produksi kopi ramah lingkungan dan ekowisata (mammal watching).
- Perburuan owa jawa untuk peliharaan dan konsumsi di Petungkriyono kini mulai menurun berkat kesadaran dan peran serta masyarakat. Beberapa desa bahkan mulai menyusun kebijakan lokal untuk melindungi primata dan habitatnya.
Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis kera kecil (small apes) yang khas karena tidak memiliki ekor dan hidup secara monogami dalam kelompok kecil berisi pasangan dan anak. Owa tidak turun ke tanah, dan seluruh aktivitasnya dilakukan di atas pohon.
Di Indonesia, terdapat sembilan spesies owa, namun hanya satu spesies owa yang ditemukan di Pulau Jawa, yang habitatnya tersebar dari Ujung Kulon hingga Pegunungan Dieng. Suaranya yang nyaring dan khas di pagi hari menjadi ciri penting serta indikator ekosistem hutan yang sehat.
Kondisi habitat owa jawa di Pulau Jawa sangat terbatas karena hutan-hutan yang menjadi rumah mereka semakin terfragmentasi akibat alih fungsi lahan, pembukaan kebun, dan pertumbuhan populasi manusia.
Namun, ada beberapa kawasan hutan Jawa yang masih menjadi habitat owa, seperti hutan Petungkriyono di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Wilayah ini relatif aman dari tekanan, yang menjamin keberlangsungan hidup kelompok owa.
SwaraOwa sebagai organisasi konservasi berperan besar dalam mendampingi masyarakat sekitar hutan untuk bisa hidup berdampingan dengan satwa liar seperti Owa Jawa. Serta kegiatan ilmiah yang melibatkan kalangan akademis untuk membuat dampak pada spesies owa lainnya di Indonesia.
Dalam program Bincang Alam kali ini Mongabay Indonesia mengundang Kurnia AhmKurnia Ahmadin, Biodiversity Manager dari SwaraOwa, sebuah organisasi konservasi yang berperan besar dalam mendampingi masyarakat sekitar hutan untuk bisa hidup berdampingan dengan satwa liar seperti owa jawa. Diskusi ini dilakukan pada tanggal 8 Mei 2025 dalam tajuk Harapan Untuk Terus Bisa Mendengar Suara Owa di Petungkriyono
Berikut adalah rangkuman diskusi, yang tata bahasanya telah disesuaikan untuk penulisan artikel ini.
Mongabay: Mari berkenalan dengan owa jawa. Pertama-tama, apa perbedaan antara monyet dan kera? Dan owa termasuk termasuk yang mana?
Kurnia Ahmadin : Monyet adalah kelompok primata yang salah satu cirinya biasanya memiliki ekor, kemudian kalau kera itu tidak memiliki ekor. Owa ini salah satu kera atau ‘apes’. Owa termasuk golongan small apes, kalau great apes itu seperti orangutan, gorila, dan simpanse.
Habitat owa ini bisa ditemukan di hutan di daerah tropis Asia mulai dari Tiongkok sampai Indonesia. Ada dua puluh spesies owa di dunia itu dan sembilan diantaranya di Indonesia. Empat di Kalimantan, tiga di Sumatera, satu di Mentawai, dan satu di Jawa, yaitu owa jawa.
Mongabay: Apa yang menjadi ciri khas owa?
Kurnia Ahmadin : Owa memiliki rambut di seluruh tubuhnya tapi dia tidak memiliki ekor, mereka itu selalu hidup di hutan yang pohon-pohonnya masih banyak. Jadi mereka jarang sekali turun ke tanah bahkan tidak pernah, karena dia bergerak dengan tangan dan kakinya untuk berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya.
Lalu ciri lainnya, owa itu bunyinya sangat kencang dan khas, salah satu fungsi bunyi itu adalah untuk menandakan teritori. Owa bisa mengeluarkan bunyi yang jangkauan bisa sampai 2 km.
Owa ini pun bisa menjadi indikator bahwa hutan di kawasan tersebut masih bagus karena dia tidak bisa hidup tanpa tanpa pohon-pohon dan tanpa pakan-pakan yang ada di hutan ini.
Sebagian besar makanan mereka buah, seperti jenis beringin dan sekaligus untuk minum yang sudah terpenuhi dari buah-buahan itu. Owa juga agen penyebar biji, yang artinya kalau hutannya terfragmentasi maka selama masih ada owanya, kita nggak perlu tanam-tanam pohon di hutan lagi karena sudah ada yang menanam yaitu owa.

Mongabay: Seperti apa pola hidup owa?
Kurnia Ahmadin : Owa Jawa hidup dalam struktur keluarga kecil yang terdiri dari satu induk jantan dan satu induk betina, dan anak mereka. Umumnya, satu kelompok hanya terdiri dari tiga individu, jarang lebih.
Saat anak mulai memasuki usia dewasa atau masa kawin, mereka akan diusir dari kelompok untuk mencari wilayah dan pasangan sendiri.
Uniknya, owa adalah primata monogami. Mereka cenderung tidak berganti pasangan seumur hidup. Jika salah satu pasangan mati, owa yang ditinggalkan biasanya memilih untuk hidup menyendiri.
Di Pulau Jawa, owa jawa itu sebarannya bisa di temukan Jawa Tengah bagian tengah di pegunungan Dieng sisi utara, sampai bagian barat di Ujung Kulon.
Mongabay: Seperti apa status populasi mereka dan seberapa besar kesempatan kita untuk bertemu langsung dengan owa jawa di hutan?
Kurnia Ahmadin : Owa ini termasuk hewan yang sensitif dengan kehadiran manusia, sehingga mereka cenderung sulit untuk ditemui kalau di tempat-tempat yang hutannya rapat, kita hanya bisa mendengar suaranya.
Hutan di Jawa pun juga sudah tidak banyak, jadi status IUCN mereka adalah Endangered karena salah satunya pemicunya kehilangan habitatnya. Selain itu, fase hamilnya bisa dua tahun sekali makanya perkembangbiakanya cenderung lambat.
Untuk estimasi populasinya. Kita hanya bisa mengekstimasikan dari metode-metode yang sudah dilakukan, dan kalau saya bisa bercerita di lanskap kami di Petungkriyono, Dieng bagian utara termasuk salah satu yang terbesar untuk kawasan non konservasi.
Saat survey populasi terakhir tahun 2021 itu ada sekitar 1092 individu, perlu digarisbawahi ini adalah estimasi ya bukan jumlah pasti karena jumlah pastinya masih perlu dikaji lagi. Terbanyak mereka berada di kawasan Pegunungan Halimun Salak, dimana statusnya konservasinya Taman Nasional jadi hutannya terjaga dan cakupan wilayahnya juga lebih luas daripada yang di pegunungan Dieng ini.

Mongabay: Laporan Mongabay Indonesia sebelumnya, menyebut Owa jadi salah satu spesies yang sekarang ini rawan untuk diperdagangkan secara ilegal. Seperti apa isunya sekarang ini?
Kurnia Ahmadin : Owa jawa termasuk Apendix 1 CITES yang artinya dilarang diperdagangkan. Di beberapa wilayah itu masih memburu owa jawa sebagai peliharaan. Alhamdulillah, perdagangan untuk owa ini sudah sangat kurang karena karena pemerintah juga cukup tanggap untuk menangani owa jawa.
Mongabay: Apakah mereka juga diburu untuk dikonsumsi?
Kurnia Ahmadin : Di wilayah sini sendiri di Kecamatan Lebakbarang, ada satu kampung yang dulunya memburu dan mengkonsumsi satwa liar, tidak hanya owa, tetapi semuanya. Karena kebetulan yang lebih mudah dan lebih gampang ditembak ini owa, tetapi sekarang sudah tidak lagi, sejak banyak pemuka-pemuka agama yang masuk di desa itu bilang kalau mereka beragama Islam, tidak boleh mengonsumsi sembarangan daging.
Lalu juga ada pendampingan dari kami ataupun dari yang lain juga menjelaskan bahwa primata-primata adalah hewan yang dilindungi dan tidak bisa dikonsumsi.
Mongabay: Lalu seperti apa hutan di Petungkriyono sendiri sebagai habitat owa jawa?
Kurnia Ahmadin : PetungKriyono ini sebenarnya sebuah kecamatan, di Kabupaten Pekalongan di Jawa Tengah yang yang terletak 60-80 km dari sisi utara Dieng, dan di sini merupakan salah satu hutan pegunungan dan hutan dataran rendah yang tersisa di Jawa.
Status hutan ini adalah milik Perhutani yaitu Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kami di SwaraOwa salah satunya melakukan monitoring populasinya owa jawa ini. Kami juga melakukan pendampingan masyarakat supaya dapat tetap hidup berdampingan dengan alam liar dan tidak ada pengrusakan hutan secara berlebihan. Jadi tidak merusak alam dan kita tetap bisa hidup berdampingan.
Kami juga melakukan pelatihan survei primata untuk teman-teman mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia yang penelitian owa, sehingga mereka bisa lakukan survei dan bisa melakukan kontribusi konservasi di wilayah habitat owa masing-masing

Mongabay: Apakah masih ada konflik antara owa jawa di alam liar dengan masyarakat lokal sendiri?
Kurnia Ahmadin : Karena owa ini hidup di hutan jadi mereka cenderung tidak merusak apa-apa yang ditanam petani, bahkan durian sekalipun. Paling makan bunga durian yang dekat yang sangat dekat dengan kawasan hutan. Jadi tidak ada konflik yang berarti dengan masyarakat.
Mongabay: Apakah ada warga masyarakat yang mengelola hasil hutan yang mungkin saling memberikan manfaat dengan Owa?
Kurnia Ahmadin : Di Petungkriyono, dulunya banyak warga menanam kopi di bawah tegakan pohon hutan. Awalnya, kopi dianggap sebagai tanaman pengganggu atau “hama”, namun ternyata secara alami kopi bukanlah spesies invasif. Penyebarannya pun lebih karena aktivitas manusia yang menanamnya.
Kami melihat potensi ini dan mulai melakukan pendampingan. Benang merahnya: ada kopi di bawah, ada owa jawa di atas. Sekitar tahun 2008–2010, harga kopi sangat rendah karena masyarakat belum tahu cara mengolah dan memasarkannya dengan baik.
Kami lalu tinggal bersama masyarakat, ikut memproses kopi, sambil sama-sama belajar. Lewat pelatihan ini, masyarakat mulai memahami cara mengolah kopi dengan baik, dan pada akhirnya bisa mendapat manfaat ekonomi dan tetap menjaga habitat owa.
Dalam lima tahun terakhir juga, tren wisata bergeser dari birdwatching ke mammal watching dan primate watching, termasuk melihat owa jawa. Untuk itu, kami melatih warga lokal menjadi pemandu wisata agar bisa mendampingi pengunjung tanpa merusak habitat atau mengganggu owa.

Mongabay: Di tengah pembangunan yang terus berkembang, banyak hutan terfragmentasi. Apa yang terjadi ketika hutan yang semakin terfragmentasi itu mempengaruhi kehidupan owa jawa?
Kurnia Ahmadin : Owa jawa sangat tergantung pada konektivitas hutan. Saat habitat mereka terfragmentasi—terpisah-pisah, karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan—mereka jadi terisolasi. Akibatnya, owa hanya hidup di wilayah terbatas dan berisiko kawin sedarah, yang bisa memicu masalah genetik dan penyakit.
Jika kondisi ini terus berlanjut, populasi owa bisa punah secara perlahan.
Untuk mengatasi hal ini, teman-teman di Dusun Sawahan, Desa Mendolo, berinisiatif membuat koridor hutan. Tujuannya menghubungkan kawasan-kawasan hutan yang terpisah, agar owa bisa berpindah dan berinteraksi dengan kelompok lain.
Selain menyambung habitat, upaya ini juga bertujuan melindungi sumber air dan menyediakan pakan alami bagi owa dan primata lain. Mereka menanam berbagai tanaman pakan potensial di sepanjang anak sungai sebagai bagian dari strategi membangun koridor ekologis.
Mongabay: Menurut Anda, langkah apa yang paling efektif dalam melindungi owa jawa yang statusnya sudah endangered dan hidup di salah satu pulau terpadat di dunia?
Kurnia Ahmadin : Menurut saya, cara paling efektif untuk melindungi owa jawa adalah dengan tetap menjaga habitat alaminya dan tidak memburunya. Selama habitatnya terjaga, Owa akan tetap bisa hidup.
Namun, perlindungan ini tidak cukup hanya berfokus pada owa saja. Kita juga perlu memperhatikan peran manusia, terutama masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kesadaran dan kepedulian terhadap owa jawa harus tumbuh, tidak hanya di dalam kawasan hutan, tetapi juga di luar, oleh masyarakat luas.
Artinya, kita perlu membangun kesadaran bersama—bahwa hidup berdampingan dengan owa itu penting. Meski konsep “hidup berdampingan” terdengar sederhana, praktiknya tidak mudah. Kita semua masih belajar dan mencari tahu sejauh mana manusia bisa menyesuaikan diri dan bertoleransi terhadap keberadaan Owa Jawa. Tapi yang jelas, menjaga habitat tetap menjadi kunci utama.
Kami juga mendorong pendekatan desentralisasi, yaitu kesadaran dan inisiatif dari masyarakat lokal sendiri untuk konservasi owa jawa. Salah satu contohnya, masyarakat di Kayupuring pernah didorong untuk menyusun Perdes (Peraturan Desa) tentang perlindungan primata dan kawasan hutan.
Saat ini kami masih dalam tahap evaluasi terhadap efektivitas Perdes tersebut. Inisiatif terbaru datang dari Desa Mendolo, di mana sekelompok pemuda tani yang tergabung dalam PPM Mendolo mulai merancang kebijakan di tingkat dusun.
Meskipun skalanya masih kecil, mereka sudah sepakat untuk tidak memburu primata dan burung di wilayah mereka.