- Warga Desa Gedangrowo banyak yang sehari-hari mencari sampah plastik dari tumpukan limbah di tempat pembuangan sampah desa itu. Banyak potongan sampah plastik kemasan berbagai produk berasal atau dijual di negara-negara Uni Eropa seperti Italia, Jerman, Spanyol, Belanda atau Jerman.
- Sampah-sampah itu berasal dari pabrik kertas di sekitar Jawa Timur. Mereka membuang limbah sisa pemrosesan kertas daur ulang. Meskipun keluar dari pabrik kertas, namun limbah tak hanya bubur kertas.
- Indonesia bergulat dengan sampah yang tidak dapat terdaur ulang sejak Tiongkok melarang semua impor sampah pada 2018. Kondisi ini mengalihkan banjir plastik global yang tidak dipilah ke Asia Tenggara. Dalam waktu kurang dari satu dekade, jutaan ton sampah plastik dari negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Uni Eropa telah membanjiri kawasan ini.
- Dampak polusi plastik tak hanya mengancam kesehatan masyarakat rentan di Indonesia, juga mengungkap sisi gelap daur ulang Eropa. Sementara Uni Eropa membanggakan ambisi hijau mereka, berton-ton sampah plastik berakhir di negara-negara berkembang, yang menjadi ancaman diam-diam bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Setiap hari, Bukhori berjam-jam mencari sampah plastik dari tumpukan limbah Desa Gedangrowo, Sidoarjo, Jawa Timur. Bagi Bukhori tempat pembuangan sampah di Gedangrowo ini adalah harta karun.
Lokasi berukuran sekitar 30×30 meter itu tak jauh dari rumahnya. Di dua sisi tempat itu jalan tanah untuk mobil-mobil angkutan barang membuang sampah.
Mobil-mobil itu, katanya, berasal dari pabrik kertas di sekitar Jawa Timur. Mereka membuang limbah sisa pemrosesan kertas daur ulang. Meskipun keluar dari pabrik kertas, namun limbah tak hanya bubur kertas. Banyak potongan sampah plastik kemasan berbagai produk berasal atau dijual di negara-negara Uni Eropa seperti Italia, Jerman, Spanyol, Belanda atau Jerman.
“Sering juga ketemu uang dolar (US$), Euro, dolar Singapura atau uang Malaysia,” kata Bukhori.
Yang Bukhori lakukan jamak bagi warga di Gedangrowo. Masyarakat memilah sampah plastik dengan tangan telanjang.
Pertengahan Agustus tahun lalu, Bukhori memilih ‘rosok’ yang masih bisa dijual ke pabrik daur ulang plastik. Sisa plastik kemasan termasuk dari Eropa dia jemur untuk jual ke pengepul.
Pengepul biasa menjual sampah plastik itu ke usaha rumahan seperti pabrik tahu atau pabrik kerupuk sebagai bahan bakar, karena murah dan mudah mendapatkannya.
Pembakaran sampah plastik ini melepaskan gas dan logam berat yang berpolusi dan beracun, berisiko menyebabkan kanker dan kerusakan serius pada sistem kekebalan tubuh manusia.
Menurut Bukhori, tempat pembuangan limbah ini sudah ada sejak 70-an. Tiap desa dapat jatah dan ada orang yang khusus mengurus pembagian sampah.
Pada tengah tahun lalu, setidaknya ada 12 truk membuang sampah di sana setiap hari. “Ayah saya dulu juga kerja ini,” katanya.
Pembeli utama sampah plastik seperti yang Bukhori kumpulkan adalah Dua Bersaudara, pabrik tahu di Desa Tropodo sekitar 33 kilometer dari Desa Gedangrowo.
Dari jalan raya, desa ini mudah dikenali karena kepulan asap hitam tebal keluar dari cerobong-cerobong asap dari rumah-rumah, terutama saat pagi hari.
“Awalnya, saya ggunakan kayu, tetapi bertahun-tahun lalu saya mulai menggunakan plastik,” kata Gufron, salah satu pemilik pabrik tahu.
Selain sulit dapat kayu saat ini, harga juga lebih mahal dan habis lebih cepat.
Saat ini, pabrik memproduksi tiga ton tahu setiap hari, mereka jual di Surabaya dan sekitar. Dia memperkirakan, setidaknya ada 60-an usaha serupa di desa itu.
Gufron mempekerjakan puluhan orang dari berbagai kabupaten namun warga yang tinggal di dekat pabrik mengeluhkan asap pekat, masalah pernapasan dan kekhawatiran tentang dampak kesehatan jangka panjang.
Pada 2019, laporan bersama oleh organisasi lingkungan termasuk Ecological Obsevasi And Wetlands Conversation (Ecoton) mengonfirmasi, dioksin dari pembakaran plastik memasuki rantai makanan lokal.
Studi ini menemukan, telur ayam dari dekat salah satu pabrik tahu di Tropodo mengandung tingkat dioksin tertinggi kedua yang pernah terukur di benua Asia. Tingkat lebih tinggi hanya terdeteksi pada telur yang dikumpulkan di dekat Bien Hoa, Vietnam, satu daerah paling terkontaminasi Agent Orange—herbisida yang jadi senjata kimia— selama Perang Vietnam.
Studi epidemiologi telah menghubungkan paparan dioksin terklorinasi—seperti temuan dalam telur Tropodo — dengan penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan porfiria. Juga, endometriosis, menopause dini, perubahan kadar testosteron dan hormon tiroid, serta melemahnya sistem kekebalan tubuh.

Jejak plastik Eropa
Dampak polusi plastik tak hanya mengancam kesehatan masyarakat rentan di Indonesia, juga mengungkap sisi gelap daur ulang Eropa. Sementara Uni Eropa membanggakan ambisi hijau mereka, berton-ton sampah plastik berakhir di negara-negara berkembang, yang menjadi ancaman diam-diam bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pengungkapan Ecoton dalam laporan 2019 itu, sempat memicu tindakan pemerintah setempat. Saat itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, langsung mengunjungi desa-desa yang memilah sampah plastik dari pabrik kertas. Kunjungan itu bersamaan dengan penyitaan Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Perak atas kiriman 210 ton kertas impor untuk daur ulang yang bercampur dengan limbah berbahaya dan beracun dari Eropa.
Menurut Bukhori dan Rusman yang pernah bekerja di sejumlah pabrik kertas di Jawa Timur, selama puluhan tahun, kontaminasi sampah plastik dari Eropa masih terus ada.
“Meski tidak sebanyak sebelum sidak (inspeksi mendadak),” kata Rusman, pensiunan perusahaan pabrik kertas akhir 2023.
Mereka kerap melihat kontainer datang dari Spanyol, Irlandia, Jerman, Inggris, Kanada, Malaysia, Hong Kong, dan Singapura, semua terkontaminasi plastik dan sampah lain.
Sekitar 100 kilometer dari Gedangrowo, di Desa Sumberejo, Kabupaten Malang, Muayah, perempuan 77 tahun, menghabiskan waktu berjam-jam dengan cermat memilah kertas dan plastik.
Suatu siang akhir November lalu, Muayah duduk di tanah di halaman rumahnya, bersama sampah-sampah yang keluarganya beli.
Mirip dengan di Gedangrowo, sampah ini berupa campuran basah dari pecahan kecil plastik lunak, kertas, dan kardus. Sisa-sisa itu terlalu kecil untuk masuk proses mesin daur ulang. Setelah menunggu 650 antrian selama sekitar dua bulan, keluarga Muayah baru mendapat giliran membeli satu truk sampah Rp100.000 Oktober tahun lalu.
Muayah cekatan memilah sampah bubur kertas dan plastik. Dengan tangan kanan, dia memegang segenggam serutan kayu yang diambil dari tumpukan besar sampah di depannya. Lalu menggunakan tangan kiri untuk memilih potongan-potongan karton kecil tak berbentuk yang kemudian dia pisahkan menjadi gundukan lebih kecil.
Tujuan dari proses ini untuk memperbesar gundukan terakhir dan menjaga semurni mungkin karena Muayah akan menjual kembali bubur kertas ke pabrik.
Kalau semua berjalan lancar, dia akan menerima sekitar Rp760.000 dari penjualan bubur kertas. Perkiraan satu truk sampah selesai pilah selama dua bulan. Sedang sampah plastik yang sudah dikeringkan bisa jual lagi Rp250.000 satu truk. Biasa pengepul menjual sampah plastik ini ke industri batu gamping di Sumberejo.
“Anak saya juga membantu. Setiap hari seperti ini,” kata Muayah.
Selain keluarga Muayah, ada sekitar 1.500 keluarga lain di sekitar pabrik kertas ini yang memiliki pekerjaan sama sehari-hari.
“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat,” kata Daru Setyorini, Direktur Ecoton, lembaga yang konsisten menyoroti persoalan sampah plastik ini.
Selain peran pemerintah Indonesia untuk tegas menolak penyusupan sampah plastik dalam bahan baku kertas, katanya, perlu dorongan internasional untuk membatasi produksi plastik.
“Bagi masyarakat sudah ada perputaran ekonomi, namun yang tak mereka sadari dampak kesehatan dan pencemaran lingkungan yang menimbulkan biaya lebih besar lagi,” kata Daru.

Mengalir ke sungai
Sungai Porong adalah sungai di Jawa Timur yang terletak 40 kilometer di sebelah selatan Surabaya. Ia merupakan terusan Sungai Brantas di Mojokerto yang mengalir ke arah timur dan bermuara di Selat Madura.
Catatan Ecoton, setidaknya ada 11 pabrik kertas di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
Pabrik-pabrik itu berlokasi di dekat sungai atau salah satu anak Sungai untuk ambil air sebagai bahan baku atau pendingin dan membuang limbah yang mereka hasilkan ke sungai.
Pabrik-pabrik ini harus menyaring air untuk mencegah kontaminan tertentu, seperti logam berat dan mikroplastik mencapai sungai. Namun saat ini, belum ada aturan mengenai ambang batas mikroplastik yang boleh lepas ke sungai.
Pada 25 September 2024, tim peneliti Ecoton mengambil sampel air sebanyak 250 ml dari Sungai Porong, yang dikumpulkan di dekat titik pembuangan perusahaan kertas. Catatan Ecoton ada 11 pabrik kertas di sepanjangn Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.
Laboratorium Ecoton mengidentifikasi 1.449 potongan mikroplastik dalam sampel, termasuk serat, filamen, dan fragmen. Angka ini 15 kali lebih besar dari konsentrasi normal yang dapat ditemukan di sungai di daerah ini.
Rafika Aprilianti, Peneliti Ecoton, menjelaskan, ukuran mikroplastik ini mirip dengan plankton dan ini berarti mereka dapat dengan mudah ikan konsumsi dan memasuki rantai makanan. Risiko utamanya, plastik dapat membawa bakteri dan bahan kimia yang sangat beracun. Racun-racun ini berisiko memengaruhi sistem hormonal manusia dan hewan dan, dalam jangka panjang,. “Bahkan menyebabkan kanker,” kata Rafika.

Celah dari Eropa
Tak hanya di Gedangrowo, di titik pembuangan sampah limbah pabrik kertas lainnya di Sidoarjo, Mojokerto, Gresik dan Malang, mudah ditemukan sampah impor seperti kemasan air San Benedetto, yang dijual di Italia dan Spanyol, botol deterjen Svelto dari Italia, tisu basah Dutsch yang dipasarkan di Belanda dan Belgia, kaleng susu Delial Spanyol. Bungkus sayuran kering Minestrone Tradizione Findus yang berlabel dalam bahasa Italia, dan kemasan makanan anjing Pedigree, yang diproduksi di Polandia untuk pasar Uni Eropa.
Ini bukan temuan baru, tetapi mengapa sampah produk Eropa ini bisa terus sampai di Indonesia? Jawabannya, tergantung pada siapa Anda bertanya.
Global Inspection Company-CWM Internasional adalah perusahaan yang Indonesia sewa untuk memeriksa semua pengiriman kertas daur ulang yang meninggalkan benua Eropa. Fred Penning, CEO CWM mengatakan, tingkat kontaminasi pada kiriman yang mereka periksa bahkan kurang dari 2%, toleransi yang diberikan Kementerian Perdagangan untuk kontaminasi sampah lain dalam impor bahan baku kertas.
“Secara sederhana, pabrik-pabrik di Indonesia hanya menginginkan bahan mentah. Mereka tidak menginginkan sampah kita. Itulah sebabnya kami ada di sini,” kata Fred.
Dia mengatakan, tidak ada yang luput dari pengawasan 60 inspekturnya, meski pengawasan mereka terbatas pada pengiriman yang legal dan diklasifikasikan dengan benar.
Uni Eropa mengakui ketidakmampuan mengendalikan masalah ini dan menyalahkan para penyelundup. Laporan resmi dari badan eksekutif Komisi Eropa, menyatakan bahwa “antara 15% dan 30% pengiriman limbah bisa jadi ilegal.”
Laporan itu menggambarkan perdagangan limbah sebagai “salah satu kejahatan lingkungan paling serius saat ini.”
Ketika ditanya langsung tentang jumlah sampah plastik yang meninggalkan Eropa yang tercampur dengan pengiriman kertas, kantor pers Komisi Eropa mengatakan “tidak memiliki data mengenai tingkat kontaminasi rata-rata tersebut”.
Bagi Yuyun Ismawati, pendiri lembaga penelitian Nexus3 Foundation, itulah dua lubang utama yang menyebabkan bahan baku kertas daur ulang terkontaminasi, berakhir di Asia Tenggara. Menurut Yuyun ini masalah serius.
“Kita perlu mengubah cara kita membicarakannya karena mengirim sampah ke negara lain bukanlah daur ulang,” kata Yuyun.
Apa pun mekanisme untuk melintasi perbatasan, kenyataannya sampah plastik Eropa terus tiba di Indonesia melalui jalur daur ulang kertas.
“Negara kita membutuhkan sampah kertas, tetapi sampah plastik diselundupkan,” kata Nina Azzahra Aqilani aktivis lingkungan remaja pendiri River Warrior.
Nina menyaksikan dampak polusi plastik sejak masih kecil. Nina remaja kemudian aktif ikut protes di depan gedung-gedung pemerintahan dan kedutaan besar negara-negara pengekspor kertas.
Dia telah menghadiri pertemuan tingkat tinggi dan meminta kepada hampir semua orang, termasuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan delegasi Uni Eropa, untuk menghentikan ekspor kertas terkontaminasi ke Indonesia.
“Yang paling saya khawatirkan adalah kita akan terus menerima sampah, sungai-sungai kita akan tercemar, air kita akan kotor, kita tidak akan bisa lagi menghirup udara bersih atau minum air bersih. Indonesia akan menjadi tidak layak huni bagi generasi muda di masa depan,” katanya.

Sampah negara kaya
Indonesia bergulat dengan sampah yang tidak dapat terdaur ulang sejak Tiongkok melarang semua impor sampah pada 2018. Kondisi ini mengalihkan banjir plastik global yang tidak dipilah ke Asia Tenggara. Dalam waktu kurang dari satu dekade, jutaan ton sampah plastik dari negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Uni Eropa telah membanjiri kawasan ini.
Harusnya limbah ini didaur ulang, tetapi karena negara tujuan seperti Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengelola limbah plastik, limbah ini sering berakhir di tempat pembuangan akhir, sungai, atau dibakar.
Untuk membendung banjir sampah berbahaya dari negara-negara kaya ke negara-negara berkembang, delegasi dari 187 negara pada tahun 2019, menyetujui aturan global pertama tentang pengiriman sampah plastik lintas batas.
Berdasarkan aturan ini, yang ditetapkan sebagai amandemen terhadap Konvensi Basel (perjanjian internasional yang mengatur pengiriman limbah berbahaya), negara pengekspor tidak dapat mengirim plastik yang terkontaminasi, tidak dapat didaur ulang, atau tercampur tanpa persetujuan dari negara tujuan. Namun kenyataannya, plastik jenis ini terus meninggalkan Eropa bercampur dengan kiriman kertas.
Basel Action Network, organisasi independen yang mendedikasikan untuk mempromosikan kepatuhan terhadap perjanjian ini, memperkirakan, ekspor kertas daur ulang Uni Eropa ke negara-negara non-OECD termasuk Indonesia, mengandung antara 5-30% limbah plastik.
Tingkat kontaminasi ini mengubah ekspor menjadi perdagangan sampah ilegal. Menurut Yuyun, metode yang paling umum untuk menghindari jeratan hukum adalah dokumen palsu dan penyelundupan. Yang pertama memanipulasi jenis limbah yang dikirim, dan kedua menyembunyikan sampah plastik di dalam tumpukan kertas.
“Masalahnya terletak pada proses yang tidak kasat mata, pada langkah-langkah yang dimulai di pelabuhan tempat kargo diekspor,” katanya.
Perusahaan-perusahaan ini, kata Yuyun, menawarkan layanan transportasi dan mengisi semua formulir. Semua bermula dari mereka dan beberapa lembaga kecil yang dapat kewenangan untuk itu, dan pihak-pihak yang berpotensi memalsukan dokumen.
Laporan dari Inisiatif Global Melawan Kejahatan Transnasional menyatakan, bahwa “ada bukti bahwa perusahaan daur ulang kertas di Indonesia menggunakan operasi rutin mereka untuk mengimpor limbah plastik secara rahasia.”

Membawa sampah keluar dari Eropa
Sekitar pukul 7.00 pagi November yang berangin di Roosendaal, sebuah kota di selatan Belanda, Fredd Penning hendak mengawasi pemeriksaan kertas untuk daur ulang yang akan mereka berangkatkan ke Indonesia.
Dia ditemani karyawan kepercayaannya selama 10 tahun, Isik Bink. Seperti banyak perusahaan pengelolaan limbah di Belanda, perusahaan ini juga merupakan bisnis keluarga.
Tepat di pintu masuk pabrik pemilahan sampah besar, ratusan bal kertas dan kardus ditumpuk di atas truk yang membongkar sampah dari rumah dan bisnis. Di sini, limbah mencapai jalur pemilahan di mana teknologi inframerah memisahkan kertas ke dalam berbagai kategori dan menghilangkan kontaminan seperti plastik atau limbah rumah tangga, yang seharusnya tidak ada disana.
Sampah yang telah terpilah dipadatkan menjadi bal besar seberat satu ton. Sebelum dimuat ke dalam kontainer pengiriman, seorang inspektur CWM memeriksa secara visual seluruh pengiriman, bal demi bal.
Sampel kecil juga diambil untuk memeriksa isinya, meskipun tidak ada cara untuk mengetahui secara pasti bahwa tidak ada plastik pada semua bal.
“Yah, Anda tidak bisa merusak segalanya,” kata Isik Bink. “Itulah sebabnya pemerintah Indonesia mengizinkan kontaminan sebesar 2%.”
Melihat bukti adanya plastik Eropa di tempat pembuangan sampah Indonesia, Fred mengakui bahwa “mungkin ada penyelundupan yang terjadi.”
Namun dia memastikan hal itu tidak terjadi di bawah pengawasannya. Dia bilang, CWM International memeriksa hingga 40.000 kontainer limbah dari benua Eropa yang ditujukan ke berbagai negara. “Kami tidak mendapatkan pengembalian apa pun.”
Namun, dia menambahkan bahwa mungkin ada penjelasan lain untuk kedatangan sampah plastik Eropa ke pabrik kertas Indonesia. Ada konsensus bahwa tidak semua limbah dapat dihilangkan melalui pemilahan manual atau mekanis. Oleh karena itu, batas kontaminasinya adalah 2%.
“Ketika banyak kontainer datang ke negara ini dan mereka membuka bal-balnya, tentu saja ini bukan proses yang sempurna, bukan? Selalu ada sejumlah plastik atau sampah yang tertinggal dalam batas yang diizinkan,” jelasnya.
Menurutnya, volume ekspor begitu besar sehingga 2% yang legal pun bisa menjadi penyebab masalah pencemaran plastik di Jawa Timur.

Menutup pintu namun buka jendela
“Pengelolaan limbah yang buruk yang diekspor dari Uni Eropa ke negara ketiga merupakan fenomena yang sudah diketahui. Sekitar setengah dari limbah yang diekspor ditujukan ke negara-negara non-OECD, yang sering kali memiliki peraturan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang kurang ketat dan karena itu tidak sepenuhnya memperhitungkan dampak lingkungan dan kesehatan dari pengolahan limbah. Perdagangan limbah ilegal juga memperburuk masalah ini,” demikian kata Kantor Pers Komisi Eropa ketika ditanya tentang situasi di Indonesia.
Menurut Komisi, tantangan-tantangan ini diatasi dalam aturan baru Uni Eropa tentang pengiriman limbah, yang akan melarang semua ekspor limbah plastik ke Indonesia, antara lain, mulai 2026.
Mulai 2027, ekspor limbah “daftar hijau”, termasuk kertas untuk daur ulang, ke negara-negara non-OECD juga akan dilarang. Itu berarti berakhirnya pengiriman ke perusahaan-perusahaan kertas besar di Indonesia dan merupakan pukulan besar bagi industri daur ulang di Jawa Timur. Namun, Uni Eropa mencatat bahwa pengecualian dapat diberikan kepada negara-negara yang “memenuhi persyaratan lingkungan tertentu.”
Kelompok lingkungan di seluruh dunia menyambut baik larangan tersebut sebagai langkah penting dalam perjuangan jangka panjang melawan “kolonialisme sampah.”
“Peraturan ini berarti bahwa Uni Eropa akhirnya mulai bertanggung jawab atas perannya dalam keadaan darurat polusi plastik global,” kata Break Free From Plastic dalam pernyataannya pada tahun 2024. Di sisi lain, industri daur ulang kertas di Eropa dan negara-negara non-OECD telah menyatakan kekhawatiran.
Indonesia telah mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia, dengan alasan bahwa pabrik kertasnya dapat “terkena dampak signifikan oleh peraturan ini” dan atase perdagangan Indonesia di Brussels, Antonius Budiman, telah berupaya untuk memastikan bahwa limbah kertas Uni Eropa terus berdatangan setelah batas waktu tahun 2027.
Peraturan tersebut memberikan pengecualian asalkan negara penerima dapat “menunjukkan kapasitasnya untuk mengelola limbah ini dengan cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan”.
Ditanya langsung mengenai datangnya sampah plastik yang disembunyikan dalam kiriman kertas untuk didaur ulang, Budiman mengatakan bahwa tidak ada satu pun perusahaan kertas Indonesia yang pernah memberitahunya mengenai situasi ini.
Namun jika tuduhan ini benar, katanya, ada pertanyaan yang perlu dijawab: “Siapa yang harus disalahkan di sini? Apakah importir Indonesia yang membeli kiriman atau operator Uni Eropa yang mengirim kertas terkontaminasi itu ke Indonesia?”
Pada akhir 2024, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan Indonesia akan memperketat aturan impor sampah kertas dan menghentikan impor sampah plastik. Pengetatan ini karena regulasi saat ini terlalu besar meloloskan sampak selain kertas.

Asap hitam dan batu kapur
Wajah Puji, lelaki 41 tahun, menghitam karena asap. Bekerja di tanah sedalam sekitar tiga meter Puji bertugas menjaga tungku bawah tanah tetap menyala. Di atasnya terdapat susunan batu gamping berbentuk silinder yang, ketika suhunya mencapai 900 derajat Celcius, akan berubah menjadi bubuk kapur. Ini adalah proses manual di seluruh dunia selama berabad-abad.
Di Eropa ada bangunan yang hampir identik dengan bangunan ini, yang dibangun pada abad I SM. Tetapi ada satu hal yang membedakan oven di bagian dunia ini dari yang lain: bahan bakarnya.
Setiap beberapa menit Puji mengisi tungku pembakaran dengan sampah plastik dan melemparkan sekuat tenaga ke dalam oven. Seketika awan hitam pekat mengepul dari sela-sela istana batu dan menjulang ke langit Sumberejo.
Beberapa orang tua berkumpul untuk menonton asap dan beberapa anak-anak bermain di sekitar tungku. Banyak tungku lain akan menyala hari ini terbakar selama tiga hari tiga malam, hingga bubuk kapur siap digunakan. Tak jauh dari sana satu keluarga sedang menggelar pesta pernikahan.
Perjalanan panjang plastik Eropa, lebih 10.000 kilometer jauhnya, akan berakhir di sini, di tempat pembuangan sampah seperti Gedangrowo, atau mungkin di perairan Sungai Porong di dekatnya. Keamanan dan kesehatan orang-orang nun jauh di Jawa Timur, Indonesia ini jadi taruhan oleh sampah-sampah yang masuk dari Eropa.

********
*Laporan ini kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Ruido Photo. Revista 5W dan France24, didukung oleh Journalismfund Europe.
Dampak Mengerikan Sampah Plastik: Ekosistem Hancur, Manusia Terancam