- Masih ingat kasus pagar laut Tangerang yang ramai beberapa bulan lalu? Kasus hampir tenggelam bahkan, proses hukum tampaknya bakal selesai tanpa ada proses hukum lanjut kepada para tersangka. Sejak 24 April lalu, kepolisian menangguhkan penahanan empat tersangka yang sudah menjalani masa tahanan selama 60 hari, sejak 24 Februari 2025.
- Brigjen Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyatakan, masa penahanan keempat tersangka sudah habis karena ada perbedaan pendapat antara Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
- Pekan lalu Kejagung mengingatkan Polri untuk memenuhi semua petunjuk JPU agar berkas perkara kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten dapat diajukan ke pengadilan.Nanang Ibrahim Soleh, Direktur A Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, menegaskan, kasus pagar laut di perairan Desa Kohod bukan hanya soal pelanggaran Pasal 263 KUHPidana saja, juga UU Tipikor. Kejaksaan, mengendus suap-menyuap dan gratifikasi.
- Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyarankan, kepada penyidik menghadirkan masyarakat sipil seperti nelayan atau organisasi non pemerintahan bila merasa kebingungan menangani kasus ini. Masyarakat sipil senang hati menjelaskan petunjuk unsur-unsur korupsinya.
Masih ingat kasus pagar laut Tangerang yang ramai beberapa bulan lalu? Kasus hampir tenggelam bahkan, proses hukum tampaknya bakal selesai tanpa ada proses hukum lanjut kepada para tersangka. Sejak 24 April lalu, kepolisian menangguhkan penahanan empat tersangka yang sudah menjalani masa tahanan selama 60 hari, sejak 24 Februari 2025. Keempatnya, Arsin selaku Kepala Desa Kohod dan Ujang Karta selaku Sekretaris desa, lalu, Candra Eka serta Septian Prasetyo.
Brigjen Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyatakan, masa penahanan keempat tersangka sudah habis karena ada perbedaan pendapat antara Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Dalam kasus ini, awalnya kepolisian menjerat para tersangka dengan pasal pemalsuan dokumen. Sebab, hasil penelusuran, polisi menemukan bukti dugaan keterlibatan Arsin cs dalam pemalsuan penerbitan sertifikat tanah di area pagar laut Desa Kohod. Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.
Namun, saat proses hukum tengah berjalan, Kejaksaan meminta penyidik menerapkan pasal tindak pidana korupsi.
“JPU menyatakan pemagaran wilayah laut Desa Kohod yang tanpa izin pihak berwenang itu merugikan keuangan negara,” ujar Djuhandani, 24 April 2025.
Satu sisi, penyidik dalam pemeriksaan tidak menemukan unsur yang merugikan negara terkait pemalsuan sertifikat hingga tidak bisa nyatakan korupsi. Polisi pun konsisten menilai kasus ini ranah tindak pidana umum, bukan korupsi.
Dia menyindir keputusan Kejaksaan melalui Kejaksaan Negeri Cikarang yang justru menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan, Kecamatan Tarumajaya. Sementara, Kejaksaan keukeuh meminta kepolisian menjerat tersangka pemalsuan sertifikat di pesisir Tangerang dengan pasar tindak pidana korupsi.
Padahal, kata Djuhandani penyidik sebenarnya menjerat para tersangka di dua kasus itu dengan Pasal 263 KUH Pidana, terkait pemalsuan dokumen. Hasil penyidikan Dirtipidum Bareskrim Polri, menemukan kesamaan modus dalam proses penerbitan sertifikat tanah di area pagar laut Tangerang dan Bekasi.
“Ini kontradiktif dengan petunjuk JPU yang menyatakan bahwa perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” katanya.
Alhasil, karena perbedaan berkas perkara, kepolisian memutuskan menangguhkan penahanan dan tak memperpanjang masa penahanan keempat tersangka. Selain itu, kata Djuhandani, sikap Arsin cs yang dianggap kooperatif juga menjadi pertimbangan keputusan ini.
Kendati demikian, Djuhandani bilang, bukan berarti kasus ini setop. Proses hukum tetap berjalan sering dengan kelengkapan berkas perkara. Saat ini, penyidik sudah mengembalikan berkas perkara atau P19 kepada Kejaksaan untuk dilengkapi.
“Ini sesuai Petunjuk P19 JPU (Jaksa Penuntut Umum) agar melakukan upaya penyidikan untuk memenuhi apakah hal tersebut masuk tindak pidana korupsi atau tidak,” katanya.
Djuhandani bilang, Dirtipidum Bareskrim Polri dalam proses penyidikan tetap konsisten menerapkan Pasal 263 KUHPidana dalam kasus pemalsuan penerbitan sertifikat tanah di area pagar laut Desa Kohod. Hal ini ditunjukkan dengan penyidik yang mengabaikan petunjuk JPU dari dua kali P19.
Penyidik mengacu pada lima faktor dalam penerapan Pasal 263 KUHPidana. Antara lain, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 256/PUU-XIV/2026, yang intinya menyatakan, tindak pidana korupsi harus memiliki kerugian negara yang nyata.
Kerugian negara itu harus berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang (UU) Nomor 31/1999 dan UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan korupsi.
Dalam UU itu, kata Djuhandani, secara eksplisit menyatakan yang masuk kategori tindak pidana korupsi adalah yang melanggar UU Tindak Pidana Korupsi atau UU lain yang tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
Djuhandani bilang, mereka mengusut pelanggaran Pasal 263 KUH Pidana yang merupakan ranah tindak pidana umum. Sedangkan, dugaan korupsi dalam kasus ini sudah dalam proses penyidikan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Mabes Polri.
“Kejahatan atas kekayaan negara berupa pemagaran wilayah laut di Desa Kohod tanpa izin dari pihak berwenang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan atau kerugian masyarakat yang JPU nyatakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sedang dilakukan penyelidikan Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri.”
Seharusnya, kata Djuhandani, Kejaksaan mengacu pada asas Lex consumen derograt legi konsumte. Asas itu menyebutkan, aturan yang digunakan berdasarkan fakta-fakta dominan dalam suatu perkara. Dari posisi kasusnya, fakta dominan dalam pemagaran laut itu adalah pemalsuan dokumen.

Lebih dari sekadar kasus pemalsuan
Pekan lalu Kejagung mengingatkan Polri untuk memenuhi semua petunjuk JPU agar berkas perkara kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten dapat diajukan ke pengadilan. Tim JPU Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menilai, kasus itu, bukan cuma menyangkut soal pemalsuan dokumen dan surat-surat dalam Pasal 263.
Nanang Ibrahim Soleh, Direktur A Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, menegaskan, kasus pagar laut di perairan Desa Kohod bukan hanya soal pelanggaran Pasal 263 KUHPidana saja, juga UU Tipikor. Kejaksaan, katanya, mengendus suap-menyuap dan gratifikasi.
“Juga ada penyalahgunaan kewenangan, dan terindikasi merugikan negara,” katanya.
Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) mengatakan, meski sudah memberikan petunjuk perkara Arsin cs, Dirtipidum Bareskrim Polri memilih mengabaikan setelah ada pengembalian berkas dari Kejaksaan Maret lalu.
Kejaksaan, juga telah mengembalikan berkas perkara tim penyidik atau P19 karena tak memenuhi petunjuk.
“Memang berkas perkara itu tidak sesuai petunjuk yang sudah kita sampaikan pada saat pengembalian berkas pertama,” katanya.
Harli pun menegaskan, korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam perundang-undangan khusus. Untuk itu, katanya, harus diutamakan terlebih dahulu, ketimbang KUH Pidana umum dalam menjerat tersangka.
Berdasarkan hasil penelusuran, selain pemalsuan sertifikat, kejaksaan mendapat petunjuk soal indikasi suap atau gratifikasi Arsin. Gratifikasi dan suap, katanya telah diatur dalam Pasal 5 atau Pasal 12 UU Tipikor.
Dia menyayangkan, kalau Dirtipidum Bareskrim Polri hanya menggunakan delik pidana umum.

Polisi mengecewakan
Gufroni, Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah mengatakan, mudah saja bagi penyidik Dirtipidum Bareskrim Polri melengkapi berkas, sebagaimana Kejaksaan inginkan.
Secara modus, katanya, Arsin cs dalam melakukan tindakan pemalsuan sertifikat di area pagar laut Desa Kohod terlihat secara kasat mata.
“Ada indikasi tindak pidana korupsi berupa suap dan gratifikasi yang diduga melibatkan pihak swasta kepada oknum-oknum pejabat yang bukan hanya kepada Kepala Desa Kohod, tapi ini diduga melibatkan oknum-oknum BPN, kemudian oknum Dispenda, dan 15 kepala desa yang lain,” katanya.
Mengingat, sebelum ada penahanan empat tersangka, Kementerian ATR/BPN sudah menjatuhi sanksi terhadap delapan aparaturnya di Kabupaten Tangerang hingga kementerian. Juga, satu kantor jasa surveyor berlisensi (KJBS). Hal itu, katanya, seharusnya sudah bisa jadi petunjuk bagi penyidik Dirtipidum Bareskrim.
“Semestinya, harus gerak cepat Mabes Polri melengkapi berkas bukan kemudian melakukan penangguhan penahanan dengan alasan masa penahanan sudah habis,” ucap Gufroni.
Dia menyinggung, soal laporan LBHAP PP Muhammadiyah beserta koalisi masyarakat sipil soal kasus pagar laut yang sebelumnya mereka serahkan ke Bareskrim Polri Januari 2025. Hingga kini, belum mendapat panggilan untuk keterangan.
Dari laporan itu, katanya, penyidik bisa mendapatkan petunjuk. Setidaknya, ada tujuh nama dari perusahaan, pemerintahan hingga warga yang diduga terlibat dalam skandal pagar laut ini.
Bersamaan dengan sanksi, KATR/BPN menemukan 234 bidang HGB atas nama PT Intan Agung Makmur (IAM), 20 HGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa (CIS) dan 9 bidang atas nama perorangan. Ada juga 17 bidang SHM di kawasan itu. Dua perusahaan masih ada hubungan dengan Agung Sedayu Group.
Dari perusahaan yang diduga terlibat, kata Gufron hampir tak tersentuh Dirtipidum Bareskrim Mabes Polri.
Warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod pun kecewa atas keputusan kepolisian. Mereka mengancam Arsin cs bila melakukan perbuatan melawan hukum itu lagi.
Dia mengatakan, perbuatan Arsin cs ini membuat warga menderita dan merusak lingkungan, berdampak pada terampasnya ruang hidup.
“Kami tidak bertanggung jawab atas keselamatan saudara Arsin jika berulah kembali, karena alam Kohod yang telah dirusak bisa membuat perhitungan kepada saudara Arsin,” kata Aman, warga Alar Jiban.
Dia pun tak sepakat dengan pernyataan Djuhandani yang mengatakan kalau penyidik Dirtipidum Bareskrim Polri tak menemukan unsur korupsi dalam kasus ini.
Penerbitan sertifikat di area pagar laut Kohod berkaitan jual-beli untuk rencana reklamasi pengembangan PIK 2.

Libatkan masyarakat sipil
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, bila cermati unsur korupsi, sebenarnya pemalsuan sertifikat bahkan kerusakan lingkungan sudah terpenuhi. Karena prosesnya terjadi sistematis.
Keputusan penyidik Bareskrim Polri justru akan mencoreng citra korps Bhayangkara.
“Jadi kelihatan banget kalau sebenarnya alur penegakan hukumnya itu ditahan. Tentu jadi merugikan kepolisian, bakal meningkatkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap para penyidik. Jadi jangan terlalu menganggap kita ini tidak tahu gitu tentang mekanisme hukum. Kita tahu, masyarakat Indonesia ini cerdas-cerdas.”
Dia pun menyarankan kepada penyidik menghadirkan masyarakat sipil seperti nelayan atau organisasi non pemerintahan bila merasa kebingungan menangani kasus ini. Masyarakat sipil senang hati menjelaskan petunjuk unsur-unsur korupsinya.
“Panggil saja kami. Untuk memperkuat pengetahuan penyidik Bareskrim Polri soal unsur tipikor-nya. Kalau kesulitan untuk menemukan kerusakan lingkungan, ajak Kiara nanti kami bisa jelasin,” ucap Susan.
Penyidik, katanya, juga bisa mengambil petunjuk laporan masyarakat sipil yang hingga kini belum ada kejelasan. Dalam laporan masyarakat sipil, katanya, juga melampirkan nama-nama yang diduga terlibat.
Dia pun meragukan komitmen penegakan hukum kepolisian. Karena masih ada tersangka lain memiliki peran besar ketimbang Arsin cs.
“Ini kita belum ngomongin soal pelaku dalam skala besar. Ini baru yang bagian lapis paling bawah, tapi penyidiknya sudah seperti itu. Bagaimana kita berimajinasi mau menangkap yang lebih besar, pemodal besarnya?”
Henri Kusuma, Kuasa Hukum warga Alar Jiban mengkritik kinerja kepolisian yang tidak transparan dalam menangani kasus ini.
Dia bilang, Dirtipidum terkesan melindungi para tersangka. Selama masa proses hukum, mulai dari konferensi pers penetapan tersangka, Arsin cs tak pernah dihadirkan. Hal ini pun menimbulkan keraguan soal penahanan Arsin cs.
“Bisa jadi secara administrasi mereka ditahan, tapi apakah secara fisik mereka ada di dalam rutan? Itu yang kami pertanyakan. Karena Arsin dikenal sangat percaya diri dan merasa tidak ada yang bisa menyentuhnya secara hukum.”
Henri mendesak, Bareskrim dan Kapolri segera menangkap kembali Arsin Cs, menunjukkan identitas mereka ke publik, dan melanjutkan proses hukum sesuai arahan Kejaksaan.

*****
Pagar Laut, Terungkap Ratusan HGB dan SHM Kavling Laut Tangerang