- Seiring dengan semakin gencarnya upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal kera besar, “kera kecil” seperti owa, kini menghadapi ancaman.
- Di antara seluruh spesies owa, siamang (Symphalangus syndactylus) adalah yang paling sering diperdagangkan, menjadikannya salah satu dari spesies owa yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal.
- Siamang adalah satu dari lima jenis owa dalam spesies terancam punah, Indonesia adalah sumber dari perdagangan ilegal siamang terbesar.
- India dan Timur Tengah menjadi tujuan perdagangan owa yang berasal dari Sumatera, dengan transit terlebih dahulu di negara ketiga. Selain perdagangan lintas negara, siamang adalah jenis yang sering diperdagangkan secara ilegal di dalam negeri.
Ketika perdagangan ilegal orangutan lintas negara menurun dalam lima tahun terakhir, sebaliknya perdagangan jenis-jenis owa (gibbons) atau yang sering disebut sebagai ‘kera kecil’ ini malah menunjukkan peningkatan.
Sebagai penghuni pohon, owa adalah jenis primata yang tergantung kepada hutan, dan tersebar di 11 negara di Asia. IUCN telah mengklasifikasikan lima spesies owa sebagai sangat terancam punah (Critically Endangered) dan 14 spesies sebagai terancam punah (endangered) , menjadikannya salah satu kelompok primata yang paling terancam.
Dari sekitar 20 spesies owa yang ada di dunia maka jenis siamang (Symphalangus syndactylus) adalah yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di dunia. Siamang sendiri, berstatus sebagai spesies terancam punah dalam Daftar Merah IUCN.
Siamang, –owa yang memiliki suara khas ini, memiliki habitat alami yang tersebar di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan sebagian selatan Thailand. Dari ketiga negara tersebut, maka Indonesia adalah pusat perdagangan owa terbesar, yang tercermin dari banyaknya pusat penyelamatan satwa liar yang menampung jenis satwa ini.

Perdagangan Ilegal Primata Lintas Negara
Berita terbaru yang menyoroti tren ini, adalah lima bayi siamang yang berhasil disita di Bandara Internasional Chennai, India. Seperti yang baru-baru ini dilaporkan oleh Mongabay, maka India kini menjadi tujuan utama penyelundupan owa, yang kemungkinan besar berasal dari Sumatera melalui Malaysia.
Pada tanggal 3 Maret 2025, di lepas pantai Sumatra Utara TNI AL telah berhasil menggagalkan upaya penyelundupan sebuah kapal yang sedang menuju Malaysia; selain berupaya menyelundupkan manusia (illegal human trafficking) di kapal tersebut, terdapat 10 owa — tujuh di antaranya adalah bayi siamang — yang juga turut diperdagangkan.
Hal ini menyoroti sifat ilegal dari perdagangan satwa liar yang sangat erat kaitannya dengan perdagangan manusia dan juga narkoba.
Setelah operasi penangkapan tersebut, owa-owa tersebut dikirim ke fasilitas rehabilitasi yang dikelola oleh Yayasan Orangutan Sumatera Lestari, sebuah fasilitas yang saat ini telah menampung sebanyak 33 owa, dan 25 di antaranya adalah siamang.
“Penegakan hukum yang terbatas dan minimnya penuntutan terhadap penyelundupan owa membuat jumlah bayi yang diperdagangkan terus meningkat. Untuk setiap bayi, akan ada induk yang mati, dan dampaknya terhadap populasi liar masih belum dipahami secara menyeluruh,” jelas Susan M. Cheyne, Wakil Ketua Komisi Kelangsungan Hidup Spesies IUCN dari Kelompok Spesialis Primata untuk Kera Kecil (IUCN Species Survival Commission of the Primate Specialist Group on Small Apes) kepada penulis.

Lalu mengapa siamang menjadi jenis owa yang menjadi target perdagangan?
Kemungkinan besar karena populasinya masih mudah ditemukan di banyak wilayah. Selain itu, siamang berukuran lebih besar dibandingkan spesies owa lainnya, dan mereka bergerak lebih lambat, sehingga lebih mudah ditangkap.
Pulau Sumatera merupakan pusat utama penyelundupan satwa liar, sumber dari mana hewan-hewan dikirim ke Malaysia dan kemudian diteruskan ke negara tujuan akhir seperti India atau Timur Tengah.
Tren pasar internasional terhadap siamang ini tergolong baru, yang menunjukkan adanya kekhawatiran yang semakin meningkat terhadap kelangsungan hidup spesies ini.
Di dalam negeri Indonesia pun, permintaan untuk memelihara siamang sebagai hewan peliharaan juga menjadi faktor utama.
Sebagian besar siamang yang diselamatkan di pusat rehabilitasi di Sumatera Utara berasal dari perdagangan hewan peliharaan ilegal dalam negeri, secara khusus di pulau Jawa dan Sumatra.
Dengan terhentinya pendanaan dari pemerintah Amerika Serikat untuk memerangi kejahatan terhadap satwa liar baru-baru ini, situasinya kemungkinan besar akan semakin memburuk.
Padahal selama ini, pendanaan utama untuk menangani perdagangan satwa liar di Asia Selatan dan Asia Tenggara terbesar berasal dari USAID, U.S. Fish and Wildlife Service, dan Departemen Luar Negeri AS.
“Perdagangan owa kini berada di posisi yang sama seperti perdagangan orangutan, satu hingga dua dekade yang lalu. Ini adalah krisis penyelundupan yang nyata namun luput dari perhatian,” jelas Panut Hadisiswoyo pendiri Yayasan Orangutan Sumatera Lestari kepada penulis.
“Karena orangutan semakin sulit didapatkan, perdagangan pun beralih ke owa, yang dianggap bukan prioritas oleh penegak hukum.”
Panut menyebut jika dulu organisasinya lebih fokus kepada penyelamatan orangutan, saat ini mereka mulai aktif dalam penyelamatan owa. Mereka telah mendirikan fasilitas rehabilitasi khusus owa di Sumatera Utara.
Meski demikian dia masih khawatir terkait perkembangan terkini tentang pendanaan. “Saya tetap khawatir bahwa dengan penghentian dana dari pemerintah AS, situasinya akan semakin memburuk.”

Perlu Ada Tindakan
Perdangangan ilegal siamang merupakan isu besar dalam konservasi yang mengancam keberlangsungan populasi mereka di alam, sekaligus menjadi krisis yang penuh kekejaman dan penderitaan.
Untuk mendapatkan satu bayi siamang, maka induknya—dan kemungkinan anggota keluarga lainnya—akan dibunuh, lalu bayinya diselundupkan dan menempuh jarak jauh dalam kondisi yang sangat menyiksa.
Sebagian besar tidak akan dapat bertahan hidup, namun risiko kematian ini telah diperhitungkan dan dianggap wajar oleh para pelaku, karena bisnis ini sangat menguntungkan.
Tindakan mendesak kini sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis yang terus berlangsung ini sebelum nyanyian dari siamang dan owa lainnya benar-benar lenyap dari hutan-hutan Sumatera.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 18 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Tentang penulis:
Sinan Serhadli bekerja di Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk People Resources and Conservation Foundation dan bekerja sama dengan kelompok masyarakat dalam proyek konservasi dan pembangunan. Artikel ini adalah opini penulis.
Seperti Orangutan, Primata Ini juga Penebar Benih yang Gigih