Nestapa Masyarakat Pesisir Terdampak PLTU Batang

6 hours ago 2
  • Empat tahun terakhir jadi titik terendah bagi Hariyono (48), warga Roban Timur, Batang, Jawa Tengah (Jateng). Bertahun melaut tanpa hasil, ia pilih menemani istrinya berjualan di warung. Sayang, tempat usaha yang sekaligus jadi tempat tinggal itu pun terancam abrasi. 
  • Kesulitan para nelayan itu muncul semenjak ada PLTU Batang. Lalu-lalang kapal tongkang hingga ceceran batubara sebabkan ikan hilang dan jaring nelayan rusak. Dulu, nelayan cukup melaut di jarak 30 menit dari pantai. Kini, mereka harus 2 jam dari pinggir pantai, meski tidak menjamin dapat ikan.
  • Kehadiran dermaga dan pemecah gelonbang PLTU Batang memkuat gelombang dan mempercepat laju abrasi di sekitar. Yudiono, warga setempat bahkan sudah empat kali memundurkan rumahnya karena terkena abrasi. Laporan Indonesian Journal of Oceanography pada 2022 menyebut, sepanjang 2017-2021 abrasi yang terjadi mencapai 117,4 meter dengan luasan mencapai 17,79 hektar.
  • Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng mendorong Pemkab Batang menerbitkan kebijakan terkait zonasi tangkapan untuk melindungi hak nelayan dalam memperoleh ikan. Sementara terkait abrasi, ia mendesak upaya mitigasi sejak dini.

Empat tahun terakhir jadi titik terendah bagi Hariyono (48), warga Roban Timur, Batang, Jawa Tengah (Jateng). Bertahun melaut tanpa hasil, dia pilih menemani istrinya berjualan di warung. Sayangnya, tempat usaha yang sekaligus jadi tempat tinggal itu pun terancam abrasi. 

Hariyono membiarkan begitu saja kapal bermesin 20 PK itu teronggok di pinggir dermaga bersama ratusan unit lainnya. Dua hari sekali, dia datang  menguras bak kapal supaya air tidak menenggelamkannya, seperti pada Rabu (24/4/25).

“Ikan makin sulit. Kayaknya terakhir melaut itu awal puasa lalu, tapi lupa persisinya,” katanya saat ditanya kapan terakhir kali ia melaut. 

Sengaja Hariyono tak mau mengingat kapan terakhir kali melaut karena yang dia dapat cuma kerugian. Hari-hari terakhir sebelum ia putuskan ‘pensiun’, dia hanya bisa bawa pulang ikan kecil 10 kilogram, cumi-cumi tiga kilogram, dan belasan kepiting yang nilainya berkisar Rp320.000. 

Padahal, untuk melaut, setidaknya perlu Rp432.000 hanya untuk membeli solar 48 liter. Ketika jaring rusak terkena jangkar kapal, harus keluarkan Rp100.000 untuk memperbaikinya. Jangkar yang dia maksud  adalah dari kapal-kapal pengangkut batubara ke PLTU Batang. 

Sebelum PLTU Batang ada, Hariyono bisa mendapat Rp1,2 juta sekali melaut. Ongkosnya pun lebih murah,  Rp200.000 karena menangkap ikan di pinggiran dengan jarak tempuh  30 menit dari pantai. “Sekarang area 30 menit dari pantai tidak ada ikan, harus lebih jauh sekitar dua jam makanya boros solar,” keluhnya.

Sayangnya, jarak yang makin jauh bukan jaminan mendapatkan ikan terumbu lantaran karang di perairan Batang banyak yang rusak. Belum lagi lalu lintas tongkang yang membawa batubara untuk PLTU membuat gerak kapal nelayan terganggu. Jangkar-jangkar yang digunakan tongkang ini juga kerap menyebabkan jaring rusak.

Dia bilang, semua gara-gara PLTU Batang yang beroperasi sejak 2022. Karena ikan tak lagi mudah didapat, banyak generasi muda yang enggan meneruskan pekerjaan ini. Mereka pilih jadi buruh. 

Yudiono, warga Roban Timur yang sudah empat kali memindah rumahnya karena terkena abrasi. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

Ekosistem rusak, ikan hilang

Dua ember berukuran sedang dan satu termos nasi berwarna hijau memudar di atas kapal milik Sarmuji. Barang-barang itu seolah menjadi saksi bisu akan kesulitan yang nelayan hadapi. 

Sebelum PLTU berkapasitas dua gigawatt itu beroperasi, lelaki 50 tahun ini  bisa mengumpulkan ikan hingga sembilan ember dari seharian melaut. Namun, hari itu, ikan  tak sampai separuhnya. Dengan dua ember ikan dan satu termos berisi kepiting dan cumi-cumi, dia perkirakan cuma Rp350.000. Padahal, modal  melaut Rp450.000 untuk membeli solar.  Ini bukan kali pertama Sarmuji merugi saat melaut.

Dia bilang, situasi itu sudah alami selama dua tahun belakangan ini.“Tapi bagaimana lagi, di rumah saja juga bingung mau ngapain,” katanya. Terpikir untuk beralih pekerjaan lain, tetapi belum dapat.

Selain ikan yang makin sedikit, Sarmuji sering jengkel karena jaring yang digunkannya melaut kerap rusak tersangkut tumpahan batubara. “Mestinya melaut itu dapatnya ikan, ini malah kena batubara.”

Sarmuji pernah protes bersama nelayan lain agar sumber energi kotor itu tak jatuh ke laut. “Protes ke pengelola tapi sepertinya nggak diperhatikan, lihat aja itu tongkang sampai antri panjang buat masuk dermaga PLTU,” katanya  sambil menunjuk lebih dari 10 tongkang yang nampak tak bergerak.

Saking jengkelnya, Sarmuji sampai menandai titik lokasi batubara di tengah lautan untuk dihindarinya agar rusaknya jaring tak terulang. Cara ini hanya berhasil seminggu, selepas itu jaringnya kembali rusak karena muncul tumpahan batubara lain yang belum dia tandai. 

Tak hanya batubara yang menghambat nelayan, penyedotan air laut lewat dua pipa besar oleh PLTU Batang juga membuat ikan makin sulit ditangkap. Pipa-pipa ini berukuran besar, tenaga penyedotan juga menyebabkan arus laut berubah.

Gerak ombak ke pantai jadi lebih besar, akibatnya ikan makin menjauh ke tengah laut agar tidak terbawa arus. “Kami cari ikannya jadi lebih jauh, sudah di dekat pantai ada jangkar besar-besar, agak ke tengah ada batu-bara, malah masih ketembahan penyedot ini.” 

Sarmuji menduga pipa-pipa ini juga turut menyedot ikan selain air. Dugaan itu karena tak ada saringan dalam pipa. “Saat penyedotan malam hari juga di sekitar pipa diberikan penerangan sorotan lampu, ini seperti cara kami menangkap kalau malam hari agar ikan mengumpul di sekitar lampu.”

Sedimentasi laut juga makin meningkat semenjak PLTU Batang membuang limbah lumpurnya ke ke laut. Lumpur ini selain merusak terumbu karang juga mengusir ikan yang tinggal disana. Nelayan Roban Timur makin kesulitan mencari ikan.

Kondisi ini membuat beberapa jenis ikan tak pernah dijumpai nelayan Roban Timur lagi. Sarmuji menyebut ikan yang sudah langka ini antara lain bawal putih, patin, hingga layang. 

Belasan ibu rumah tangga di Roban Timur menjadi buruh harian pengolahan teripang untuk menopang perekonomian keluarganya. Mereka jadi buruh sejak suaminya kesulitan melaut karena operasional PLTU Batang. Mongabay/Triyo Handoko

Alih profesi

Ikan tangkapan Sarmuji itu langsung dijual Rohati, istrinya ke tempat pelelangan ikan. Benar saja, dihargai Rp350.000. “Pembeli coba nawar, tapi saya tidak mau” ujar Rohati. Untuk menutup kerugian operasional, hutangnya sudah menumpuk. 

Untuk membantu meringankan beban suaminya, kini ia berpikir menjadi buruh pengolahan ikan. Menurutnya, ada banyak perempuan seperti dirinya yang akhirnya bekerja sebagai buruh pilah teripang. “Gajinya memang kecil tapi bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Harga kebutuhan juga naik terus.” 

Para pemuda di desanya sudah lebih dulu mengambil pilihan itu. Menurut Rohati, ada sekitar 20 pemuda memilih jadi ABK di kapal-kapal besar di luar daerah. Mereka tak bisa mewarisi profesi orang tuanya sebagai nelayan karena tak menjanjikan. “Ada keponakan saya yang dulu nelayan, tapi karena ikan sudah susah sekarang jadi ABK.”.

Upah sebagai anak buah kapal (ABK) lebih baik daripada buruh pengolahan ikan. Namun tak lebih besar dari jadi nelayan sebelum PLTU Batang berdiri. Apalagi beban kerja di kapal besar penangkap ikan jauh lebih berat dan beresiko tinggi.

Penurunan hasil tangkapan juga dirasakan para pedagang ikan di TPI, salah satunya Marfuah. Dulu, perempuan 47 tahun ini bisa menjual ikan untuk diasinkan hingga 40 kilogram sehari. Kini, hanya 20 kilogram. Penurunan terjadi sejak 2022. “Turun karena hasil tangkapan nelayan juga turun drastis, pendapatan saya juga jadi turun.”

Seturut itu, jenis ikan yang dijual Marfuah pun makin terbatas karena langka. Bawal putih yang biasanya banyak dijumpai di tiap Januari, kini tidak ada lagi. 

Abrasi pantai di Roban Timur menyebabkan sejumlah pohon cemara laut timbang karena derasnya ombak. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

Ancaman abrasi

Pada 2021, Yudiono memutuskan untuk menggeser rumahnya yang ada di pinggir pantai karena terkena abrasi. Sayangnya, itu tak cukup membuatnya tenang lantaran peristiwa serupa kembali terjadi di tahun-tahun berikutnya. 

Hingga saat kini, tercatat empat kali lelaki 67 tahun itu menggeser rumahnya. Lahan yang sudah terendam air laut kini bahkan sudah mencapai 600 meter persegi. Termasuk pohon-pohon cemara laut yang ia tanam untuk menahan abrasi, juga telah hanyut. 

“Jarak rumah saya yang dulu sebelum abrasi 2021 itu 40 meter di depan dari yang sekarang, lebarnya 20 meter, sekarang jarak depan rumah ini sama air tinggal 10 meter,” katanya.

Untung saja rumah itu  hanya terbuat dari kayu sehingga mudah dipindahkan. “Tapi ya tetap saja repot kalau tiap tahun pindah rumah terus ke belakang.” 

Kini,  Yudiono sudah tak bisa lagi memindah rumahnya ke belakang karena tanah disana bukan miliknya. Dia harus bersiap pindah lokasi jika abrasi terus berlanjut, meski belum tahu hendak kemana. 

Bagi Yudiono, dermaga PLTU Batang membuat gelombang laut makin kuat. Begitu juga dengan pemecah gelombang yang justru mengarahkan arus ke sisi timur hingga depan rumahnya.

Warung dan rumah milik Hariyono juga alami hal serupa, meski belum separah Yudiono. 

“Kena 10 meter dari bibir pantai, dulu gazebo itu ada di depan sana karena abrasi saya mundurkan ke sini,” katanya  sambil menunjuk dua gazebo yang diperuntukan bagi pelanggan warung makannya.

Mitigasi yang dilakukan Hariyono untuk mencegah abrasi sama seperti yang dilakukan Yudiono, yaitu menanam cemara laut. Bedanya, cemara milik Hariyono bisa bertahan. Upaya lainnya adalah dengan menguruk pantai yang tergerus dengan tanah yang diambilnya dari belakang rumahnya. 

Meski begitu, Hariyono tetap saja khawatir karena ombak yang dirasanya makin deras. 

Hasil penelitian yang dipublikasikan Indonesian Journal of Oceanography pada 2022 mengonfirmasi bagaimana kehadiran PLTU Batang perparah abrasi di wilayah sekitar. Sepanjang 2017-2021 abrasi yang terjadi mencapai 117,4 meter dengan laju perubahan 58,22 meter per tahun.

Analisa citra satelit menunjukkan luas area yang mengalami abrasi mencapai 17,79 hektar di rentang waktu tersebut. Abrasi paling parah terjadi pada 2019-2021 yang menyebabkan lahan seluas 11,45 hektar hilang. Sedangkan pada 2017-2019 lahan yang lenyap capai 6,34 hektar.

Lokasi pendataan abrasi ini dilakukan pada lima titik yang dua diantaranya mengapit Roban Timur, yaitu Pantai Ujung Negoro di sisi barat dan Pantai Kuripan di timurnya. Pantai Ujung Negoro paling dekat dengan PLTU Batang yang jaraknya tak sampai dua kilometer.

Hariyono berharap Pemkab Batang melakukan upaya konservasi agar abrasi yang terjadi tak semakin parah. “Selama ini kami melakukan konservasi sendiri, susah sekali dapat bibit pohon untuk konservasi padahal ini masalah bersama.”

Hariyono, nelayan di Roban Timur, Batang yang berhenti melaut karena hasil tangkapan yang terus menurun. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

Atur zonasi tangkapan

Walhi Jateng mendorong Pemerintah Batang menerbitkan kebijakan terkait zonasi tangkapan atas turunnya hasil tangkapan nelayan. Kebijakan itu dinilai akan melindungi hak nelayan dalam memperoleh ikan untuk memenuhi penghidupannya. 

Rizky Riansyah, staf advokasi Walhi Jateng menjelaskan zonasi tangkapan ini mirip dengan wilayah kelola rakyat dalam sektor pertanahan tapi dilakukan di laut. Zonasi ini diperlukan supaya ada batas yang jelas antara operasional PLTU Batang dan wilayah nelayan Roban Timur. 

“Dalam bulan ini kami akan ke Pemkab untuk mendorong kebijakan ini,” kata Rizky yang sudah melakukan pendampingan terhadap nelayan dan warga pesisir sejak 2023 ini. 

Lalu lintas tongkang pengangkut batubara juga harus diatur supaya tidak mengganggu aktivitas nelayan. Hal lain yang tak kalah penting adalah memulihkan ekosistem laut yang rusak akibat tumpahan batubara. 

Terkait abrasi, ia mendorong pemerintah melakukan mitigasi sejak dini. Selain itu, memperketat alih fungsi lahan di daerah pesisir juga penting agar abrasi tidak semakin parah. “Upaya lain yang mendesak adalah mengecek dan melakukan perbaikan pemecah gelombang PLTU itu agar tidak makin memperparah abrasi.” 

**********

Nasib Petani Batang Kala Berhadapan dengan PLTU Batubara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|