- Lahan gambut terbakar pada 2023 di Riau, malah jadi kebun sawit. Seperti apa dan bagaimana kondisi lapangan? Tulisan ini ketiga dari seri sawit muncul dari lahan gambut terbakar di Riau dan Kalimantan Tengah.
- Di Pelintung, Kota Dumai, Riau, Gambut yang terbakar tahun 2023 dijual, dan sudah ditanami hingga 14 petak. Luas bervariasi, antara empat sampai enam hektar per petak.
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2016 jo PP Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menegaskan, lahan gambut terbakar wajib restorasi dan tidak boleh untuk tanaman monokultur.
- “Jika di lapangan ditemukan praktik tersebut, aparat penegak hukum harus segera mengambil tindakan tegas sesuai ketentuan peraturan berlaku,” kata Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut.
Jalan selebar sekitar 10 meter, panjang 400 meter baru terbuka di atas lahan gambut di Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Riau. Dua bulan terakhir, buruh harian sibuk menanam bibit sawit dan pemupukan di lahan yang ada di ujung jalan itu.
Sudah 100 hektar dari 170 hektar mereka siapkan untuk tanam sawit. Padahal, lokasi penanaman merupakan lahan gambut yang terbakar pada 2023.
Anto, Kepala Pemborong, yang Mongabay temui, menyebut, pekerjaan sempat berhenti karena penanaman tidak mencapai target. “Kesepakatan awal borongan mestinya dua bulan rampung. Namun molor karena para pekerja upahan tidak memenuhi target harian,” katanya, Desember lalu.
Hampir tidak terlihat sisa kebakaran di lahan yang sudah terpetak-petak itu. Parit pun dibuat untuk mengeringkan gambut dan memudahkan penanaman.
Sejauh ini, 14 petak lahan sudah mereka tanami sawit. Luas bervariasi, antara empat sampai enam hektar per petak.
Anto bilang, lahan gambut itu milik pengusaha di Dumai, Ni. Dia tidak pernah berkomunikasi lewat telepon seluler dengan si empunya lahan.
“Biasanya dia datang langsung ke sini bayar gaji pekerja,” katanya.
Hasil tumpang susun lahan Ni terhadap peta kawasan hutan Riau berdasarkan SK 903/2016, menunjukkan, area itu kawasan hutan. Sebagian besar gambut itu juga masuk indikatif fungsi lindung. Mongabay berupaya menghubungi Ni, tetapi tak mendapat jawaban.
Mongabay dua kali meninjau lokasi bekas kebakaran itu. Medio November, seorang pria mengaku pengawas, mengatakan, bibit-bibit sawit terangkut menggunakan sampan besi ditarik alat berat dari atas jalan.
“Angsur-angsur dulu,” kata si pengawas.
Sebelum jadi sawit, lahan ini terbakar pada 18 April-Mei 2023. Penyelidikan Polres Dumai, beberapa hari setelah kebakaran , menemukan api muncul pertama kali di lahan Kelompok Tani Syamsudin. Tepatnya lahan nomor urut 19.
Mongabay mengecek kembali kebakaran dengan citra satelit sentinel dengan memasukkan titik koordinat yang diambil polisi di 1.617500, 101.662778. Hasilnya, awal mula api muncul saat itu, persis di tengah-tengah lahan yang kini dikuasai pemodal.
Jumaat, Ketua Kelompok Tani pengganti Syamsudin, tak membantah kebakaran terjadi di lahan anggotanya. Keterangan itu juga dia sampaikan di Pengadilan Negeri Dumai, ketika menjadi saksi dalam kasus kebakaran lahan itu.
Luas lahan kelompok tani itu sekitar 153 hektar dengan 78 anggota kelompok. Jumaat mengatakan, seluruh lahan anggota kelompok terbakar. Sebelum kejadian, lahan itu belum ditanami, masih semak belukar. Dia bilang, lahan dijual beberapa anggota kelompok namun tanpa sepengetahuan pengurus.

Mongabay menghubungi Giri, Ketua RT08. Dia membenarkan ihwal lokasi bekas terbakar 2023 yang merupakan lahan kelompok tani.
Dia bilang, ada tiga lahan kelompok tani di sana, salah satunya kelompok Syamsudin. “Ketua kelompoknya sudah meninggal,” katanya, merujuk nama Syamsudin.
Giri benarkan lebih dari 100 hektar lahan terjual. Sebelumnya, setiap kelompok punya lahan 1.000 meter kali 500 meter, atau masing-masing anggota miliki dua hektar.
Sekitar 500 meter ke selatan, Mongabay menemukan tanaman sawit usia belum satu tahun.
Tak ada aktivitas penanaman lagi ketika Mongabay mendatangi lokasi itu, akhir tahun lalu. Namun, ada satu alat berat di ujung lahan gambut, berbatasan semak belukar–batas RT 9–tampak merapikan tepian lahan.
Lokasi itu ditempuh lewat jalan pasir berbatu atau Jalan Parit Purba, sekitar satu kilometer dari pertigaan Jalan Arifin Ahmad, jalur penghubung Dumai-Bengkalis. Saat kebakaran, jalan ini satuan petugas pemadam api gunakan untuk keluar masuk ke titik api yang muncul di tengah-tengah lahan Kelompok Tani Syamsudin.
Dua pekerja panen PT Mutiara Naga Indonesia (MNI), menyebut, lahan itu milik masyarakat. Mereka ingat, lahan gambut itu terbakar, tetapi tidak tahu pemiliknya. Adapun areal perusahaan sekitar dua kilometer dari lokasi kebakaran 2023. Akses ke lokasi perusahaan juga dari Jalan Parit Purba.
Seorang satuan pengaman MNI, saat ditemui Mongabay di depan portal dan pos jaga mengatakan, areal terbakar itu belum masuk ke perkebunan mereka. “Di sini, tak pernah terbakar. Perusahaan kami ada embung besar. Bahkan, helikopter ambil air dari sana, waktu pemadaman api,” kata sekuriti itu.
Dia bilang, lahan gambut bekas terbakar yang ditanami kembali dengan sawit itu tidak masuk kawasan perusahaan. Meski sepanjang jalur itu, bahkan di depan tanaman sawit baru itu, ada dua pos jaga MNI, masing-masing ada dua sekuriti.
Mongabay menemukan nama Im, karyawan MNI, sebagai pemilik lahan terbakar dan jadi sawit itu dari persidangan di Pengadilan Negeri Dumai. Kala itu, dia jadi saksi sidang karhutla dan bilang itu lahan milik abang iparnya di Medan. Dia hanya menerima bagi hasil atas empat hektar lahan itu. Sawit yang baru tanam empat bulan itu juga ikut terbakar. Dia klaim rugi Rp12 juta.
Mongabay berusaha menghubungi Im, 23 Desember 2024 untuk konfirmasi tetapi dia tidak bersedia memberi keterangan.

Rawan terbakar
Masih terang dalam ingatan Yusmar Efendi, Ketua RT09 ihwal kebakaran di lahan gambut dari lahan kelompok tani jelang Lebaran, April 2023. Kala itu, kepulan asap terlihat sekitar 3 kilometer dari belakang rumahnya dan menyebar cepat sampai ke Parit Purba.
Gabungan Satgas Karhutla Dumai dan Bengkalis berjibaku selama lebih dari sebulan, memadamkan kebakaran di perbatasan kabupaten dan kota di Riau ini. Mereka dirikan tenda darurat, sementara api terus menghanguskan semak belukar, tanaman sawit tak produktif hingga pohon-pohon akasia liar.
Asap menyelimuti Pelintung kala itu. Jarak pandang terbatas dan jauh dari batas normal. Bahkan, membahayakan pengendara jalur lintas Dumai-Bengkalis. Masyarakat terpaksa memakai masker, berhari-hari, termasuk saat shalat Idul Fitri, demi keamanan dan kesehatan.
“Banyak orang tak bisa kerja, selama kebakaran terjadi. Jangankan mau bantu memadamkan api, masyarakat lebih memikirkan nasib perut. Lebaran jadi tak menentu,” kata Yusmar di kediamannya.
Sudah 25 tahun dia menetap di Pelintung, pindah dari Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bandar Laksamana, Bengkalis. Masa-masa awal, Yusmar numpang berkebun milik warga. Kemudian, dia minta izin pada tetua masyarakat untuk membuka hutan. Kesepakatannya, hasil tanaman bagi dua.
Masa itu, Yusmar membuka hutan 50×400 meter. Dia kerjakan sendiri dengan alat seadanya. Sisa-sisa tebangan juga dia bakar namun bertahap, sedikit demi sedikit, bukan sekaligus. Dia tanam karet, sayur mayur dan tanaman lain buat kebutuhan harian, termasuk sawit.
Sawit milik Yusmar, empat hektar, hampir panen perdana terbakar seluruhnya. Dia tanam ulang sawit pada lahan itu pasca kejadian. Kepolisian Sektor Medang Kampai, sempat memanggil dia karena areal terbakar masih dalam penyelidikan.
“Aku bukan hutan, tanah aku dulu (lahan saya bukan hutan). Sudah ada kebun. Ada sawit. Sudah buah pasei (berbuah pasir). Empat hektar habis licin. Kalau sekarang, sudah panen harusnya,” kata Yusmar pada polisi yang memeriksanya.
Asap kebakaran hutan gambut dari Pelintung juga menyelimuti Dumai Kota yang jaraknya sekitar 30 kilometer. Membuat masyarakat di merayakan Lebaran dengan memakai masker.
Kondisi udara tak sehat itu, buat Sahat Mangapul, warga Dumai, penasaran. Hampir tiap hari dia bolak-balik ke lokasi kebakaran sebelum maupun setelah Lebaran.
Salah satunya, berbarengan dengan Gubernur Riau Syamsuar yang turun ke lokasi sekaligus beri bantuan peralatan pemadaman. Dilansir Spiritriau, Orang nomor satu Riau itu bahkan sempat menyemprot air pada areal terbakar.
Syamsuar menengok lokasi kebakaran dari Parit Purba bersama Irwasda Polda Riau Kombes Pol Hermansyah dan sejumlah unsur pimpinan di Polda Riau. Jajaran eksekutif provinsi dan kota, termasuk Wali Kota Dumai, Paisal, turut hadir. Mereka melaksanakan shalat istisqo—minta hujan—di masjid setempat.
Beberapa hari sebelumnya, Antara melaporkan Kapolda Riau, lebih dulu ke lokasi. Dia memerintahkan, Ditreskrimsus Polda Riau Kombes Teguh Widodo, yang ikut dalam rombongan, mencari pembakar lahan.
Sahat juga tengah meninjau lokasi terbakar saat Muhammad Iqbal turun bersama anak buahnya. Setelah mendapat informasi kronologi kebakaran dari beberapa orang petani, dia mencari tahu pemilik lahan terbakar.
Banyak lahan petani terbakar. Termasuk dua petani yang dikenal Sahat. Mereka tinggal di Dumai, namun ikut memadamkan api setelah mendapat kabar kebakaran di Pelintung.
Para petani pemilik lahan di sana tergabung dalam satu kelompok tani. Informasi kebakaran tersebar dalam WhatsApp Group kelompok.
“Mereka tahu di sana memang sering terbakar. Makanya, setelah dapat kabar kebakaran sekitar pukul 5.00 sore, mereka baru sampai ke lokasi sekitar jam delapan malam. Karena mereka harus siapkan peralatan pemadaman dulu,” terang Sahat.
Atas kebakaran ini, Polres Dumai menjerat Tehena Sokhi Laia, buruh panen sawit PT Armada Putra, perusahaan sekitar lokasi kebakaran. Polisi menuduh pemuda 28 tahun itu lalai saat mencari madu dengan membakar serabut kelapa pada sepotong kayu, hingga memicu kebakaran 360 hektar lahan gambut.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dumai menyatakan, Tehena tak bersalah. Tuduhan itu tak cukup bukti. Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Dumai sempat mengajukan kasasi. Hakim Agung mengandaskan upaya itu.
Buyung, pengacara Tehena, bilang, kasus itu terlalu dipaksakan karena sejak awal berkas-berkas yang menjerat terdakwa tidak cukup bukti. Dia juga melihat banyak keanehan selama persidangan. “Kalau Tehena pelaku (membakar lahan), kenapa cuma dituntut delapan bulan? Sedang kebakaran 360 hektar?” kata Buyung.
Mestinya, kata Buyung, perusahaan sekitar lokasi kebakaranlah yang bertanggungjawab termasuk kelompok tani lahan terbakar bukan orang tak punya kepentingan seperti Tehena.
Penetapan Tehena sebagai tersangka, katanya, hanya berdasarkan keterangan satu saksi atas nama Ardon, selain Amin, sekuriti MNI, yang mencabut kembali keterangannya.
Ardon tengah tersangkut kasus kekerasan seksual anak di bawah umur. Desember tahun lalu, dia kena hukum pidana penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar.
Keanehan lain, kata Buyung, Tehena sampai harus diperiksa dengan teknologi penguji kejujuran atau lie detector. Dia bilang, Tehena diminta mengaku terlibat dalam kebakaran lahan namun kokoh dengan pendiriannya.
“Untuk apa? Kalau sudah cukup bukti kenapa sampai tes kejujuran? Tehena tetap kokoh karena dia bukan pelaku. Mau dipukul pun dia bilang tidak (melakukannya).”
Buyung juga menyayangkan keputusan jaksa menerima pelimpahan berkas pemeriksaan dari kepolisian termasuk mengajukan kasasi. Seharusnya, jaksa berwenang menolak dan menyatakan bukti-bukti tidak lengkap, bukan ikut-ikutan sampai melimpahkan berkas-berkas ke pengadilan.
Atas hal ini, Mongabay coba minta keterangan Polres Dumai. Namun, Kasatreskrim bilang penyidik kasus Tehena sudah pidah tugas, sehingga tidak bisa memberikan keterangan.

Restorasi belum efektif?
Jejak intervensi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) terlihat di Jalan Parti Purba. Satu sekat kanal BRGM bangun lewat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, 2021. Instalasinya, terletak di parit yang terhubung ke kanal MNI.
Dengan kebakaran di wilayah itu menunjukkan intervensi BRGM belum efektif. Apalagi, lahan yang harusnya dipulihkan karena kebakaran 2023 malah jadi sawit.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2016 jo PP Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menegaskan, lahan gambut terbakar wajib restorasi dan tidak boleh untuk tanaman monokultur.
“Jika di lapangan ditemukan praktik tersebut, aparat penegak hukum harus segera mengambil tindakan tegas sesuai ketentuan peraturan berlaku,” kata Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, lewat pesan tertulis.
Dia bilang, upaya restorasi pemerintah bisa tak efektif kalau pada Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) ditemukan pelanggaran serupa. Kegagalan ini karena sifat ekosistem gambut saling terhubung dalam satu kesatuan hidrologis.
Indikasi kerusakan ekosistem gambut dapat teridentifikasi melalui tinggi muka air tanah (TMAT) yang tidak memenuhi standar serta ada kebakaran hutan dan lahan berulang. “Upaya restorasi tidak akan efektif jika dilakukan parsial.”
Kajian Pantau Gambut bertajuk Gelisah di Lahan Basah, menemukan, 289 titik area gambut di luar konsesi perusahaan yang pernah terbakar tidak pemerintah restorasi. Sekitar 54% berubah jadi perkebunan tanaman lahan kering. Sedangkan 41% jadi semak belukara. Mereka lakukan pengecekan pada rentang Desember 2023-Maret 2024. Salah satu fokus studi di Riau.
Eko Yunanda, Manager Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, menilai, penanaman sawit pada lahan bekas terbakar, apalagi skala luas, membuktikan pemerintah abai mengatasi karhutla pasca kebakaran.
Selama ini, pemerintah sigap dalam pemadaman. Bahkan antisipatif lewat modifikasi cuaca yang memakan biaya besar.
“Padahal, itu salah satu hal serius agar karhutla tak berulang. Misal, evaluasi perizinan jika ditemukan perusahaan tidak menjaga wilayah sekitar kebakaran. Apa lagi itu gambut dalam,.”
Bukan hanya BRGM, katanya, yang bertanggungjawab melindungi dan merestorasi gambut bekas terbakar itu tetapi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini terpisah, Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan). Dia menyinggung, alih fungsi kawasan hutan menjadi sawit pasca kebakaran, membuktikan bahwa UU Cipta Kerja tidak dapat mengurangi deforestasi dan alih fungsi kawasan hutan.
UU Cipta Kerja, sebelumnya digadang-gadang bakal memperbaiki keterlanjuran alih fungsi hutan jadi sawit, atau menghentikan alih fungsi kawasan hutan buat perluasan sawit baru. Kasus seperti di Pelintung, Dumai, membuktikan sebaliknya.
“Kasus ini (Pelintung), menunjukkan UU Cipta Kerja tidak bisa hentikan secara langsung deforestasi dan alih fungsi kawasan hutan. Pengampunan belum selesai, tapi justru sudah ada aktivitas penanaman sawit baru dalam kawasan hutan,” kata Eko.

Didy Wurjanto, Kapokja Kerjasama, Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM, mengaku, belum dapat memastikan temuan Mongabay di Pelintung. Namun, dia menekankan beberapa poin., salah satunya, BRGM tak bisa lakukan dorong penegakan hukum lingkungan, bila wilayah intervensi jadi sawit pada areal penggunaan lain (APL).
Begitu juga, jika bekas kebakaran ditanami sawit oleh perusahaan di kawasan berizin, BRGM pun tidak dapat bertindak. “Namun bila terdapat bukti perusahaan yang membakar lahan gambut tersebut, maka law enforcement dilakukan,” kata Didy melalui pesan tertulis.
kalau di kawasan hutan, kata Didy, setelah terbakar tanam sawit tanpa izin, BRGM akan lapor pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk tegakkan hukum lingkungan.
“Kalau status lahan APL dan bukan kawasan berizin, gimana lagi? BRGM dan pemda (pemerintah daerah) mengimbau agar lahan gambut bekas terbakar dikelola secara bijak (tanpa bakar, tanpa bangun kanal-kanal).”
Didy meminta waktu verifikasi temuan Mongabay. Dia memastikan, sesuai UU Perkebunan bahwa kepemilikan lahan perorangan lebih lima hektar harus memiliki perizinan. Hingga tulisan ini tayang, tak ada keterangan lanjutan.

*****
Usai Terbakar jadi Sawit, Karut Marut Kelola Gambut Riau dan Kalteng