Sasampe, Tradisi Syukuran Panen Masyarakat Banggai Laut

20 hours ago 4
  • Di Kelurahan Dodung, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng), dikenal tradisi panen ubi banggai yang dirayakan secara meriah. setiap bulan Agustus. Warga berbondong-bondong membawa hasil panen ubi banggai ke sebuah rumah adat melalui sebuah prosesi adat yang panjang lintas pulau.
  • Tradisi ini awalnya berkembang sebagai bentuk persembahan kepada roh leluhur dan kekuatan alam yang diyakini menjaga kesuburan tanah dan keberlangsungan hidup komunitas. Namun, seiring dengan kedatangan Islam yang dibawa oleh Abu Kasim, seorang tokoh agama dari Jawa, tradisi ini mengalami transformasi.
  • Secara ekologi, Sasampe dapat dipahami sebagai upaya masyarakat Banggai untuk merawat alam sebagai bagian dari siklus kehidupan yang berkelanjutan. Mereka menyadari bahwa kelestarian alam adalah syarat mutlak untuk memastikan panen yang melimpah di masa mendatang.
  • Melalui Sasampe ini, masyarakat Banggai tidak hanya merayakan hasil panen, tetapi juga memperbarui ikatan sosial mereka, memperkuat kohesi komunitas, dan menjaga hubungan harmonis dengan alam. 

Di tengah lautan luas dan gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng), ragam tradisi kuno terus berdenyut dalam nadi masyarakatnya. Salah satunya tradisi sasampe, yang selalu masayrakat rayakan setiap Agustus.

Tradisi ini bukan sekadar seremoni adat, juga bentuk komunikasi spiritual antara manusia, alam, dan leluhur, yang mencerminkan cara hidup masyarakat Banggai yang selaras dengan alam terwariskan secara turun-temurun.

Sasampe adalah upacara tradisional yang perayaannya terpusat di Kelurahan Dodung, Kecamatan Banggai, Kabupaten Banggai Laut, Sulteng. Tradisi ini sebagai ungkapan syukur kepada leluhur dan Tuhan atas hasil panen ubi Banggai dan tanaman lainnya yang melimpah. Sasampe juga  sebagai upaya menjaga keseimbangan alam dan mempererat hubungan sosial dalam komunitas agraris. 

Dalam pelaksanaannya,  tidak ada pembatasan siapa yang boleh membawa ubi hasil panen ke upacara. Semua orang dari suku atau daerah mana pun bisa ikut dan terlibat dalam ritual, khususnya dari Kabupaten Banggai Laut dan Banggai Kepulauan.

Agly Lapene,  budayawan di Banggai, mengatakan, upacara sasampe memiliki urutan atau proses mulai dari persiapan hingga pelaksanaan, serta siapa saja pemangku adat yang terlibat. Hal ini sebenarnya sesuatu yang baru saja dilakukan karena pelaksanaan ritual adat sasampe ini hanya berupa pengantaran ubi banggai ke tempat ritual.

“Hal lain yang berubah adalah jenis persembahan yang dibawa saat ritual. Kalau dulunya hanya membawa ubi banggai saja, maka sekarang mereka juga membawa hasil pertanian lain seperti kacang, pisang bahkan hewan seperti kambing dan ayam,” katanya. 

Menurut  Hisayni, dosen peneliti dari STAI Baubau, tradisi Sasampe memiliki akar kesejarahan yang tinggi bagi masyarakat Banggai. Sebelum masuknya Islam, masyarakat Banggai menganut kepercayaan animisme, yang memandang alam sebagai entitas hidup yang harus dihormati.

“Tradisi ini awalnya berkembang sebagai bentuk persembahan kepada roh-roh leluhur dan kekuatan alam yang diyakini menjaga kesuburan tanah dan keberlangsungan hidup komunitas. Namun, seiring dengan kedatangan Islam yang dibawa oleh Abu Kasim,  tokoh agama dari Jawa, tradisi ini mengalami transformasi. Abu Kasim memperkenalkan nilai-nilai Islam ke dalam praktik tradisi agraris ini, menggantikan sesajen dan pemujaan kepada roh dengan doa dan syukur kepada Allah,” ujar Eko, sapaan akrabnya,  April 2025.

Meskipun telah mengalami proses islamisasi, sasampe tetap mempertahankan esensinya sebagai bentuk penghormatan kepada alam. Dalam praktiknya, tradisi ini menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal yang menekankan pentingnya keseimbangan alam dan spiritualitas. Misal, sebelum membawa hasil panen ke rumah adat Kamali Kawu Mbombol di Kelurahan Dodung, para petani wudhu dan menjaga kesucian niat mereka, mencerminkan pengaruh ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Abu Kasim.

Muhammad Sarif Uda’a, Sekretaris Tomundo (Raja) Banggai, mengatakan,  sasampe ini sebenarnya tak jauh beda dengan tradisi lain di Banggai. Di Banggai Laut,  terdapat sejumlah tradisi adat selain sasampe, yaitu upacara adat Mambangun Tunggul, upacara adat pengantaran burung maleo, dan  Lipu Motonu

“Seluruh tradisi ini dalam pelaksanaannya memiliki kesamaan dalam proses, misalnya semua pemangku berpakaian adat lengkap. Perbedaan terletak pada perangkat adat yang bekerja serta urutan pelaksanaannya,” katanya.

Di rumah adat Kamali Kawu Mbombol di Kelurahan Dodung hasil panen disambut dengan doa-doa dan ritual pembacaan Al-Quran oleh para pemangku adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Harmoni alam dan manusia

Tradisi sasampe biasa berlangsung tiga hari, dengan puncak acara di hari ketiga. Prosesi ini mulai dengan persiapan di Desa Tonuson, Banggai Kepulauan, di mana hasil panen, seperti ubi Banggai, kacang, dan ternak, masuk dalam keranjang tradisional (kusali) lalu dibawa ke  rumah adat Kamali Kawu Mbombol. 

“Perjalanan ini dengan menggunakan perahu, menggambarkan hubungan erat masyarakat Banggai dengan laut sebagai sumber kehidupan,” jelas Eko.

Perahu-perahu ini dihias dengan kain berwarna cerah dan motif tradisional untuk menunjukkan rasa syukur dan penghormatan kepada alam. Saat perahu melintasi lautan, doa-doa dilantunkan untuk memohon perlindungan dan keberkahan selama prosesi.

Setibanya di rumah adat, hasil panen disambut dengan doa-doa dan ritual pembacaan Al-Quran oleh para pemangku adat. Pada momen ini, seluruh peserta ritual, termasuk para tetua adat, pemangku tradisi, dan masyarakat setempat, berkumpul untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan hasil panen. 

Mereka meyakini, hubungan spiritual dengan alam dan leluhur adalah kunci keberlanjutan kehidupan mereka sebagai masyarakat agraris. Nilai itu juga yang mereka ajarkan kepada generasi muda agar menghormati tanah dan laut sebagai sumber kehidupan.

Eko mengatakan, sasampe tidak hanya tentang tradisi keagamaan,  juga bentuk penghormatan kepada alam. Dalam budaya tradisional, panen bukan sekadar hasil kerja keras manusia,  juga buah dari keseimbangan alam yang harus dijaga. 

“Dalam konteks ini, sasampe dapat dipahami sebagai upaya masyarakat Banggai untuk merawat alam sebagai bagian dari siklus kehidupan yang berkelanjutan. Mereka menyadari bahwa kelestarian alam adalah syarat mutlak untuk memastikan panen yang melimpah di masa mendatang.”

Tantangan

Namun, tradisi ini kini menghadapi berbagai tantangan. Modernisasi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam mengancam keseimbangan ekosistem di wilayah ini. Hutan yang menjadi penopang kesuburan tanah semakin tergerus, laut yang menjadi sumber pangan utama semakin tercemar, dan berubahnya pola cuaca membuat prediksi waktu tanam semakin sulit. 

“Dalam konteks ini, tradisi Sasampe bukan hanya upaya melestarikan budaya, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap ancaman kerusakan lingkungan. Ketika hutan digunduli untuk lahan pertanian atau tambang, siklus air terganggu, tanah menjadi tandus, dan produktivitas lahan menurun drastis, mengancam keberlanjutan pertanian yang menjadi dasar ekonomi masyarakat Banggai.”

Sebagaimana masyarakat astronesia lainnya, setiap tradisi dan ritual menggunakan beragam kelengkapan seperti pinang dan sirih. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Menghidupkan solidaritas sosial

Selain bentuk syukur, sasampe juga sebagai perekat sosial. Gotong royong, yang menjadi inti dari setiap tahap tradisi ini, memperkuat hubungan antarwarga dan menumbuhkan rasa solidaritas dalam menghadapi tantangan bersama. Masyarakat berkumpul, saling membantu, dan berbagi hasil panen tanpa melihat status sosial atau ekonomi. Ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan yang semakin langka di tengah masyarakat modern yang cenderung individualistis.

Melalui tradisi ini, masyarakat Banggai tak hanya merayakan hasil panen,  juga memperbarui ikatan sosial mereka, memperkuat kohesi komunitas, dan menjaga hubungan harmonis dengan alam. 

“Dengan tetap melaksanakan Sasampe, masyarakat Banggai mempertahankan identitas budaya mereka sekaligus mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis di tengah arus perubahan global.” 

Selain itu, tradisi ini juga menjadi kesempatan  mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menjaga alam dan memahami siklus ekologis yang lebih luas. Dengan terus melaksanakan sasampe, masyarakat Banggai tidak hanya menjaga tradisi mereka,  juga memastikan  hubungan antara manusia dan alam tetap seimbang dan berkelanjutan di masa depan. 

“Tradisi ini mengingatkan kita bahwa dalam menjaga alam, kita sebenarnya sedang menjaga masa depan kita sendiri. Tanpa penghormatan terhadap alam, keberlanjutan hanya akan menjadi konsep kosong tanpa makna. Sehingga Sasampe bukan hanya tradisi, tetapi juga pesan ekologi yang terus hidup di tengah masyarakat Banggai, sebagai pengingat bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga keberlanjutannya.”

*****

Babangi, Tradisi Melaut Nelayan Bajo Banggai Laut

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|