- Indonesia telah menambah kapasitas (PLTU) batubara sebesar 1,9 gigawatt pada tahun 2024 yang merupakan jumlah tertinggi ketiga di dunia. Penambahan ini ditujukan untuk memasok energi ke pabrik pemurnian logam (smelter) yang mendukung industri kendaraan listrik.
- PLTU captive untuk industri telah meningkat tiga kali lipat sejak 2019, yang melemahkan komitmen iklim Indonesia dalam Perjanjian Paris dan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).
- Indonesia memiliki PLTU batubara terbesar kelima di dunia dan masih berencana untuk menambah 26,7 GW lagi hingga tahun 2030, seperti di wilayah seperti Sulawesi dan Maluku Utara yang menjadi pusat industri hilirisasi mineral khususnya smelter nikel.
- Alternatif teknologi seperti cofiring biomassa dan penangkapan karbon (carbon capture) dikritik karena mahal dan tidak efektif, sementara para ahli mendesak Indonesia untuk beralih ke energi terbarukan yang sejalan dengan tren global energi dan iklim.
Saat sebagian besar negara di dunia menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dan membatalkan rencana pembangunan baru, Indonesia justru mengambil arah berbeda dengan menambahkan kapasitas batubara tertinggi ketiga secara global pada 2024, yang sebagian besar didorong oleh kebutuhan energi untuk smelter logam yang terus bertambah.
Hal ini menempatkan Indonesia di antara sedikit negara yang masih memperluas penggunaan batubara, demikian menurut laporan terbaru dari organisasi nirlaba yang berbasis di AS, Global Energy Monitor (GEM).
Laporan tahunan bertajuk “Boom and Bust Coal” menemukan bahwa pada tahun lalu, pertumbuhan kapasitas pembangkit listrik tenaga batubara global mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir, yaitu hanya bertambah 44 gigawatt, jika dibandingkan rata-rata tahunan yaitu 72 GW di antara periode antara 2004 dan 2024.
Namun, Indonesia menambahkan 1,9 GW kapasitas batubara pada 2024 yang merupakan tertinggi ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Sekitar 80% dari kapasitas baru ini berasal dari PLTU captive, yang memang dibangun khusus untuk kawasan industri pengolahan nikel, kobalt, dan aluminium yang mendukung pasar kendaraan listrik yang sedang tumbuh pesat.
Mengacu pada laporan tersebut, maka Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mengusulkan pembangunan PLTU baru pada 2024.
Peningkatan pembangunan batubara ini mendorong Indonesia ke “ambang kegagalan dalam transisi energinya,” jelas Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia.
Fokus Indonesia pada pengolahan logam, -yang diistilahkan sebagai ‘hilirisasi’ telah mempercepat ekspansi PLTU captive berbasis batubara. Sejak 2019, kapasitas PLTU captive ini telah meningkat tiga kali lipat dari 5,5 GW menjadi 16,6 GW yang mencakup sebanyak 130 pembangkit dengan kapasitas minimal 30 megawatt, dan 21 pembangkit lagi sedang dalam tahap pengembangan, menurut laporan GEM.
Sebagian besar pembangkit ini terkonsentrasi di Sulawesi dan Maluku Utara, pulau-pulau utama pertambangan nikel di Indonesia dan lokasi kawasan smelter besar yang menjadi bagian dari ambisi Indonesia untuk menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik dunia.

Komitmen Transisi Energi yang Dipertanyakan
Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap transisi energi dan penanganan perubahan iklim. Sebaliknya di sisi lain, pembangunan PLTU ini terus berlangsung tanpa henti.
Padahal, Indonesia adalah salah satu yang menandatangani Perjanjian Paris 2015, yang menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada 2030.
Pada 2022, Indonesia sempat menyatakan akan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru setelah tahun itu, dengan pengecualian yaitu masih diberikan kepada pembangkit yang sudah ada dalam rencana nasional dan yang melayani industri strategis seperti smelter logam yang disebut sebagai pembangkit captive.
Celah ini memungkinkan pembangkit baru terus bermunculan, yang dapat merusak komitmen Indonesia untuk menghapus batubara sepenuhnya pada 2050.
Rencana penghentian batubara tersebut merupakan bagian dari Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, yang ditandatangani pada tahun 2022 bersama sekelompok negara industri yang berkomitmen membantu transisi energi. Namun, tiga tahun setelah implementasi JETP dimulai, kemajuan dalam pensiun dini PLTU masih sangat minim, kata Zakki.
Sebaliknya, penggunaan batubara di Indonesia justru berkembang pesat. Sejak menandatangani Perjanjian Paris pada 2015, kapasitas batubara Indonesia telah meningkat sebesar 29 GW, menjadikannya negara dengan jumlah pembangkit listrik batubara terbesar kelima di dunia, dengan total kapasitas mencapai 54,7 GW.
“Ada jurang yang nyata antara rencana batubara Indonesia dan komitmen kepada perubahan iklim,” ungkap Lucy Hummer, peneliti senior di GEM. “Seolah-olah tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan.”

Risiko Ekspansi
Indonesia masih berencana menambah kapasitas PLTU batubara sebesar 26,7 GW dalam tujuh tahun ke depan, dengan tiga perempatnya berupa PLTU captive, menurut peta jalan kelistrikan nasional 2024–2060.
Jika rencana ini terwujud, kapasitas pembangkitan batubara Indonesia akan meningkat sebesar 62,7%, dengan puncaknya pada tahun 2037, menurut analisis lembaga kajian Ember yang berbasis di Inggris.
Tidak saja bagi lingkungan, dalam jangka panjang bertahan dengan PLTU batubara dapat berdampak buruk secara ekonomi, karena PLTU berpotensi lebih mahal dibandingkan energi terbarukan, menurut Ember.
“Perluasan PLTU captive di saat pasar global beralih ke energi bersih adalah tindakan yang tidak masuk akal secara ekonomi. Indonesia memiliki peluang nyata untuk mengembangkan energi terbarukan alih-alih terus bergantung pada batubara,” jelas Dody Setiawan, Analis Senior untuk iklim dan energi Indonesia di Ember.
Sementara itu, dampak lingkungan sudah mulai terlihat. Di Sulawesi dan Maluku Utara, polusi industri dari PLTU captive dilaporkan telah mencemari air, membuat warga sakit, dan merusak tanaman.
“Dengan rencana pertumbuhan [PLTU captive] yang sebagian besar terpusat di pulau Sulawesi dan Maluku Utara, masyarakat yang tinggal di dekat lokasi industri tempat PLTU beroperasi akan menanggung beban kesehatan dan ekonomi paling besar akibat paparan polusi dan penyebaran partikel beracun,” jelas Katherine Hasan, analis di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berbasis di Finlandia, dalam siaran persnya.

Seruan untuk Transisi yang Nyata
Untuk menyiasati penggunaan batubara, pemerintah berencana melakukan modifikasi pada pembangkit yang sudah ada dengan teknologi yang disebut cofiring, yaitu dimana sebagian batubara dicampur dengan pelet kayu dan biomassa lain. Melalui teknologi carbon capture and storage (CCS) digadang-gadang teknologi ini bakal mampu menangkap emisi CO₂ di lokasi pembangkit.
Namun para ahli tetap skeptis terhadap langkah-langkah ini, yang secara luas dipandang mahal dan tidak mungkin memberikan pengurangan emisi yang signifikan.
“Alternatif yang diajukan kemungkinan akan lebih merugikan daripada menguntungkan. Cofiring biomasa bisa mempercepat deforestasi, sementara CCS tetap menjadi solusi yang belum terbukti,” kata Hummer.
Seiring dengan semakin banyak negara yang meninggalkan batubara untuk beralih ke energi terbarukan, para ahli memperingatkan bahwa Indonesia berisiko terisolasi saat pasar dan investor beralih ke energi bersih.
“Berkomitmen pada jalur penghentian batubara sambil memprioritaskan energi terbarukan akan membantu Indonesia menghadapi tantangan multi-aspek yang harus dihadapi oleh semua negara ekonomi yang bergantung pada batubara dalam beberapa dekade mendatang,” kata Hasan.
“Sekarang saatnya bagi Indonesia untuk membuktikan komitmennya dan mewujudkan keterjangkauan serta keamanan energi yang sesungguhnya. Seperti yang dijelaskan dalam peta jalan kelistrikan negara ini.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 29 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Berkomitmen Iklim, Bank-bank Ini Biayai PLTU Captive Industri Nikel