- Center for Law and Social Justice Universitas Gadjah Mada (UGM) mengeksaminasi putusan Mahkamah Agung terhadap kasasi Suku Awyu soal deforestasi di hutan adat mereka untuk proyek sawit. Hasilnya, penolakan Mahkamah Agung atas kasasi itu tak sesuai peraturan, berdampak buruk, dan mencederai keadilan lintas generasi.
- I Gusti Agung Made Wardana, dosen hukum lingkungan UGM, menyebut, tak tersentuhnya substansi gugatan hingga kasasi tak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Aturan tersebut mewajibkan hakim menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan pendekatan judicial activism.
- Riawan Tjandra, ahli hukum administrasi negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menilai, keputusan memisahkan SK Kelayakan Lingkungan dan AMDAL membuat keadilan tak terwujud.
- Rikardo Simarmata, dosen hukum agraria UGM, menyebut, ada empat Perdasus Papua yang sarat dengan pengakuan hak masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan tanah, sumber daya alam, serta kewenangan untuk menyelenggarakan justice system melalui peradilan adat. “Tapi dengan adanya (penolakan) gugatan Suku Awyu kemarin, menyiratkan absennya implementasi peraturan perundang-undangan mengenai otsus.”
Center for Law and Social Justice Universitas Gadjah Mada (UGM) mengeksaminasi putusan Mahkamah Agung terhadap kasasi Suku Awyu soal deforestasi di hutan adat mereka untuk proyek sawit. Hasilnya, penolakan Mahkamah Agung atas kasasi itu tak sesuai peraturan, berdampak buruk, dan mencederai keadilan lintas generasi.
Eksaminasi bertujuan mengembangkan sistem hukum dan kekuasaan kehakiman lebih baik, terutama berkontribusi pada gerakan sosial dalam mewujudkan keadilan. Analisa Putusan MA Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu merunut dari putusan gugatan pertama pada PTUN Jayapura Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR dan putusan banding PTTUN Manado Nomor 92/B/LH/2023/PT.TUN.MDO.
PTUN Jayapura menolak seluruh gugatan Suku Awyu. Dalam putusan, majelis hakim menganggap tengat 90 hari telah terlewati. Juga, menganggap pelanggaran hak masyarakat adat dan lingkungan tak terbukti cukup kuat dalam kerangka hukum administrasi, tetapi mengesahkan obyek gugatan Surat Keputusan (SK) Kepala DPMPTSP Papua No.82/2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup bagi PT Indo Asiana Lestari (IAL) seluas 36.096,4 hektar.
PTTUN Manado dalam putusan menerima permohonan banding dan membatalkan putusan PTUN Jayapura tetapi menolak permohonan penundaan pelaksanaan SK. Majelis hakim kembali menguatkan aspek formil yang mengacu terlambatnya pelayangan gugatan tanpa meninjau aspek substansinya.
I Gusti Agung Made Wardana, dosen hukum lingkungan UGM, menyebut, tak tersentuhnya substansi gugatan sampai kasasi tak sesuai peraturan MA Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Aturan itu mewajibkan hakim menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan pendekatan judicial activism.
“Karena perkara lingkungan bersifat struktural. Alhasil, perspektif legal-formalistis ini menjadi penghambat bagi terwujudnya keadilan lingkungan,” katanya.
Agung, sapaan karibnya, menunjuk kesalahan hakim menerapkan Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Obyek sengketa bukanlah prosedur pembuatan dan isi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), melainkan keputusan kelayakan lingkungan hidup.
Dia menilai, janggal sikap majelis hakim yang memisahkan keputusan kelayakan lingkungan dan amdal proyek ini.
“Pasal 36 ayat 2 UU PPLH 2009 dengan jelas menetapkan bahwa izin lingkungan dikeluarkan setelah studi amdal disetujui layak secara lingkungan. Izin lingkungan dapat dicabut jika dokumen amdal berisi ketidakakuratan data dan, atau informasi yang disalahgunakan atau dipalsukan, dan cacat hukum, sebagaimana dalam Pasal 37 ayat 2.”
Pemutusan hubungan amdal dan SK Kelayakan Lingkungan, punya konsekuensi tertutupnya jalan untuk memeriksa kualitas dan keakuratan amdal.
“Pemutusan ini sekaligus menjadi bukti kemalasan Majelis Hakim untuk menggunakan perangkat aktivisme judisialnya guna masuk dan terlibat dalam perdebatan hukum perubahan iklim.”
Sementara, salah satu poin gugatan Suku Awyu ialah tidak ada kajian dampak perubahan iklim dalam amdal, tetapi PTUN Jayapura menolak, juga MA benarkan. Padahal, terdapat putusan perkara lain, seperti putusan PTUN banding kasus PLTU Tanjung Jati, tahun 2022, yang menilai proyek berisiko menghasilkan emisi signifikan dan memperburuk perubahan iklim, wajib terintegrasi dalam amdal.
Senada dengan Riawan Tjandra, ahli hukum administrasi negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Keputusan memisahkan SK Kelayakan Lingkungan dan amdal membuat keadilan tak terwujud.
“Perhitungan tenggang waktu digunakan jadi pelindung aspek prosedural sehingga yang substantif diabaikan, ini kegagalan pengadilan dari tingkat pertama sampai kasasi.”
Peraturan MA No.6/2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan menyebut, hari kerja yang jadi acuan penghitungan tenggat. Sedangkan ada hari libur daerah yang kerap terabaikan.
Menurut dia, diskursus antara prosedural dan substantif berkaitan dengan kepastian hukum dan keadilan. Kalau itu terjadi, majelis hakim mestinya mengedepankan keadilan.
“Baik juga untuk taat prosedur tapi jangan sampai mengabaikan keadilan itu sendiri karena perkara ini yang dikorbankan masyarakat adat.”
Hakim, katanya, mesti mendalami fakta-fakta terkait amdal dalam perkara ini. Pasalnya, prosedur penetapan amdal merupakan prasyarat tak terpisahkan dari kebenaran materil atas keabsahan SK Kelayakan Lingkungan yang jadi objek gugatan utama.
Riawan menilai, ketidaktepatan menganalisis hubungan sebab akibat anata prosedur amdal dengan kualitas SK Kelayakan lingkungan menyebabkan tidak tercapainya pemenuhan kebenaran materil keabsahan izin IAL.
“Dalam konteks ini juga memperlihatkan inkonsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan hukum yang dibentuknya.”

Absennya otonomi khusus
Putusan kasasi yang menolak gugatan Suku Awyu juga menunjukkan Mahkamah Agung tak memerhatikan otonomi khusus (otsus) yang ada sejak 2001. Ada empat Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang sudah Pemerintah Papua terbitkan terkait masyarakat adat dan hutannya.
Antara lain, Perdasus No. 20/2008 tentang Peradilan Adat, Perdasus No. 21/2008 terkait Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Perdasus No. 22/2008 soal Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat, Perdasus No. 23/2008 terkait Hak Ulayat.
Rikardo Simarmata, dosen hukum agraria UGM, menilai empat perdasus tersebut sarat dengan pengakuan hak masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan tanah, sumber daya alam, serta kewenangan untuk menyelenggarakan justice system melalui peradilan adat.
“Tapi dengan adanya (penolakan) gugatan Suku Awyu kemarin, menyiratkan absennya implementasi peraturan perundang-undangan mengenai otsus,” ujarnya.
Terlebih, banyak kejadian di lapangan yang menunjukkan absennya otsus Papua. Banyak klaim hutan negara atas hutan adat, kemudian jadi area izin atau hak pada korporasi, membuat hak adat tidak memiliki legitimasi.
Kondisi ini terjadi karena tidak ada keputusan administratif yang menindaklanjuti Perdasus. Sejauh ini, belum ada satupun penetapan pengakuan tanah ulayat yang berasal dari Perdasus No.23/2008 dan tak ada hutan adat yang berasal dari Perdasus No.21/2008.
Rikardo bilang, otsus tidak lagi jadi jalur untuk mengakui masyarakat adat. Karena ada jalur legislasi nasional, yaitu perhutanan sosial, hak pengelolaan, atau zonasi tata ruang.
“Sehingga perlu untuk segera mensinkronkan regulasi nasional dengan regulasi otsus dan mempercepat implementasi regulasi otsus yang berujung pada keputusan penetapan pengakuan oleh Pemprov Papua.”
Dia sendiri mengaku kecewa atas putusan kasasi. Tapi, masih ada harapan dengan dissenting opinion salah satu hakim yang mengangkat isu proses pembuatan AMDAL dengan melupakan aspek sosial.
“Akibatnya, penerbitan SK Kelayakan Lingkungan tidak menghitung kerugian pada wilayah kehidupan. Padahal penggugat telah memfungsikan wilayah kehidupan ini sebagai tempat menyelenggarakan ragam kegiatan yaitu untuk mata pencaharian dan religi.”
Poin lain, masyarakat adat tidak seharusnya menunggu pengesahan formal dari pemerintah. Sebaliknya, eksistensi mereka ditentukan oleh fakta sosial dan antropologis yang nyata, bukan sekadar keberadaan dokumen administratif.
“Ini paradigma baru bahwa hukum harus mengikuti realitas sosial, bukan sebaliknya.”

Abai hak konstitusional
Herlambang Wiratraman, dosen tata negara UGM, menyebut, ada banyak pelanggaran hak konstitusional atas putusan kasasi MA, seperti hilangnya hutan adat Suku Awyu tak sesuai Pasal 28I karena menyebabkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional hilang. Pasal 28H pun menyatakan soal hak hidup sejahtera dengan tempat tinggal dan lingkungan yang sehat.
Partisipasi Suku Awyu yang terbatas atas proyek itu juga melanggar berbagai aturan, seperti Undang-undang Otsus Papua yang menjamin informasi dan partisipasi. Terlebih, mereka menolak rencana perkebunan sawit sejak 2018, baik tertulis, melalui berbagai surat, dan unjuk rasa.
Herlambang bilang, putusan kasasi tak memperhatikan hak konstitusional Suku Awyu, serta jauh dari asas-asas pemerintahan yang baik.
“Patut disayangkan fenomena putusan yang keliru dan tak berkualitas, belum bisa dicegah secara sistemik.”

*****
Suku Awyu dan Moi Tolak Sawit, Minta MA Peduli Tanah Adat Papua