Kisah Kodok Merah yang Terancam Punah

1 day ago 5
  • Kodok merah (Leptophryne cruentata) merupakan jenis satwa dilindungi. Spesies ini sangat sensitif terhadap cahaya.
  • Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), kodok merah masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered) sejak 2019.
  • Keberhasilan konservasi eks-situ tak cukup hanya pada proses penetasan, pembesaran individu dari tahap berudu [tadpole] hingga dewasa. Idealnya, bisa generasi kedua (F2).
  • Kodok merah sempat dianggap punah dan masuk daftar lost species oleh komunitas ilmiah internasional. Namun, pada 2006, tim peneliti berhasil menemukan kembali populasi kodok ini di dua lokasi utama di Gunung Gede Pangrango.

Di aquarium terrarium, sejumlah kodok merah tampak tenang. Amfibi dengan nama latin Leptophryne cruentata ini merupakan jenis satwa dilindungi.

“Kami menciptakan kondisi lingkungan yang mendekati habitat aslinya di pegunungan Jawa Barat, dengan pencahayaan minimum. Spesies ini sangat sensitif terhadap cahaya,” ujar Arief Mutargan, Asisten Kurator Taman Safari Indonesia (TSI) di Bogor, Rabu (16/4/2025).

Program konservasi kodok merah atau Bufo cruentatus ini, dimulai sejak 2023. Inisiatif muncul ketika ditemukan beberapa individu liar saat survei habitat elang jawa (Nisaetus bartelsi), juga setelah konsultasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat.

Tujuannya untuk konservasi eks-situ, yaitu di luar habitat alaminya.”

Baca: Sigale-gale, Marga dan Jenis Kodok Baru di Sumatera

Inilah kodok merah yang statusnya dilindungi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Tim konservasi kemudian mereplikasi habitat alaminya ─termasuk kelembaban, suhu, dan pencahayaan redup─ untuk memungkinkan kodok ini berkembang alami di fasilitas tertutup.

“Di terarium kami lengkapi sistem hujan buatan, pengaturannya turun setiap enam jam selama 15 menit.”

Dituturkan Arief, keberhasilan penangkaran bukan tanpa tantangan. “Sekali bertelur jumlahnya relatif kecil, yaitu 50-150 butir, dibandingkan amfibi lain.”

Kini, taman yang dibangun sejak 1980 telah mempunyai koloni berisi 16 individu dewasa, 7 remaja, dan lebih 100 anakan. Dokumentasi lengkap siklus hidupnya, mulai perkawinan, peletakan telur, hingga metamorfosis telah dilakukan dan disiapkan sebagai refrensi ilmiah global.

Agus Haryanto, Kepala BKSDA Jawa Barat, berharap kodok merah dikembalikan ke habitat aslinya bila di penangkaran sudah mencukupi.

Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN), kodok merah masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered) sejak 2019.

Baca: Kodok Tebu Raksasa Ditemukan di Australia, Dijuluki Toadzilla

Kodok merah jumlahnya terbatas di habitat alaminya di Gunung Gede Pangrango. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Konservasi kodok merah

Amir Hamidy, Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengapresiasi konservasi amfibi langka ini di luar habitat alaminya. Namun, keberhasilan konservasi eks-situ tak cukup hanya pada proses penetasan, pembesaran individu dari tahap berudu [tadpole] hingga dewasa. Idealnya, bisa generasi kedua (F2).

“Kalau anaknya itu bisa kawin lagi dan menghasilkan anakan lagi, sampai generasi kedua, itulah yang dianggap sebagai keberhasilan sejati,” ungkap Ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia ini, Rabu (7/5/2025).

Bila ada rencana reintroduksi ke habitat alaminya, BRIN mendukung. Penurunan populasi kodok merah sudah tercatat sejak 1970-an, berdasarkan pemantauan jangka panjang.

Reintroduksi amfibi hasil penangkaran memerlukan tahapan khusus, termasuk habituasi atau pelatihan adaptasi, agar individu yang dilepas bertahan hidup mandiri di alam liar.

“Itu akan efektif, apabila habitat alaminya dijaga.”

Amir melanjutkan, meskipun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) kodok merah sudah disusun dan diserahkan kalangan ilmuwan kepada otoritas terkait, dokumen tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh Kementerian Kehutanan.

“Sampai sekarang belum ada kekuatan hukum sebagai acuan konservasi.”

Baca juga: Katak dan Kodok, Apa Bedanya?

Leptophryne cruentata jantan. Foto: Farist Alhadi/BRIN

Pentingnya pendekatan struktur dan etis

Prof. Mirza Dikari Kusrini, Guru Besar Ekologi dan Konservasi Herpetofauna IPB University, menyoroti pentingnya pendekatan struktur dan etis captive breeding. Atau, penangkaran untuk menyelamatkan spesies yang nyaris punah ini.

Status kritis, diduga dipicu infeksi chytridiomycosis dan dampak letusan gunung berapi. Selain itu, habitat alaminya yang terbatas di kawasan pegunungan dengan ketinggian di atas 2.000 mdpl di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak, turut terancam akibat aktivitas manusia, termasuk pariwisata.

“Kami juga melakukan upaya serupa. Namun, pendekatannya tidak langsung melibatkan spesies cruentata dalam program penangkaran,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).

Habitat kodok merah berada di daerah perairan dengan arus lambat. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Dalam Genus Leptophryne terdapat tiga spesies: L. borbonica, L. javanica, dan L. curentata.

Sebagai langkah awal, timnya memulai program penangkaran dari L. borbonica. Upaya ini telah membuahkan hasil, mulai dari amplexus (perilaku kawin amfibi), penetasan telur, hingga metamorfosis jadi juvenil.

Tahapan berikutnya, penangkaran L. javanica, sebelum akhirnya melibatkan L. cruentata.

“Kami senang jika ada yang berhasil menangkarkan kodok merah. Seharusnya, ini dilakukan bukan saja satu pihak.”

Mirza menegaskan pentingnya captive breeding untuk membentuk assurance colony, yaitu koloni cadangan di luar habitat alami yang bisa menjadi penyelamat bila populasi alami mengalami bencana.

Kodok merah sempat dianggap punah dan masuk daftar lost species oleh komunitas ilmiah internasional. Namun, pada 2006, tim peneliti yang dipimpinnya berhasil menemukan kembali populasi kodok ini di dua lokasi utama di Gunung Gede Pangrango.

“Waktu itu kami hanya menemukan di dua titik, dengan estimasi populasi tidak lebih dari 200-250 individu,” jelasnya. “Angka ini diperoleh melalui metode transek, dengan menghitung individu di setiap jalur survei, lalu diproyeksikan ke seluruh luasan habitat.”

Sejak temuan tersebut, pemantauan rutin terus dilakukan. Meskipun ditemukan lokasi-lokasi baru di tahun berikutnya, namun keterbatasan sebaran dan degradasi habitat membuat spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan.

Kodok Merah Ciremai, Jenis Baru yang Buktikan Indonesia Kaya Ragam Hayati

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|