Suak Sungai, Konservasi dan Kedaulatan Pangan Rantau Baru

9 hours ago 1
  • Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru, Kecamatan pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, memiliki tradisi tradisi tahunan lelang suak sungai. Antusiasme mereka tidak pernah luntur, buktinya, tahun ini praktik tersebut berhasil menggalang dana lebih besar dari tahun sebelumnya.
  • Praktik lelang suak sungai sendiri merupakan ajang saat Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru yang terdiri dari tiga suku, yakni, Melayu Tuk Tuo, Melayu Tuk Mudo dan Meliling, menawar hak kelola dan panen di suak, sungai, parit, tasik dan danau di wilayah adat mereka. Uang yang terkumpul kemudian akan mereka distribusikan kembali untuk keperluan bersama. 
  • Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menanggapi positif tradisi lelang suak sungai di Rantau Baru. Menurutnya, hal itu merupakan praktik konservasi masyarakat adat.
  • Akhwan Binawan, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Ara Sati Hakiki, menilai tradisi lelang suak sungai cara terbaik memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru, di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, punya tradisi tahunan lelang suak sungai. Antusiasme mereka tidak pernah luntur. Tahun ini, praktik itu berhasil menggalang dana lebih besar dari tahun sebelumnya.

Lelang suak sungai merupakan ajang saat Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru yang terdiri dari tiga suku, yakni, Melayu Tuk Tuo, Melayu Tuk Mudo dan Meliling, menawar hak kelola dan panen di suak, sungai, parit, tasik dan danau di wilayah adat mereka. Uang yang terkumpul kemudian akan mereka distribusikan kembali untuk keperluan bersama. 

Tahun ini, mereka menggelar lelang di Balai Adat Sibokol-bokol, Desa Rantau Baru, Sabtu (10/5/25). Pemuka adat menggelar ajang tahunan itu. Datuk Sati Diraja, Batin Sibokol-bokol, menjadi pemimpin acara. Pemangku adat lain, seperti Datuk Mangku, Datuk Sarikoto, Datuk Paduko Momad, Datuk Majosindo dan Datuk Paduko Suwanso turut hadir dan mengapitnya.

Ritual mengunyah sirih jadi syarat untuk membuka lelang. Datuk Majosidno, Datuk Paduko Mamad dan Datuk Paduko Suwanso menghadapi Datuk Sati Diraja yang juga pucuk pimpinan, Pebatinan Rantau Baru, dan menyerahkan setepak sirih. Setelah dialog singkat dengan bahasa lokal, Datuk Sati Diraja secara bergantian dengan Datuk Mangku dan Datuk Sari Koto, mengunyah secabik sirih, simbol merestui lelang.

Datuk Sari Koto, selaku pemandu lelang, mengumumkan satu per satu suak, sungai, parit maupun danau, berikut modal awal yang musyawarah pemangku adat tetapkan beberapa hari sebelumnya. 

Ada 26 suak, sungai, parit, tasik dan danau yang masuk kategori lelang. Antara lain, Danau Terap, Teluk Bederas, Badagu Guntung, Parit Agam, Malukut, Badagu Godang dan Suak Timbul Tanggolam. Kemudian, Mali Pari, Parit Zubir, Soluk Ukam, Parit Boko-boko hingga Suak Moncik.

Selain itu, ada juga Batang Sadeo, Suak Sadeo, Sukati, Parit Soluk Punggu, Soluk Kuras, Perbaungan, Tuntung Angin dan Suak Potai. Serta, Kayu Aro, Kiyap Ketek, Ulung-ulung, Sungai Pudu, Suak Soghik dan Sungai Tore.

Masyarakat adat memiliki pemahaman dalam membedakan sungai hingga danau. Sungai, mengalir memanjang masuk ke hutan. Suak, anak sungai yang tidak panjang, Tasik, danau kecil. Sementara Danau, lebih lebar.

Semua terbentuk secara alami. Kecuali, parit atau kanal yang dibuat masyarakat adat namun menjadi habitat ikan sehingga masuk kategori lelang. 

Sistem lelang berlangsung terbuka dan tertutup. Setelah pemimpin lelang mengumumkan satu suak beserta harganya, seorang panitia akan membagikan sepotong kertas pada peserta lelang yang berminat.

Kemudian, peserta akan menuliskan nama dan harga penawaran mereka. Mereka mengumpulkan kembali potongan kertas berstempelkan lembaga adat Pebatinan Rantau Baru itu, dan dibacakan. Sehingga semua yang hadir mengetahui hasil akhirnya.

Lelang berlangsung setengah hari. Penawaran tertinggi Rp37,5 juta pada Teluk Bederas. Parit Agam di peringkat kedua dengan penawaran Rp15,5 juta. Ketiga, Badagu Guntung senilai Rp12,5 juta. Tuntung Angin hanya Rp100.000.

Tidak semua suak diminati. Yang tidak memiliki penawaran akan panitia lepas senilai nilai awal lalu yang berminat bisa menambah sekadarnya. Seperti Tuntung Angin. Mardani, seorang warga, cukup bayar Rp100.000 dari nilai awal Rp50.000. Begitu juga Suluk Moncik. Zaipul hanya bayar Rp250.000  dari Rp200.000  nilai awal.

Tahun lalu lelang dapat Rp60 juta, tahun ini lebih Rp100 juta. 

“Sebelum Indonesia merdeka, kita sudah punya cara bagaimana mendapatkan APBDes melalui kekayaan alam negeri. Dikelola ninik mamak sehingga mampu menghidupi roda perekonomian di kampung,” kata Griven H Putra, Datuk Sati Diraja.

Hari itu juga, para pemuka adat membagikan uang tersebut untuk berbagai keperluan sesuai porsinya. Mulai untuk keperluan pemuda hingga operasional lembaga adat, kegiatan sosial sampai urusan ibadah, janda dan fakir miskin maupun anak yatim, termasuk menyokong sejumlah pembangunan sarana prasarana dan fasilitas umum di desa.

Datuk Sati Diraja, Griven H Putra, membuka lelang suak sungai 2025. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

Aturan ketat

Aturan lelang yang sangat ketat terurai secara tertulis dan menjadi pegangan bagi pemenang lelang. Peserta lelang juga harus punya rekam jejak keuangan yang baik. Mereka tidak boleh punya utang ke ninik mamak maupun pemerintah desa.

Hanya masyarakat adat setempat yang bisa jadi peserta lelang, bukan pihak luar. Bahkan mencari pendana atau modal dari luar pun tidak boleh. Namun, masyarakat adat maupun yang sudah berdomisili di Rantau Baru mengikutinya dengan berkelompok atau modal patungan.

Pemborong suak sungai–sebutan pemenang lelang–berhak mengambil ikan selama satu tahun di lokasi tersebut. Mulai dari hari pelelangan sampai tanggal pelelangan tahun berikutnya. 

Dia diberi hak atas suak sepanjang 30 meter kiri dan kanan hingga ke ujung dan muara. Tidak boleh mempekerjakan orang lain, apa lagi menjalin kerjasama pihak ketiga, untuk mencari ikan di sana.

Pemborong dilarang menebang kayu. Denda dua kali lipat dari harga suak menanti pelanggar. Hutan dan kayu sekitar suak tidak termasuk dalam hak mereka. Juga, tidak boleh meracun dan menyetrum ikan dalam suak. Pelanggaran akan kena sanksi larangan ikut lelang tiga tahun berturut-turut.

Datuk Sati Diraja mengingatkan pemborong mengikuti aturan. Dia minta pemborong membaca aturan dengan baik dan mempelajarinya supaya tidak jadi masalah kemudian hari.

“Siapa melanggar tak ada ampunan. Mari samo-samo menjago tata aturan di kampung kito. Dengan begitu insya Allah kita mendapat berkah Allah dan disenangi masyarakat sekitar kito. Allah akan berikan rezeki yang melimpah. Buktinya, walaupun dilanda banjir, satu sisi ikan makin banyak masuk ke sungai.”

Masyarakat adat Pebatinan Rantau Baru adalah nelayan tradisional. Menggunakan perahu dan alat tangkap tidak merusak ekosistem sungai. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

Selain melalui proses lelang terbuka, ada tempat lain yang diperuntukkan secara khusus. Pertama, Danau Karang. Bila berminat, pemborong dapat mendaftar ke ketua danau yang ninik mamak tunjuk. Seperti aturan lelang umumnya, pemborong harus membayar lunas Rp5 juta. Uang ini seluruhnya untuk anak yatim.

Kedua, Danau Sipunjung, untuk masyarakat yang tak dapat mengikuti lelang, terutama perempuan kepala rumah tangga. Letaknya tidak jauh dan terjangkau karena persis di seberang pemukiman masyarakat adat yang hidup di tepian Sungai Kampar.

Meski terbuka untuk ambil ikannya, masyarakat adat tetap harus menggunakan cara yang tidak membahayakan ekosistem sungai. Misal, dengan tidak memakai pukat atau dalam bahasa lokal jaring sundak. Sanksi bagi pelanggar Rp100.000  per utas jaring.

Ketiga, pemuka adat juga menetapkan satu parit khusus buat pemerintah desa. Yakni, Terusan Panjang. Meski begitu, siapa pun boleh mengambil ikan di sana. 

 Ada denda Rp10 juta bila kedapatan melakukan cara-cara terlarang yang membahayakan kelestarian sungai dan biota di dalamnya. Orang yang berhasil menangkap pelaku itu akan mendapat balas jasa separuh dari besaran denda.

Alhamdulillah, kita bersyukur, negeri kita kaya. Bayangkan ada 26 suak sungai. Semua itu kita kelola dengan baik untuk kemakmuran kita bersama. Jadi kita lestarikan kegiatan iko (ini) dan kita tengokkan pada orang, negeri kito terjaga adat budaya dan perangai dalam mengikuti perintah pemerintah maupun adat,” kata  Sati Diraja.

Danau Sipunjung, tidak dilelang. Perempuan adat mencari ikan di sini. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

Praktik konservasi

Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menanggapi positif tradisi lelang suak sungai di Rantau Baru. Menurutnya, hal itu merupakan praktik konservasi masyarakat adat.

Secara teori, praktik itu masuk kategori Customary Sustainable Use (CSU) dengan tipologi multi fungsi adaptif, menjaga fungsi ekologi sekaligus memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya secara berkelanjutan.

“Tradisi ini semakin mempertegas bahwa masyarakat adat memiliki kapasitas dan kemampuan nyata untuk mengelola alam secara lestari, tanpa perlu mengandalkan sistem konservasi eksklusif yang bersifat top-down,” terangnya, lewat pesan tertulis, Minggu (18/5/25).

Asti, panggilan akrabny bilang, model lelang suak sungai menunjukkan kelestarian alam dapat berjalan berdampingan dengan pemanfaatan, selama dijalankan dengan sistem pengaturan sosial-ekologis yang kuat dan berbasis nilai.

Kemampuan Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru tidak terlepas dari pengetahuan lokal mereka. Hal itu jadi modal utama memastikan keberlanjutan ekologis dari setiap bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang mereka jalankan. Pengetahuan ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi living knowledge system—sistem pengetahuan yang terus tumbuh, berubah dan beradaptasi seiring waktu.

Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati memandatkan CSU pada artikel 10(c). Menyerukan negara-negara peratifikasi CBD menghormati, melindungi dan mendukung praktik-praktik adat berkelanjutan terhadap keanekaragaman hayati.

CSU merupakan praktik penggunaan sumber daya alam yang dilakukan oleh komunitas adat dan lokal berdasarkan tradisi turun-temurun, dengan cara yang selaras dengan konservasi dan keberlanjutan. 

Tradisi lelang suak sungai, bukan hanya menjaga ekosistem dan kedaulatan pangan lokal, juga jadi contoh nyata pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, serta ekonomi regeneratif. Selaras dengan komitmen pemerintah dalam CBD dan Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan.

“Pemerintah seharusnya mengarusutamakan sistem pengelolaan adat seperti ini sebagai model pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada kekuatan masyarakat.”

Senada dengan Akhwan Binawan, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Ara Sati Hakiki. Dia menilai tradisi lelang suak sungai cara terbaik memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Praktik itu sebagai aktivitas ekonomi berkelanjutan. Kelembagaan adat Rantau Baru menata wilayah tangkapan, agar tidak terjadi perselisihan dan berebut tempat mencari ikan.

Wewen, panggilan akrabnya, melihat tradisi ini berhasil menciptakan dua aktivitas ekonomi. Pertama, ekonomi sosial, karena uang dari hasil lelang dimanfaatkan oleh kelembagaan adat untuk menyelesaikan berbagai persoalaan di masyarakat.

Kedua, lelang juga menjadi ekonomi pasar. Pemenang lelang memanfaatkan hasil lelang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Menjual hasil tangkapan ikan ke pengepul atau langsung ke pasar melalui agen, baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan.

“Tradisi lelang suak sungai juga diperkuat oleh aturan lain yang diciptakan masyarakat adat, termasuk perlindungan kelangsungan mata pencarian sebagai nelayan. Misal, peraturan tentang alat tangkap, larangan menggunakan alat setrum dan racun,” terangnya melaluii pesan tertulis pada Mongabay, Kamis (15/5/2025).

Tradisi ini membuat Masyarakat Adat Rantau Baru jadi bagian pelaksana kedaulatan pangan nasional. Sebagai nelayan sungai, mereka berkontribusi menyediakan sumber protein hewani, di samping urusan perekonomian keluarga. Pengetahuan tradisional atau kearifan lokal ini lah yang menjaga kelangsungan kedaulatan pangan di Rantau Baru.

Sayangnya, aktivitas ekonomi dan kontribusi nelayan sungai kurang mendapat perhatian pemerintah. Banyak pihak meragukan nelayan air tawar sebagai ekonomi yang menjanjikan dan berkelanjutan. Sebab kekuatan sosial di tingkat kampung juga harus mendukung sistem ekonomi ini.

“Ekonomi semacam ini tidak mudah untuk dikembangkan di tempat yang berbeda. Banyak orang harus belajar di sini. Termasuk pemerintah, perlu belajar ke orang Rantau Baru, bagaimana mengelola sumber daya sungai dengan praktik yang baik.”

Ujang Paman, salah seorang pemenang lelang suak sungai. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

*****

Mengapa Air Laut Asin?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|