- Masyarakat Adat Suku Moi, sub Suku Moi Kelim, di Kampung Suwatuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat Daya, bertekad menjaga hutan mereka. Pasalnya, hutan seluas 500 hektar itu memberikan manfaat besar bagi hidup mereka, termasuk sumber penerangan.
- Yopin Paa Kammi, salah seorang warga, bilang, jauh di dalam hutan adat mereka yang bervegetasi rapat, ada mata air yang menghasilkan air melimpah. Warga yang terus menjaga kelestariannya pun sekarang merasakan manfaatnya.
- Mereka belajar dari seorang mantan kepala kampung yang meminta Mongabay tidak menyebut namanya. Dia pernah merantau dan melihat teknologi serupa di wilayah lain. Saat kembali ke kampung, dia mengajarkan warga membuat turbin.
- Socrates Kalami, Kepala Kampung Suwatuk sejak 2022, bilang, masyarakat kampung tak kenal lelah berinovasi untuk keluar dari kesusahan yang mereka alami selama bertahun-tahun. “Masyarakat gotong royong dari awal pembangunan sumber listrik di desa dan dijaga sampai saat ini. Jika ada kerusakan kami juga sama-sama turun memperbaiki,” ucapnya.
Masyarakat Adat Suku Moi, sub Suku Moi Kelim, di Kampung Suwatuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat Daya, bertekad menjaga hutan mereka. Hutan seluas 500 hektar itu memberikan manfaat besar bagi hidup mereka, termasuk sumber penerangan lewat Pembangkit Listrik Tenga Mikrohidro (PLTMH).
Dulu, malam hari membatasi aktivitas mereka. Mencari barang yang hilang bukan hal yang bisa mereka lakukan, sekalipun barang tersebut penting. Menunggu pagi dan matahari terbit jadi solusi.
“Sekarang sudah aman terkendali. Masyarakat juga bisa lalu lalang di malam hari, karena kampung sudah terang. Kami bersyukur,” ucap Yopin Paa Kammi, salah seorang warga, pada Mongabay.
Pria 50 tahun ini menyebut, jauh di dalam hutan adat mereka yang bervegetasi rapat, ada mata air yang menghasilkan air melimpah. Warga yang terus menjaga kelestariannya pun sekarang merasakan manfaatnya.
Awalnya, warga–yang kebanyakan bermarga Kalami–memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, berkat ide membangun mikro hidro,mereka membuat turbin yang bisa memasok listrik ke rumah-rumah warga.
Mereka belajar dari seorang mantan kepala kampung yang meminta Mongabay tidak menyebut namanya. Dia pernah merantau dan melihat teknologi serupa di wilayah lain. Saat kembali ke kampung, dia mengajarkan warga membuat turbin.
Dari situ, ide membuat mikro hidro menguat. Langkah ini menjadi harapan bagi warga, dan mereka antusias karena kampung mereka akan segera terang.
“Ada ide muncul dari orang tua kami di kampung yang sudah lama merantau dan balik lagi ke kampung. Dia belajar banyak di luar dan memberikan pengetahuan kepada kami,” katanya.

Socrates Kalami, Kepala Kampung Suwatuk sejak 2022, bilang, masyarakat kampung tak kenal lelah berinovasi untuk keluar dari kesusahan yang mereka alami selama bertahun-tahun. “Masyarakat gotong royong dari awal pembangunan sumber listrik di desa dan dijaga sampai saat ini. Jika ada kerusakan kami juga sama-sama turun memperbaiki.”
Listrik dari tenaga air mulai masuk di Kampung Suwatuk tahun 2000. Saat itu, masih menggunakan dinamo kecil sebagai penggeraknya.
Ukuran dinamo yang kecil membuat penyaluran listrik tidak merata, tidak mampu menjamin penerangan sampai ke 10 rumah warga. Sebagian energinya juga untuk memperlancar air bersih ke perkampungan.
Tahun 2005, warga berinisiatif merenovasi turbin secara swadaya. Namun harus berhenti sejenak karena terkendala dana.
Barulah saat dana desa mulai masuk tahun 2015, pemerintah kampung memasukan program pembangkit Listrik dari tenaga turbin menjadi prioritas.
“Sebelum bersandar pada tenaga turbin ini, dulu pernah ada bantuan dari PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) Mandiri, berupa solar panel. Tapi masyarakat resah karena sering rewel barang itu. Makanya fokus kita ke turbin ini.”
Listrik PLTMH ini pun akhirnya sepenuhnya masuk ke perkampungan dan rumah-rumah warga. Setiap rumah mendapat limit daya sebesar 300 watt yang menyebar ke 15 rumah, serta menerangi tempat ibadah dan fasilitas umum kampung.
“Kurang lebih sebesar 10 ampere lah setiap rumah untuk tegangan listriknya. Bisa bikin kulkas hidup,” kata Socrates.
Pria 50 tahun itu bilang, pemerintah kampung dan warga sepakat tidak memberlakukan iuran bulanan. Artinya, listrik tersebut gratis untuk masyarakat kampung.
Hanya saja, ada kesadaran dan komitmen komunal yang harus mereka praktikkan. Yaitu, tidak merusak hutan atau alam. Karena ekosistem alami ini lah komonen utam penerangan desa mereka.
Warga pun gotong royong membersihkan saluran dan penampungan air yang tidak begitu jauh dari perkampungan saat musim hujan tiba.
“Palingan hanya tukar tenaga saja kalau ada kerusakan. Tandanya, kalau hujan datang, listrik akan mulai redup di kampung. Saat masalah itu datang, di situlah masyarakat gotong royong kerja bakti membersihkan penampungan.”

Dari pelita ke bohlam
Sudah lama warga Kampung Suwatuk menantikan listrik hadir. Selama 20 tahun, mereka menggunakan nyala lampu pelita untuk menerangi rumah-rumah.
Masih terang dalam ingatan Yopin kala lampu pelita menjamur di kampung. Masa itu adalah masa susah warga Suwatuk. Apalagi, sebagian warga bekerja sebagai nelayan. Mereka kerap bingung mencari es batu untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan.
“Susah sekali dulu itu. Tapi sekarang hampir sudah berbeda. Sudah mudah.”
Sekarang, warga Kampung Suwatuk merasakan listrik yang selama ini mereka idamkan. Lampu-lampu bohlam jadi sumber cahaya di tiap rumah yang menyala setiap hari.
Tidak pernah ada pemadaman listrik di kampung ini. Mereka pun tidak pusing memikirkan biaya bulanan yang harus mereka keluarkan untuk listrik.
“Kalau disuruh pillih. Kami pillih yang listrik yang sekarang ini. Tidak perlu keluar uang. Ini tinggal jaga hutan. Air dan Listrik jalan. Siang malam listrik menyala dan tak ada khawatir soal pulsa habis dan isi pulsa. Listrik terlalu murah dan gratis untuk kami di sini,” kata Yopin.
Pernah suatu waktu, kampungnya mendapat tawaran dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk sumber energi listrik. Tapi dia dan warga sepakat menolak. Mereka sudah terlalu nyaman dengan apa yang mereka lakukan selama ini.
“Kalau PLN harus bayar lagi. Kalau sekarang kami hanya berharap ke alam yang sudah Tuhan sediakan. Kita hanya perlu menjaganya saja.”
Kini, masyarakat Kampung Suwatuk telah memanen apa yang telah mereka rawat selama ini. Menjaga alam untuk kehidupan orang banyak. Mereka memanfaatkan sumber daya alam dengan praktik ramah lingkungan menjadi berlimpah energi. Rumah di setiap kampung surplus listrik akhirnya.
“Coba lihat lampu ini. Non stop 24 jam menyala. Tidak takut tunggakan hanya takut kena strum,” kata Kepala Kampung itu dengan penuh tawa.
Masyarakat Kampung Suwatuk menjadi contoh penerima manfaat sumber energi terbarukan dari hutan yang mereka jaga. Meskipun demikian, mereka khawatir investasi yang merusak hutan masuk ke hutan, wilayah adat, dan tanah-tanah yang selama ini jadi sumber kehidupan mereka.
“Jaga hutan dan alam itu penting. Untuk manusia banyak dan anak cucu kami nanti.”

*****