- Pembangkit panas bumi terbangun di Rantau Dedap, Desa Segamit, Kecamatan Semende Dadap Ulu, Muara Enim, Sumatera Selatan, tempat. Mirisnya, dusun itu malah tak teraliri listrik dari pembangkit listrik skala besar ini.
- Saat sosialisasi mau bangun pembangkit panas bumi, perusahaan menjanjikan warga Kampung Rantau Dedap akan dapat prioritas kerja di pembangkit. Rumah-rumah mereka akan mendapatkan listrik gratis. Sampai sekarang, jangankan kabel, tiang listrik saja tidak ada.
- Kampung dekat pembangkit tak nikmati energi dari panas bumi Rantau Dedap, daerah sekitar pun was-was kalau tutupan hutan terganggu termasuk untuk pembangkit panas bumi.
- Hutan nan lebat di Bukit Barisan, termasuk hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah. Ia menyimpan sumber air untuk sungai-sungai besar di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Orang-orang di Semende, menyebutnya sebagai “Tumutan Tujuh.”
Investasi jutaan dolar pembangkit listrik panas bumi dengan pengelola PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) ini tak lantas membuat warga Dusun Rantau Dedap, yang berada di ujung Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu, Muara Enim, Sumatera Selatan itu bungah dan mendapatkan listrik gratis.
Awal Desember 2024, Mongabay mengunjungi Rantau Dedap. Ia berada di kaki Anak Gunung Patah, berkeliling bukit nan hijau, dengan awan putih menggantung. Pemandangan indah itu tidak seindah nasib warganya.
Rantau Dedap tetap terabaikan. Nyaris tak ada bangunan pemerintah, selain gedung SDN 14 berkelir biru. Tak terlihat tiang listrik PLN. Hanya ada tiang kayu dan bambu hasil pantungan warga yang terpacak, menyangga kabel hitam sebesar jari yang menyalurkan setrum dari turbin ke rumah-rumah warga. Warga swadaya memanfaatkan energi air.
“Kami ini macam tikus kelaparan di lumbung padi. Sumbernya (geothermal) di sini, tapi kami tidak dapat listriknya. Cuma numpang lewat saja,” kata Akramudin, warga Rantau Dedap.
“Kalau Supreme meledak, yang mati duluan kami.”
Lelaki 43 tahun itu kesal, lantaran janji perusahaan memberikan listrik gratis hanya omong kosong.
“Janjinya dulu kalau Supreme beroperasi, warga ring 1 Rantau Dedap diutamakan. Ternyata diagsingkan, terbukti sampai sekarang belum ada listriknya. Kenyang kami makan janji janji.”
Sejak 10 tahun terakhir, Sumsel kebun pembangunan pembangkit listrik untuk memenuhi target 35.000 MW program mantan Presiden Joko Widodo.
Saat ini, ada 36 pembangkit beroperasi di Sumsel, masih ada dua PLTU berkapasitas 900 MW bakal beroperasi dalam waktu dekat.
Data PLN Unit Induk Distribusi Sumsel, Jambi dan Bengkulu (S2JB) pada Oktober 2024 menunjukkan, total daya pembangkit mencapai 3.203 MW sedang beban puncak hanya 1.563 MW.
Daya yang melimpah itu sebagai cadangan dan sebagian mengalir ke jaringan Sumatera.
Begitu banyak daya tidak terpakai, membuat PLN tekor. Pada 2017, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan, setiap 1 Gigawatt listrik tidak terpakai, PLN harus membayar US$3,16 miliar kepada IPP melalui skema take or pay (TOP). Pada Maret 2024, PLN mendapat suntikan dana Rp75,83 triliun dari Kementerian Keuangan untuk subsidi listrik 2024.
PLN yang memonopoli pengelolaan listrik juga tak mampu mengatur dan menyalurkan daya listrik secara merata. Sumsel yang kelebihan pasokan hingga 2.200 MW, nyatanya tidak membuat semua kampung teraliri listrik.
“Sumatera Selatan surplus listrik, tetapi desa-desa dekat pembangkit, bahkan ring 1 justru tidak dapat listrik,” kritik Boni Bangun, Koordinator Perubahan Iklim dan Transisi Energi Hutan Kita Institut (HaKI).
Ismanto, Ketua RT01, Desa Segamit bilang, warga dulu keblinger janji manis perusahaan hingga setuju geothermal beroperasi di Rantau Dedap.
Saat sosialisasi, perusahaan menjanjikan warga Kampung Rantau Dedap akan dapat prioritas kerja di pembangkit. Rumah-rumah mereka juga akan mendapatkan listrik gratis.
“Awal masuk dulu ngomongnya manis. Janjinya listrik bakal masuk gratis, nyatanya sampai sekarang apa? Jangankan kabel, tiangnya saja tidak ada.”
Desember lalu, Mongabay menghubungi Jhanson Parliatan, external relations PLTP Supreme Energi Rantau Dedap, tetapi tak menangapi telepon dan pesan permohonan wawancara. Sampai tulisan ini terbit pun belum ada tanggapan.
Rawat hutan, was-was rusak
Kampung dekat pembangkit tak nikmati energi dari panas bumi Rantau Dedap, daerah sekitar was-was kalau tutupan hutan terganggu termasuk untuk pembangkit panas bumi.
Hutan nan lebat di Bukit Barisan, termasuk hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah. Ia menyimpan sumber air untuk sungai-sungai besar di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Orang-orang di Semende, menyebutnya sebagai “Tumutan Tujuh.”
Tumutan Tujuh adalah sumber mata air untuk tujuh sungai penting yang mengalir ke wilayah Sumatera Selatan di sisi timur dan Bengkulu di sebelah barat.
Sungai itu adalah Sungai Endikat, Sungai Lematang, Sungai Enim yang jadi urat nadi bagi masyarakat Sumatera Selatan. Sedangkan Sungai Padang Guci, Air Kinal, Air Bengkenang, Air Kendurang mengalir ke wilayah Bengkulu.
Ketujuh sungai ini masyarakat adat jaga. Mereka memiliki ikatan kuat dengan hutan. Bagi mereka, hutan adalah penyedia air, tempat hidup satwa sekaligus penyedia kayu.
Orang-orang Semende menjaga Sungai Enim, orang Basemah menjaga air Sungai Lematang, orang Lahat menjaga Sungai Endikat, orang Manna di Bengkulu menjaga empat sungai lainnya. Kalau Tumutan Tujuh rusak, Sumsel dan Bengkulu akan mengalami bencana besar.
Desa Danau Gerak, dua jam perjalanan dari pembangkit listrik panas bumi Rantau Dedap, merupakan ruang hidup Masyarakat Adat Semende. Mereka selalu menjaga hutan larangan, terutama “Tumutan Tujuh” di bentangan Bukit Barisan.
Endri, Kepala Desa Danau Gerak, mengatakan, adat Suku Semende melarang warga membuka lahan di kawasan hutan di atas babakan—sumber mata air. Mereka takut longsor dan kehilangan sumber air.
“Mulai dari leluhur yang buka sawah dulu, [hutan] di atas babakan tidak boleh ditebang,” kata datuk Aridi, pengurus masjid Desa Danau Gerak.
Masyarakat yang melanggar akan kena denda Rp1 juta untuk setiap pohon yang ditebang. Mereka juga harus menanam pohon dan mengembalikan tutupan hutan yang terbabat.
Endri khawatir, pembukaan hutan untuk pembangkit panas bumi ini rawan mengganggu sumber air Tumutan Tujuh.
Selama puluhan tahun, masyarakat Danau Gerak menggunakan sungai untuk mengairi sawah dan kebun sayur. Air yang mengalir tanpa henti itu juga sebagai sumber listrik untuk penggerak turbin.
Masyarakat Danau Gerak masih memanfaatkan listrik dari turbin, meski jaringan PLN masuk kampung dua tahun terakhir.
“Kalau hujan PLN sering mati, kita tidak tahu dimana yang rusak. Kalau pakai turbin lebih enak, listrik tidak pernah mati,” kata Jamrah. (Selesai)
******
*Liputan ini merupakan fellowship Transisi Energi Berkeadilan yang didukung Remotivi dan WRI Indonesia.