- Pemprov Bali melarang penggunaan plastik kemasan sekali pakai dan air kemasan di bawah satu liter. Larangan ini berlaku untuk kantor pemerintahan, swasta, desa, tempat usaha seperti cafe dan hotel, pusat perbelanjaan, pasar, lembaga pendidikan, dan tempat ibadah.
- Ada ancaman sanksi bagi yang tidak melaksanakan. Desa/Kelurahan yang tidak melaksanakan, bantuan dan insentif akan ditunda pencairannya. Sedangkan pelaku usaha, akan ditinjau izinnya dan di-viralkan. Sebaliknya, pemprov juga beri reward bagi yang berhasil, seperti insentif Rp100 juta sampai Rp1 miliar.
- Made Sudarma, doktor Ilmu Lingkungan Universitas Udayana mengingatkan sudah sangat banyak regulasi pengelolaan sampah mulai dari regulasi pusat sampai daerah. Tapi minim penegakan hukum, pendanaan dan pembiayaan misalnya anggaran kurang dari 1%.
- Rahyang Nusantara dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) merespon positif terbitnya SE tersebut. Menurutnya ini upaya konkret dalam mengurangi timbulan sampah plastik yang telah menjadi masalah serius di Indonesia.Ia merujuk data sampah plastik yang menyumbang sekitar 19,64% dari total timbulan sampah nasional pada tahun 2024, meningkat dari 15,88% pada tahun 2019
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melarang penggunaan plastik air kemasan di bawah satu liter. Gubernur Bali, I Wayah Koseter sampaikan itu dalam deklarasi Gerakan Bali Bersih Sampah,11 April 2025 di Denpasar.
Hadir ribuan undangan dari berbagai pihak itu adalah kelanjutan dari terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor 09/2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah pada 2 April 2025. SE berisi aturan pengelolaan sampah berbasis sumber, seperti regulasi sebelumnya.
Dalam SE ini juga mengatur larangan produksi dan distribusi minuman dalam kemasan dengan plastik sekali pakai di bawah satu liter.
Secara khusus, larangan berlaku untuk kantor pemerintahan, swasta, desa, tempat usaha seperti cafe dan hotel, pusat perbelanjaan, pasar, lembaga pendidikan, dan tempat ibadah.
Laramgan juga meliputi penggunaan kemasan plastik sekali pakai itu meliputi kresek, sedotan, styrofoam. SE juga mengatur tentang kewajiban untuk mengolah sampah organik, memilah sampah, dan hanya residu ke TPA.
Aturan ini juga sudah tertulis di regulasi sebelumnya, seperti Peraturan Gubernur Bali Nomor 97/2018 tentang larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP), Peraturan Gubernur Bali Nomor 47/2019 tentang pengelolaan sampah berbasis sumber dan lainnya.
Sayangnya, kendatipun sudah berlaku sejak tujuh tahun lalu, larangan plastik sekali pakai tidak berjalan dengan baik. Para pedagang dan distributor masih leluasa menggunakan sedotan, kresek, dan styrofoam.
Wayan Koster, Gubernur Bali dalam paparannya sampaikan, volume sampah di Bali lebih 3.400 ton perhari. Komposisinya lebih 60% adalah sampah organik, sementara plastik sekitar 17%.
Meski sampah organik jauh lebih banyak dan menurut regulasi harus diolah di sumber, kenyataannya yang terbuang ke tempat pemrosesan akhir (TPA), masih banyak sekitar 43%. “Ini kacau pak, sampah dibuang ke sembarang tempat, ilegal 23%,” katanya dalam kegiatan yang juga Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup hadiri.

Sanksi dan reward
Koster menyebut, saat ini, kondisi di TPA Suwung sudah sangat berat. Harapannya, di 2026 bisa ditutup. Dia juga menyebut, banyak sampah kiriman dari Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan. “Musim tertentu Pantai Kuta full sampah, awal tahun selalu kebanjiran sampah,” keluhnya.
Sebelumnya, regulasi seperti pembatasan PSP, kata Koster, berhasil di hotel, restoran, pusat perbelanjaan. Namun, di pasar tradisional tak berhasil. “Kendalanya pedagang dan masyarakat terbiasa tas kresek dan belum ada pengganti tas kresek yang ramah lingkungan, murah,” katanya.
Untuk regulasi pengelolaan sampah berbasis sumber, dia mengklaim sudah ada 600-an desa yang melakukan, pencapaian baru 41% yang mengelola sampah berbasis sumber tetapi belum optimal. Alasannya, ada kendala yakni COVID-19 pada 2020. “Masyarakat juga belum biasa memilah, keterbatasan anggaran, ketiadaan lahan TPS3R.”.
Koster sempat memaparkan belasan butir dalam SE itu seperti semua lembaga wajib mengelola pengolah sampah berbasis sumber, tidak memakai PSP, larangan pakai produk air kemasan sekali pakai di bawah satu liter, pakai plastik ramah lingkungan, pemilahan organik, anorganik, residu.
Selain itu, pengolahan organik seperti magot, teba modern, dan lain-lain. Pengangkutan sampah terpisah dan terjadwal, pengangkutan sampah ke TPA hanya untuk residu, khusus di desa, anggaran dari dana desa. Berikutnya kepala desa, lurah membuat tim terpadu melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan PSP. Pelaksanaan aturan ini paling lambat 1 Januari 2026.
Pihaknya akan menunda bantuan keuangan, pencairan insentif bagi desa/kelurahan yang tidak melaksanakan. “Bagi pelaku usaha akan dikenakan sanksi ditinjau kembali atau dicabut usahanya, dilaporkan ke publik melalui medsos sebagai usaha tidak ramah lingkungan dan tak layak dikunjungi.”
Bagi yang tuntas melaksanakan pengolahan berbasis sumber dan pembatasan PSP, seperti desa/lurah bantuan akan mendapat keuangan Rp500 juta-Rp1 miliar. Pelaku usaha mendapat penghargaan sebagai green hotel, green mall, green restaurant.
Lembaga pelatihan juga akan mendapat bantuan keuangan Rp100-Rp200 juta, pasar Rp250 juta-Rp1 miliar, dan pengelola tempat ibadah Rp50-Rp100 juta.

Penegakan tak maksimal
Hanif Faisol, Menteri Lingkungan Hidup, mengatakan, Bali selangkah lebih maju di tengah masalah sampah laut. “Dideklaraksikan tak hanya dideklarasikan, permasalahan sampah jadi super prioritas,” katanya.
Dia bilang, persoalan sampah juga menjadi perhatian serius Presiden Prabowo. Secara khusus, presiden tiga tiga kali gelar rapat terbatas untuk pengurangan sampah. Hasilnya, menyepakati revisi peraturan presiden sampah jadi sumber energi dan pengolahan sampah secara open dumping dilarang.
Made Sudarma, doktor Ilmu Lingkungan Universitas Udayana mengingatkan, sudah sangat banyak regulasi pengelolaan sampah mulai dari regulasi pusat sampai daerah. Namun, minim penegakan hukum, pendanaan dan pembiayaan, misal, anggaran kurang dari 1%.
Menurut dia, alur sampah mulai dari sumber sampah, pengumpulan, penampungan sementara, pengangkutan, dan pemrosesan akhir. “Idealnya, selesai di sumber sampah. Namun volume sampah ke TPA masih tinggi. RDF juga tak berhasil misal di Klungkung memproduksi palet dibawa ke Jawa Timur namun tidak sesuai dengan biaya,” katanya.
Catur Yudha Hariani, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali menyebut, kebijakan baru itu baik, tetapi harus pertegas dengan tanggung jawab perusahaan dalam mengelola sampah, seperti perusahaan air kemasan, produsen makanan, minuman kemasan dan sachet, dan lain-lain.
Dia berharap, kebijakan tak hanya fokus pada larangan air kemasan di bawah satu liter juga mendorong perubahan mendasar seperti pemilahan sampah dari sumber dan pengolahan limbah organik yang mendorong gas metana kalau menumpuk di TPA.
Rahyang Nusantara dari Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) merespon positif penerbitan SE ini. Hal ini upaya konkret mengurangi timbulan sampah plastik yang menjadi masalah serius di Indonesia.
Dia merujuk data sampah plastik yang menyumbang sekitar 19,64% dari total timbulan sampah nasional pada 2024, naik 15,88% pada 2019 (SIPSN). Air minum dalam kemasan plastik sekali pakai, terutama berukuran kecil, menjadi salah satu kontributor utama sampah plastik yang sulit terurai.
“Meskipun klaimnya bisa didaur ulang, permasalahan dalam pengumpulan dari rumah tangga dan kawasan komersil tetap menjadi persoalan yang belum tuntas hingga saat ini,” katanya.
Namun, implementasi kebijakan ini perlu bertahap dan inklusif. Pemerintah, katanya, perlu memberi masa transisi bagi pelaku usaha, khusus UMKM dalam menyesuaikan operasional mereka.
Selain itu, perlu ada dukungan edukasi dan insentif dalam mendorong penggunaan kemasan ramah lingkungan. “Saya rasa di Bali contoh horeka (hotel, restoran, kafe) yang menyediakan air minum (setidaknya air mineral) dalam botol kaca dan botol guna ulang lainnya sudah banyak dan perlu diperbanyak serta jadikan norma standar dalam pelayanan penyediaan minuman untuk jenis apapun.”
Kebijakan ini juga dia nilai sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Aturan itu menargetkan pengurangan sampah oleh produsen hingga 30% pada 2030. Sayangnya, tidak ada informasi jelas dari pemerintah dan produsen soal informasi capaian soal target ini.
GIDKP pada 2022 mempublikasikan hasil risetnya untuk mengevaluasi apakah regulasi pengurangan sampah plastik di beberapa kota berhasil menurunkan pemakaiannya. Riset berlangsung di kota dan provinsi yang memiliki regulasi sejenis seperti Jakarta, Bali, Kota Cimahi, Bogor, dan Kota Bandung.
Secara umum ada penurunan, misal, di Bali disebut ada penurunan penggunaan kresek 51%, styrofoam 77%, dan sedotan plastik 65%. Riset ini dengan metode survei dan diskusi terpumpun.
*****