Serangga, Macrography, dan Kesehatan Lingkungan Kota Palembang

1 month ago 252
  • Meski berukuran kecil, serangga memiliki dampak besar dalam menjaga kesehatan ekosistem. Mereka bisa dijadikan bioindikator kesehatan lingkungan.
  • Lebah dan kupu-kupu misalnya, membantu bunga menghasilkan buah dengan membawa serbuk sari. Semut mengurai daun-daun kering menjadi tanah yang subur.
  • Hilangnya lanskap rawa serta ruang terbuka hijau [RTH] yang belum mencapai target nasional, sejalan dengan berkurangnya keanekaragaman serangga di Kota Palembang.
  • Penyediaan habitat serta pemenuhan RTH yang cukup, penting untuk menjamin kehidupan serangga dan manusia, khususnya di Kota Palembang.

Serangga memiliki peran penting dalam membangun dan menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Lebah dan kupu-kupu misalnya, membantu bunga menghasilkan buah dengan membawa serbuk sari. Semut mengurai daun-daun kering menjadi tanah yang subur.

“Tidak akan ada kehidupan yang sehat tanpa serangga. Mereka mungkin kecil, tetapi punya dampak besar bagi kehidupan kita. Dunia mereka indah, unik, dan sangat menarik untuk diselami,” kata Hellina Arifin, dari komunitas Macrography Palembang, Rabu [18/12/2024].

Komunitas ini aktif sejak 2012. Kata “macro” menegaskan mereka fokus pada hal-hal kecil sebagai subjek foto. Serangga merupakan bidikan favorit mereka.

“Memotret serangga bukan hal mudah, kita harus paham habitat, karakter dan timing [waktu] yang tepat. Misalnya, untuk mendapatkan foto serangga, kita harus siap bangun pagi, karena setelah pukul delapan, umumnya serangga lebih aktif sehingga sulit untuk dijepret,” lanjutnya.

Baca: Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga

Kepik emas atau kumbang kura-kura emas [Charidotella sexpunctata] umum ditemukan di pesawahan, kebun dan pinggiran hutan. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Sebagai kota yang dibangun di lahan basah pada 1919, luas rawa di Palembang mencapai 80 persen. Namun pada 2010, luasannya hanya 25 persen [Sagala dan kolega, 2013]. Data terakhir menunjukkan, luas rawanya sekitar 5.834 hektar pada 2014, atau sekitar 15 persen dari luas total Kota Palembang, Sumatera Selatan.

“Sekitar 10 tahun terakhir, ada sejumlah serangga yang hilang atau mulai sulit kami foto. Terutama, jenis capung antena, kupu-kupu, dan lebah,” terang Helliana yang telah bergelut dengan dunia makro, lebih dari satu dekade.

Chairul Bahri, pegiat lingkungan dan anggota Macrography Palembang mengatakan, setiap hari Minggu, mereka hunting bersama di sejumlah lokasi Kota Palembang.

“Dari hasil observasi kami, hanya sedikit lanskap di Kota Palembang yang memiliki tingkat keberagaman serangga yang tinggi. Wilayah Jakabaring dan Gandus adalah lokasi favorit kami. Ini menunjukkan, kesehatan lingkungan Kota Palembang sedang tidak baik-baik saja,” jelasnya.

Baca: Kepik Emas, Kumbang Imut Indah Nan Mempesona

Lebah, polinator atau penyerbuk alami yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di Kota Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Rumah Serangga

Dalam penelitian Novin Teristiandi [2020] di Jurnal Biologi Tropis, dijelaskan bahwa sekitar 75 persen dari jumlah satwa yang telah diketahui manusia, adalah serangga.

“Dalam data BAPPENAS [1993], Indonesia memiliki sekitar 250.000 jenis atau sekitar 15 persen dari jumlah jenis biota utama yang diketahui di Indonesia,” tulis penelitian tersebut.

Alih fungsi lahan rawa menjadi permukiman dan ruko, beriringan dengan berkurangnya keanekaragaman serangga di kawasan rawa di Jalan Soekarno Hatta Palembang [lokasi penelitian].

“Rawa alami memiliki keanekaragaman dan kelimpahan serangga tertinggi. Sementara, rawa yang telah dikonversi menjadi permukiman memiliki keanekaragaman dan kelimpahan terendah,” tulis Novin.

Baca: Menangkap Isyarat Kunang-kunang di Malam Hari

Megachilidae, spesies lebah soliter tersisa di Kota Palembang yang fotonya dipajang dalam Musi Fotografis Festival 2024. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Secara ekologis, alih fungsi rawa berpengaruh terhadap struktur, komposisi, dan fungsi rawa di Jalan Soekarno Hatta Palembang.

“Tutupan vegetasi semakin berkurang, fauna kehilangan habitat, terjadi kematian flora dan fauna, serta adanya perubahan cuaca dan mata air. Lebih jauh, kerusakan rawa berdampak pada rusaknya lingkungan biotik dan abiotik yang sangat mempengaruhi fungsi kawasan serta kehidupan serangga.”

Total serangga yang ditemukan dalam penelitian tersebut mencapai 109 spesies, 56 famili dan 10 ordo. Semua spesies terbagi di stasiun 1 [rawa alami] sebanyak 77 spesies, stasiun 2 [rawa yang telah ditimbun] sekitar 53 spesies, stasiun 3 [rawa yang telah dijadikan permukiman] sebanyak 50 spesies, dan stasiun 4 [rawa yang telah dibangun ruko] ada 57 spesies serangga.

Ordo Serangga yang memiliki keanekaragaman tinggi adalah Coleoptera [kumbang], Diptera [lalat], Hemiptera [kepik] dan Hymenoptera [semut, lebah, tawon, lalat gergaji].

Sementara kelimpahan serangga dan keanekaragaman spesies tertinggi ada pada ordo Hymenoptera [kepik]. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fakta bahwa beberapa organisme lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan, namun terdapat organisme yang lebih toleran terhadap perubahan lingkungan.

“Perbedaan kemampuan survive dalam merespon perubahan faktor lingkungan inilah yang menjadi penyebab adanya spesies yang mendominasi ekosistem,” lanjutnya.

Baca juga: Bagaimana Serangga Membantu Investigasi Kasus Kriminal?

Kota Palembang, sebuah kota yang dibangun di lahan basah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Habitat Serangga

Menurut Chairul, minimnya keanekaragaman serangga di Kota Palembang berkaitan dengan berkurangnya habitat serta sumber makanan.

“Ada beberapa serangga yang memakan atau memerlukan jenis-jenis tumbuhan spesifik untuk makan, bereproduksi, dan sebagainya. Dan kami melihat kondisi ini yang kurang di Kota Palembang, yaitu hutan serta ruang terbuka hijau,” katanya.

Mengutip IDN Times Sumsel, ruang terbuka hijau [RTH] di Kota Palembang belum mencapai target nasional, atau 30 persen dari luas wilayah kota. Saat ini, RTH di Palembang baru 12 persen.

“Perhitungan terakhir, 12 persen [RTH] dari total luas Palembang 352 kilometer persegi [35.251 hektar],” ujar Sub Koordinator Perumahan dan Permukiman dan Lingkungan Hidup Bapeda Palembang, Andrei Prima, Kamis [10/10/2024], dikutip dari IDN Times Sumsel.

Mewakili komunitas Macrography Palembang, Chairul berharap, Pemerintah Kota Palembang dapat menyediakan habitat, atau minimal RTH yang cukup.

“Serangga merupakan bioindikator kesehatan lingkungan. Penyediaan habitat dan RTH tidak hanya penting bagi serangga, tetapi juga masa depan manusia,” tegasnya.

Referensi:

Sagala, S., Yamin, D., Lutfiana, D., & Wimbardana, R. (2013). Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.2763.1206

Teristiandi, N. (2020). Komparasi Kelimpahan Sserangga di Kawasan Rawa yang Dikonversi di Jalan Soekarno Hatta Palembang. Jurnal Biologi Tropis, 20(1), 22–28. https://doi.org/10.29303/jbt.v20i1.1557

Inilah Lima Spesies Baru Landak Berbulu Lembut dari Asia Tenggara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|