Catatan Akhir Tahun: Korupsi Timah dan Momentum Masyarakat Bangka Belitung Meninggalkan Ekonomi Ekstraktif

1 month ago 85
  • Sejak ratusan tahun aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung berlangsung, masyarakat hanya menerima ampas, dari kegiatan yang sesungguhnya memberikan keuntungan berlipat kepada para elit.
  • Per 12 Desember 2024, sebanyak 17 terdakwa kasus korupsi timah telah disidangkan, namun uang pengganti masih jauh dari angka kerugian negara dan lingkungan yang dihasilkan, yakni Rp300 triliun. Ini belum termasuk dampak kerusakan di laut.
  • Terungkapnya kasus korupsi timah di Kepulauan Bangka Belitung, bisa menjadi titik balik atau momentum bagi masyarakat untuk mulai meninggalkan ketergantungan mereka pada industri timah/ekstraktif dan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan.
  • Upaya ini harus didukung pemerintah [political will] daerah hingga pusat dalam penguatan ekonomi diluar timah di Kepulauan Bangka Belitung.

Apa yang dihasilkan dari ratusan tahun geliat ekonomi timah di Kepulauan Bangka Belitung? Dalam buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila” yang ditulis Ibrahim tahun 2013 lalu, sepanjang proses eksploitasi timah, disebutkan bahwa:

“Masyarakat lokal cenderung hanya menerima ampas dari penambangan timah yang sebenarnya hanya memberikan keuntungan berlipat kepada para elit.”

Ibrahim yang saat ini Guru Besar Ilmu Politik sekaligus Rektor Universitas Bangka Belitung melanjutkan, bahwa masyarakat yang berada di garda depan hanya menikmati sedikit imbas dari proses eksploitasi tersebut.

“Padahal bahaya tinggalan berupa kerusakan lingkungan dan dekadensi moral yang diakibatkan oleh pelacuran, perjudian, miras dan kriminalitas yang mengiringi penambangan, tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat,” tulisnya.

Jika membayangkan dampak sosial budaya dan lingkungan ekonomi timah, sepertinya angka kerugian Rp300 triliun hasil korupsi timah yang baru terungkap dua tahun belakangan, belumlah seberapa.

Menurut Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, selama ini ekonomi timah terus meninggalkan luka mendalam bagi lingkungan dan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Sejak munculnya industri timah awal abad ke-18 [revolusi industri], timah telah banyak  mengubah kondisi lingkungan, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat.

“Proses ekstraktif industri timah merusak ekosistem laut dan daratan Bangka Belitung, menjerumuskan masyarakat [nelayan dan petani] ke dalam pusaran ekonomi timah yang tamak. Para koruptor beserta negara harus bertanggung jawab akan itu,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [14/12/2024].

Dikutip dari detik.com, ditetapkannya Supianto selaku Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Bangka Belitung, menambah jumlah tersangka kasus korupsi timah menjadi 23 orang.

Per 12 Desember 2024, dikutip dari kompas.id, sebanyak 17 terdakwa di antaranya telah disidangkan, namun total uang pengganti sementara ini hanya sekitar 13,6 triliun, atau hanya 4,5 persen dari kerugian korupsi tersebut yang mencapai Rp300 triliun [Rp271 triliun untuk kerugian lingkungan dan Rp29 triliun kerugian negara].

“Pengenaan terhadap uang pengganti itu prinsipnya kalau pelaku dibuktikan berapa uang yang dinikmati oleh mereka,” kata Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, dikutip dari kompas.id.

Baca: Tersangka Kasus Korupsi Timah Telah Ditetapkan, Bentang Alam Bangka Belitung Harus Dipulihkan

Lahan bekas tambang di Pulau Bangka yang belum perbaiki. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Menurut Hafiz, uang pengganti dari para terdakwa korupsi harusnya menyentuh angka kerugian yang sudah ditetapkan.

“Kerugian yang dimaksud di sini, seharusnya tidak hanya mencakup uang yang dinikmati atau aliran uang, tetapi termasuk dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut,” katanya.

Selain itu, angka kerugian tersebut, dianggap masih tidak sesuai oleh Walhi Kepulauan Bangka Belitung. Pertama, karena hitungan ini hanya berdasarkan rentang 2015-2022, padahal aktivitas penambangan timah sudah berlangsung jauh sebelum itu.

Kedua, kerugian ini hanya mencakup kerusakan lingkungan di daratan. Padahal, sejak awal 2000-an, aktivitas penambangan timah sudah bergeliat di wilayah laut dan menimbulkan kerusakan yang mungkin lebih besar.

Kerusakan di laut, termasuk hilangnya sekitar 64.514 hektar terumbu karang dalam kurun waktu dua tahun [2015-2017], hilangnya sekitar 32.000 hektar padang lamun [2016-2023], serta tergerusnya sekitar 230.000 hektar ekosistem mangrove [2017-2022].

“Rakyat berhak atas pemulihan lingkungan di darat maupun laut. Ini menjadi konsekuensi bagi para pelaku korupsi timah, dan bukti lemahnya pengawasan negara dalam tata kelola timah di Kepulauan Bangka Belitung,” paparnya.

Baca: Masyarakat Adat Kepulauan Bangka Belitung: Timah Itu “Barang Panas”

Aktivitas penambangan timah hanya menyisakan kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Foto drone: Muhammad Rizqi Ramadhan/Mongabay Indonesia

Mencari Alternatif Ekonomi

Kepala Dinas Tenaga Kerja [Kadisnaker] Bangka Blitung, Elius Gani mengungkapkan, sejumlah perusahaan sawit yang kepemilikannya terkait pemilik timah, ditutup dan rekeningnya diblokir.

“Kalau dibandingkan tahun lalu ada 38 pekerja yang di-PHK, saat ini 1.527 orang kena PHK. Adanya perusahaan smelter yang tutup sebagai akibat dari penertiban tata kelola timah,” katanya, dikutip dari Investor.id.

Menurut Dr. Fitri Ramdhani, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, kasus korupsi dalam industri pertambangan timah di Indonesia dapat memberikan dampak besar terhadap ekonomi masyarakat lokal. Namun, masyarakat juga ternyata menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi dalam menghadapi perubahan ini.

Berdasarkan teori ekologi manusia [Human Ecology] Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, ketergantungan masyarakat pada sektor timah sebagai sumber penghidupan utama, sering menggiring mereka berbuat kerusakan lingkungan dan berlaku tidak adil dalam pembagian hasil pertambangan yang disebabkan praktik korupsi.

“Korupsi dalam industri ini mengarah pada eksploitasi berlebihan, rusaknya lingkungan, dan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi, sehingga keuntungan yang dihasilkan lebih banyak dinikmati pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi daripada masyarakat lokal,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [15/12/2024].

Pernyataan Fitri senada dengan hasil survei buku Ibrahim dan kolega yang menyatakan bahwa sebanyak 63 persen dari total responden di wilayah Bangka, menyatakan sangat setuju jika aktivitas timah banyak menguntungkan pihak luar, ketimbang masyarakat secara langsung.

Persentase ini cukup tinggi bila dibandingkan persentase responden di wilayah Belitung yang hanya 44 persen.

“Ini artinya, dominasi masyarakat percaya bahwa kegiatan penambangan masih belum memberikan kontribusi bagi masyarakat Bangka Belitung,” tulis buku berjudul “Ekonomi Politik Sumber Daya Timah [Kronik Bangka Belitung].

Baca: Timah dan Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II

Aktivitas penambanagn timah di laut juga meningkatkan kekeruhan air yang dapat membahayakan biota laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Dilanjutkan Fitri, meskipun sektor pertambangan memberikan lapangan kerja, namun banyak masyarakat lokal yang beralih ke alternatif lain, seperti berkebun atau bertani lada.

“Ini merupakan bentuk atau upaya bertahan hidup, yang mencerminkan resiliensi sosial-ekologis mereka dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan ekonomi,” katanya.

Fitiri percaya, masyarakat mencari jalan keluar dengan beralih ke ekonomi berbasis sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, seperti pertanian atau industri lokal.

“Korupsi dalam sektor pertambangan timah bisa menjadi titik balik atau momentum bagi masyarakat untuk mulai meninggalkan ketergantungan mereka pada industri timah dan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan,” lanjutnya.

Dan ini ditegaskan melalui teori resiliensi sosial-ekologis [Social and Ecological Resilience Theory] Brian Walker dan David Salt, ketika kita dapat memahami bagaimana masyarakat, meskipun mengalami guncangan ekonomi, mampu beradaptasi dan menemukan alternatif ekonomi lainnya.

Proses ini, jika didukung kebijakan yang berpihak pada ekonomi berkelanjutan, dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk beralih dari ketergantungan pada timah ke sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan dan adil secara sosial.

“Dengan demikian, meskipun dampak korupsi dalam industri timah merugikan dalam jangka pendek, hal ini juga membuka peluang untuk transformasi ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi masyarakat lokal,” tegas Fitri.

Baca: Riset: Padang Lamun Dekat Penambangan Timah di Bangka Belitung Mengalami Kerusakan

Pondok kebun sekitar Dusun Lintang, Kabupaten Belitung Timur. Sebagian masyarakat yang menambang kembali ke kebunnya pasca-kasus korupsi timah terungkap. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Kembali Berkebun dan Melaut

Bandi, penambang timah di Desa Cambai, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah mengatakan, sebagian besar rekan penambang yang ia kenal saat ini banyak kembali berkebun lada, menanam sayuran, hingga melakukan budidaya ikan.

“Korupsi timah semakian menguatkan kalau selama ini kami [para penambang] cuma memperkaya bos-bos tambang. Lebih baik kembali ke kebun,” katanya, kepada Mongabay, Senin [16/12/2024].

Situasi serupa terjadi pada masyarakat pesisir Matras, Sungailiat, Kabupaten Bangka, yang selama ini menjadi target aktivitas penambangan timah. Cecep, warga di Kelurahan Matras mengatakan, kesejahteraan yang ditawarkan pihak penambang, tidak semanis yang dibayangkan.

“Dulu, memang banyak orang Matras yang ikut menambang timah di laut. Tetapi lima tahun terakhir, sudah mulai kembali mencari ikan. Banyak dari kami baru sadar kalau yang untung itu perusahaan,” katanya.

Sejak lama, para penambang timah di Bangka Belitung tidak hanya berasal dari masyarakat lokal, tetapi juga dari masyarakat sekitar pesisir timur Sumatera Selatan. Abang Mia [38], eks penambang timah dari Desa Jadi Mulya, Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, mengatakan pasca-kasus korupsi terungkap, ia lebih memilih untuk merawat sawah di kampung halaman.

“Menambang timah itu susah, banyak risiko. Apalagi sekarang para koruptor timah sudah tertangkap, menambang bukan lagi jadi primadona, banyak penambang dari seberang [Sumatera Selatan] memilih pulang dan berkebun,” katanya, pertengahan September 2024 lalu.

Potensi perikanan di Bangka Belitung harus dikuatkan guna mendukung transformasi ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Kasus korupsi timah di Bangka Belitung mulai terungkap sejak Oktober 2023. Ini beriringan dengan meningkatnya jumlah petani di di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mencapai 151 ribu orang, atau 10 persen dari jumlah penduduk [sekitar 1,5 juta jiwa].

“Hasil sensus pertanian 1 Juni -31 Juli kemarin menunjukkan jumlah petani di Bangka Belitung yang sebelumnya 80 ribu, sekarang menjadi 151 ribu petani dari jumlah penduduk 1,5 juta jiwa,” kata Edi Romdhoni, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Provinsi [DPKP] Kepulauan Bangka Belitung, dikutip dari rri.co.id.

Sementara jumlah nelayan, tercatat mengalami peningkatan, yaitu tahun 2022 berjumlah 37.416 orang menjadi 40.076 nelayan pada 2023.

Hafiz melanjutkan, terungkapnya kasus korupsi timah di Bangka Belitung bisa menjadi momentum masyarakat untuk meninggalkan ekonomi ekstraktif.

“Ini juga harus didukung keinginan pemerintah [political will] daerah hingga pusat dalam mendukung berbagai alternatif dan potensi ekonomi selain timah di Bangka Belitung. Mulai dari perikanan, kebun rakyat, dan lainnya,” paparnya.

Perempuan pencari ikan di sekitar Tebat Rasau, Belitung. Masyarakat mulai kembali berkebun dan menangkap ikan, mengutamakan ekonomi berkelanjutan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Sebagai informasi, berdasarkan data kompilasi Walhi Kepulauan Bangka Belitung, sepanjang 2021-2024, ada 31 orang meninggal akibat kecelakaan tambang dan 22 orang luka-luka.

Ribuan kolong yang belum direklamasi juga memakan korban. Sepanjang 2021-2024, tercatat 23 kasus tenggelam di kolong. Dari 17 korban yang meninggal dunia, 14 orang merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.

Hingga saat ini, di Kepulauan Bangka Belitung, ada ribuan kolong yang belum direklamasi. Tercatat pada 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 12.607 kolong dengan total luasan 15.579,747 hektar.

Di sisi lain, berdasarkan penelitian Ibrahim dkk. dalam buku Ekonomi Politik Sumber Daya Timah [Kronik Bangka Belitung], di wilayah Bangka, jumlah responden yang sangat setuju dan mendukung jika pemerintah tegas melarang tambang timah di masyarakat sebanyak 41 persen dari total responden. Persentase tersebut terbilang besar bila dibandingkan wilayah Belitung yang hanya 34 persen.

“Jika struktur ruang di Kepulauan Bangka Belitung masih didominasi sektor pertambangan, maka peluang korupsi sumber daya alam kian terbuka. Tidak hanya itu, eksploitasi tambang timah akan memperluas kerusakan lingkungan, menambah korban jiwa, serta mempertajam konflik horizontal antar-masyarakat,” tegas Hafiz.­­

Referensi:

Ibrahim, I. (2019, July 27). Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi Pancasila. https://doi.org/10.31227/osf.io/e3d2z

Ibrahim, M. S., Dwi Haryadi, S. H., & Nanang Wahyudin, S. E. (2018). Ekonomi politik sumber daya timah (Kronik Bangka Belitung). https://fh.ubb.ac.id/img_ubb/file1/Buku/Buku%20Ekonomi%20Politik.pdf

Kasus Korupsi Timah, Pegiat Lingkungan: Pemerintahan Jokowi Gagal Wujudkan Tata Kelola Pertambangan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|