Benahi Tata Kelola Laut yang Berpihak Nelayan Kecil

3 days ago 14
  • Pemerintah perlu mendorong tata kelola laut yang lebih inklusif, terutama pada nelayan kecil dan tradisional. Tanpa itu, mimpi untuk menggapai kesejahteraan bagi mereka bakal sulit terwujud. Alih-alih, berbagai persoalan bahkan terus bermunculan
  • Gridanya Mega Laidha, Program Manager Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan, sebagai negara dengan wilayah laut terluas, sektor ini menghadapi banyak persoalan. Seperti pencemaran, degradasi ekosistem, pengusiran (dispossession), pemindahan (displacement), hingga perampasan ruang laut (ocean grabbing).
  • Salah satu harapan yang bisa menghapus semua persoalan tersebut, adalah dengan menegakkan keadilan biru yang diyakini akan bisa memperbaiki dan merapikan tata kelola laut yang banyak dinilai masih amburadul
  • Keadilan biru menjadi bagian dari proses penerapan hak asasi manusia (HAM) dan tanggung jawab sosial yang diharapkan bisa menjadi jawaban atas banyaknya persoalan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dihadapi nelayan skala kecil dan tradisional.

Pemerintah perlu mendorong pembenahan tata kelola laut yang lebih inklusif, terutama pada nelayan kecil dan tradisional. Tanpa itu, mimpi untuk menggapai kesejahteraan bagi mereka bakal sulit terwujud. Alih-alih masalah selesai, yang ada berbagai persoalan bisa  terus bermunculan. 

Gridanya Mega Laidha, Program Manager Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan, sebagai negara dengan wilayah laut terluas, sektor ini menghadapi banyak persoalan, seperti pencemaran, degradasi ekosistem, pengusiran (dispossession), pemindahan (displacement), hingga perampasan ruang laut (ocean grabbing).

Persoalan lain,  distribusi manfaat belum merata, terutama kepada kelompok marginal dan perempuan. “Ini semakin menegaskan bahwa keadilan biru belum benar-benar menjadi perspektif dalam melakukan pembangunan sektor kelautan dan pulau-pulau kecil,” katanya.

Koordinasi antar sektor dan wilayah, serta minimnya akuntabilitas memperparah situasi itu. Kendati nelayan kecil sering disebut dalam retorika manajemen perikanan, kenyataan mereka jarang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. 

Begitu juga dengan nelayan perempuan. “Perempuan nelayan juga kerap mengalami diskriminasi sistemik, dari tingkat global hingga komunitas, yang menyebabkan mereka menanggung beban yang tidak proporsional,” katanya.

Partisipasi masyarakat, katanya,  akan memperkuat penerimaan kebijakan dan keberhasilan jangka panjang inisiatif kelautan. Juga, tak boleh terlupakan kalau penyusunan dan implementasi kebijakan harus mengintegrasikan keadilan rekognisional, prosedural, dan distribusional.

Dampak krisis iklim dan ketidaksetaraan juga masih jadi persoalan yang belum teratasi sampai sekarang. Menurut Mega, krisis iklim saat ini menambah beban nelayan kecil dalam mengakses manfaat dari sumber daya laut. 

“Mendorong tata kelola laut yang lebih inklusi dan adil menjadi elemen kunci keberhasilan membangun sektor ini. Sebaliknya, mengabaikan suara masyarakat lokal atau pelaku sumber daya bisa memicu resistensi terhadap inisiatif seperti kawasan konservasi laut, karbon biru, atau ekonomi biru berkelanjutan.” 

Seorang nelayan tradisional memeriksa alat tangkapnya di muara sungai di Rembang, Jawa Tengah. Foto: Asad Asnawi/Mongabay Indonesia.

Isu strategis

Keadilan ekonomi biru menjadi harapan untuk menjadi solusi dalam memecahkan persoalan ketidakadilan dalam tata kelola laut. Menurut Mega, upaya itu bisa terwujud dengan memperhatikan sejumlah hal antara lain, pertama, ada pengakuan (recognition) terhadap nelayan kecil,  perempuan, dan masyarakat adat.

Kedua,  sesuai prosedur (prosedural) yang merujuk pada bebas, sebelumnya, berdasarkan informasi, dan persetujuan.

Ketiga, akses informasi (utuh, mutakhir, cepat, transparan, dan mudah),  forum partisipasi publik yang transparan, inklusif, dan partisipatif; akses terhadap keadilan yang merujuk pada Anti-SLAPP (anti strategic lawsuit against public participation) dan mekanisme pengaduan serta mekanisme partisipasi publik.

Keempat,  pendistribusian yang merujuk pada akses pasar dan sarana prasarana, jaminan sosial (asuransi nelayan), kepastian usaha (harga ikan dan pembiayaan usaha), dan pengembangan usaha berbasis masyarakat. Terkait perubahan iklim dan pertumbuhan biru perlu menyeimbangkan prioritas lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Gayatri Reksodiharjo, Direktur Eksekutif Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI) menjelaskan, persoalan paling jamak nelayan kecil hadapi adalah  minim akses informasi dan teknologi, kesehatan, keselamatan, hingga institusi keuangan. Isu kepatuhan kelengkapan kapal, rantai pasok, serta keberlanjutan juga termasuk. 

LINI pun mendorong para nelayan menyelesaikan problem administrasi dengan membuat kartu Kusuka dan buku kapal perikanan elektronik (e-BKP).  Dia juga mendorong pembentukan kelompok nelayan,  pembentukan kelompok perempuan,  memfasilitasi pembentukan dan penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), hingga penetapan buka tutup wilayah tangkap. 

 Perlu juga, katanya, pelatihan safety at sea untuk perlindungan nelayan ketika di laut,  pelatihan safety diving,  pelatihan cara penangkapan yang tidak merusak dan pembuatan alat tangkap; dan pelatihan pasca penangkapan.

Faridz Fachri, Sustainable Fisheries Coordinator Yayasan Pesisir Lestari (YPL) menjelaskan soal program perbaikan perikanan gurita di Sulawesi. Upaya ini, katanya,  mampu memberi dampak positif pada nelayan.

Melalui kuesioner dan wawancara mendalam, didapat kesimpulan kalau mayoritas nelayan memahami hak dasar mereka, seperti kebebasan berserikat dan keterlibatan dalam penjualan hasil tangkapan.

Namun demikian, masih terdapat kesenjangan dalam pemahaman aspek penting lain. Misal, perihal mekanisme pengaduan, pendaftaran kapal, serta akses terhadap asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan.

“Penguatan kerjasama antara kelompok nelayan dan pemerintah menjadi kunci untuk mendukung perlindungan dan pemberdayaan nelayan,” kata Fachri.

Lili Widodo, Kepala Tim Kerja Perlindungan Nelayan pada Direktorat Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim pemerintah terus berupaya meningkatkan jaminan sosial dan perlindungan nelayan skala kecil melalui sejumlah program dan kebijakan ekonomi biru untuk Indonesia Emas 2045. 

Sejumlah program itu adalah perlindungan laut dan sumber daya melalui perluasan kawasan konservasi laut,  mengurangi tekanan dan aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan melalui penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota. Juga  pengembangan perikanan budidaya laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan.

Program terakhir,  menjaga kelestarian wilayah laut melalui pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan. 

Isu lainnya,  berbagai tantangan seperti risiko pekerjaan tinggi, akses terbatas ke program pemerintah, dan minimnya perlindungan sosial. Padahal,   nelayan skala kecil berperan strategis dalam mendukung kedaulatan  pangan dan ekonomi.

Isu lain, katanya,  terbatasnya akses teknologi dan pasar membatasi produktivitas serta pendapatan, maupun  persaingan dengan kapal besar seringkali merugikan nelayan kecil dalam mengakses sumber daya laut.

“Pentingnya kebijakan jaminan sosial untuk mendukung kesejahteraan dan keberlanjutan sub sektor perikanan.” 

Dua buruh angkut memikul hasil tangkapan ikan tuna di Pelabuhan tradisional di Kedonganan, Badung, Bali. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Adjie Dharmastya, Fair Trade Officer Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menyebut, salah satu upaya untuk menerapkan human rights and social responsibility (HRSR) perikanan adalah melalui penerapan fair trade. Itu adalah skema sertifikasi yang bertujuan untuk mendorong praktik penangkapan berkelanjutan. 

Saat fair trade diterapkan, ada standar-standar yang harus dijalankan dan dipenuhi oleh pelaksana. Di antaranya, adalah pemberdayaan; hak dasar di tempat kerja; perjanjian kerja; keselamatan pekerja; jam kerja; ketertelusuran; dan sistem manajemen internal.

Dalam proses implementasi fair trade, MDPI memfasilitasi beberapa pemangku kepentingan untuk melaksanakan proses pendampingan, di antaranya adalah kelompok/komite nelayan, pemasok/pengepul lokal, dan pabrik pemrosesan.

Selain itu, MDPI juga mendorong nelayan dalam memahami hak-haknya saat menjalani proses pendampingan. Itu mencakup hak bersuara, pendampingan, permudah materi, pemanfaatan premium, dan memfasilitasi nelayan. “MDPI juga berperan sebagai audit dalam proses implementasi standar fair trade untuk proses sertifikasi, rencana perbaikan, dan kolaborasi,” pungkasnya.

*****

Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|