Nasib Warga di Sekitar Pembangkit Panas Bumi Gunung Salak

3 days ago 16
  • Pembangkit listrik panas bumi Gunung Salak berdiri megah kontras dengan kondisi kehidupan masyarakat sekitar yang berada dalam kesulitan.
  • Data Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), PLTP dengan pengelola Star Energy ini masuk dua terbesar di dunia terapit tiga wilayah yakni Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Lebak.
  • Masyarakat desa sekitar minim merasakan manfaat dari kehadiran mega proyek ini. Dana-dana yang seharusnya jadi angin segar bagi masyarakat daerah penghasil energi panas bumi ini, mengalir ke tempat-tempat yang tak menyentuh kehidupan mereka.
  • Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, sudah jadi kewajiban perusahaan di daerah penghasil ikut mensejahterakan masyarakat sekitar terutama di area “Ring 1.”

Angin dingin berembus menyusup ke celah dinding rumah dari rotan sebagai pelindung bagi Odang dan keluarganya. Di dalam pondoknya di sudut Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, lelaki 52 tahun ini duduk termenung.

Rumahnya hanya berjarak delapan kilometer dari pembangkit listrik panas bumi di Gunung Salak ini. Infrastruktur energi dengan pengelola PT Star Energy ini berdiri megah di tengah kehidupan Odang dan warga lain berada dalam bayang-bayang kesulitan hidup.

“Kadang-kadang saya suka sedih, nangis dalam hati saya. Kenapa mau makan saja harus mencari belas kasih dulu,” kata Odang, lirih.

Dengan lima anak dan penghasilan tak lebih Rp1 juta per bulan sebagai pekerja di sebuah penginapan, dia harus berpikir keras agar keluarga bisa bertahan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi sering kali, Odang dan keluarganya harus berpuasa, menahan lapar karena keadaan memaksa.

Dua dari anaknya yang masih bersekolah pun harus merasakan pahit ketidakadilan. “Kadang-kadang dalam satu minggu, sekolah cuma dua atau tiga hari. Sisanya di rumah saja, karena nggak ada bekalnya,” katanya tertunduk.

Bekal anak-anak, Rp10.000 untuk yang SMP, Rp5.000 yang di SD, mungkin kecil bagi sebagian orang, tetapi begitu berat bagi Odang.

Kisah serupa di rumah sebelahnya.  Nanang bersama istri dan tiga anak, berjuang tanpa pekerjaan tetap. “Kerja serabutan, kalau ada yang nyuruh aja. Cukup nggak cukup, ya cukup-cukupin aja,” katanya.

Kalau tidak ada yang memanggil bekerja, tak ada penghasilan. Kalau tak ada penghasilan, harapan untuk makan sehari-hari pun makin menipis.

Bantuan pemerintah memang datang, tetapi jumlah tak seberapa. “Setiap bulan Rp200.000, kadang Rp100.000.”

Nanang hanya punya satu harapan, memiliki pekerjaan tetap, sesuatu yang mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, tetapi begitu berharga baginya.

Keluarga Nanang yang hidup di  sekitar pembangkit panas bumi Gunung Salak. Foto: Rangga Firmansyah

Minim manfaat ke masyarakat?

Masyarakat desa sekitar minim merasakan manfaat dari kehadiran mega proyek ini. Dana-dana yang seharusnya jadi angin segar bagi masyarakat daerah penghasil energi panas bumi ini, mengalir ke tempat-tempat yang tak menyentuh kehidupan mereka.

Kesenjangan sosial dan ekonomi makin nyata, sedang perusahaan dan pemerintah sibuk bertukar argumen tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua itu. , Masyarakat sekitar hanya jadi penonton menyaksikan pertandingan yang tak pernah mereka undang, tetapi dampaknya mereka rasakan begitu dalam.

Dari kejauhan, proyek panas bumi bernilai triliunan rupiah itu terus beroperasi. Gemerlap sinar menyinari wilayah sekitar, tetapi tidak bagi kehidupan warga.

Data Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), PLTP dengan pengelola Star Energy ini masuk dua terbesar di dunia terapit tiga wilayah yakni Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Lebak.

Di Sukabumi, Kabandungan, merupakan desa terdekat dengan proyek ini atau masuk Ring 1.

Bedi, Kades Kabandungan mengatakan, kewenangan desa dalam mengatur dan mengalokasikan dana-dana bantuan dari perusahaan seperti BP dan DBH sangat terbatas bahkan tidak dapat berkutik sama sekali.

“BP ini kalau yang saya lihat itu hari ini masuk ke [pemerintah] kabupaten dulu. Misalkan Rp1 miliar, hanya 50% masuk ke 13 desa di dua kecamatan ini. Nah, itu kita enggak semena-mena bisa menggunakan.”

Dalam surat keputusan bupati, katanya, sudah ada ketentuan. “Ini buat pemberdayaan, ini buat fisik, buat apa, dan lain-lain.”

Proyek Geothermal di Kawasan Gunung Salak yang dari foto udara. Foto:Rangga Firmansyah

Dia mengaku, cukup kesulitan dengan kucuran anggaran itu. “Teman-teman di lapangan, misal, desa saya nih 41 RT, enam kadus, 12 RW. Mereka juga ingin ada perubahan dengan penyerapan sumber anggaran itu.”

“Akhirnya,  proposal berlomba- lomba juga ke desa. Padahal,  kita juga sudah mengerjakan sumber anggaran itu sesuai SK yang dibakukan sama perbub.”

Bedi pun sempat mengajukan gagasan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sukabumi terkait dalam penggunaan BP.

”Makanya sempat saya sounding, coba program bisa nggak lebih ke pemberdayaan, yang memang terukur, teruji dan memang selalu dipantau sama kabupaten.”

Senada Dirja, Kepala Desa Kalapanunggal katakan. Dia berharap Pemerintah Sukabumi lebih adil dalam pembagian BP dan DBH perusahaan kepada pemerintah.

“Tolong dibaginya jangan merata dong dengan desa yang lain. Ini desa paling luas, desa yang paling banyak penduduk, terus ring satu, kok nilainya sama. Karna adil itu tidak harus sama.”

Ujang Ma’mun,  Ketua DPK Asosiasi Perangkat Desa, Kecamatan Kalapanunggal, Sukabumi, sekaligus Kepala Desa Palasari Girang, mengatakan, selama ini desa tidak pernah tahu menahu tentang perincian aliran dana BP pemerintah.

”Kita kan tidak pernah tahu detail, kita hanya terima informasi bahwa BP itu semisal Rp2 miliar di tahun ini, tapi kan kita tidak pernah tahu bukti transperan dari BP ke pemda itu bener gak Rp2 miliar?”

Berbeda dengan Dana Desa, misal, pagu Rp1 miliar akan disertai beberapa bukti. Ujang pun berharap, ada transparasi besaran bukti transferan dari perusahaan ke pemerintah daerah.

Kami berupaya mengkonfirmasi perusahaan tetapi belum dapat respon sampai berita ini rilis.

Odang dan keluarga hidup dalam kesulitan padahal dekat dengan PLTP. Foto: Rangga Firmansyah

Dana-dana ke mana?

Dalam penelusuran kami, dana-dana yang perusahaan geothermal gelontorkan ke pemerintah daerah (Pemerintah Sukabumi) tak sampai ke masyarakat. Dana-dana itu antara lain, dana bagi hasil (DBH), bonus produksi (BP), dan dana corporate social responsibility/ (CSR).

Dalam perjalanan penelusuran tim, kami menemukan selisih signifikan dalam realisasi DBH pada 2020 hingga 2023, dengan total Rp190,7 miliar. Alokasi BP ke desa-desa terdampak pada 2024 menunjukkan perbedaan angka sampai Rp1 miliar.

Data itu berdasarkan perbandingan antara realisasi BPKAD Sukabumi dengan data realisasi DBH Panas Bumi hasil audit laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat.

Perhitungan persentase DBH pertambangan panas bumi mengacu pada UU Nomor 33/2004 tentang Pertambangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Pada 22 Januari 2025, kami mendapatkan jawaban laporan hasil realisasi DBH periode 2020-2024 dari Kepala Dinas Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

Dari data itu terdapat selisih angka realisasi 2020, 2021, dan 2022. Pada 2020, realisasi penerimaan DBH selisih Rp20.475 miliar. Pada 2021, selisih Rp151,608 miliar dan 2022 terdapat selisih Rp18,619 miliar.  Pada 2023,  tidak ada angka selisih alias sama Rp60, 277 miliar.  Secara keseluruhan 2020-2023, selisih Rp190.70 miliar.

Bagaimana bisa ada selisih yang sangat signifikan dari dua data itu? Saat dihubungi 12 Februari 2025, Iman Rizkiana Sya’ban, Kasubid Pengelola Dana Transfer BPKAD Sukabumi, menyebut,  ada salah pencatatan dari mereka terkait selisih dari 2020 hingga 2023.

“Ya, mungkin salah pencatatan, jadi kita sebetulnya, jadi kita mah sekarang kendalinya koordinasinya dengan akutansi (akutansi BPKAD Kabupaten Sukabumi),” katanya.

Pada 2023, ada kebijakan baru dari Pusat, dana yang seharusnya masuk ke kas daerah, sempat Kementerian Keuangan tahan. “Jadi gini, 2023 itu ada dana TDF (treasury deposit facility), jadi yang seharusnya masuk ke kita khusus di DBH, tapi sama Kemenkeu di hold (tahan) dulu di BI (Bank Indonesia), kebijakannya seperti itu sekarang.”

Iman bilang, untuk memastikan sinkronisasi data dan laporan keuangan daerah, BPKAD akan mengacu pada sumber pencatatan data sistem informasi keuangan daerah yang Kementerian Keuangan, bikin.

Ketika kami tanyakan ulang ke Iman soal data itu, dia berikan revisi terbaru sampai 2024 dengan realisasi DBH panas bumi sudah sama dengan data BPK.

Untuk BP, tertuang pada Peraturan Pemerintah No.28/2016 tentang bonus produksi panas bumi. Ada juga Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33/2018 tentang Tata Cara Pemanfaatan Dana Bonus Produksi Panas Bumi kepada Pemerintah Desa.

Dana hasil produksi panas bumi kini resmi teralokasi untuk desa-desa terdampak dan program prioritas pembangunan daerah.

Peraturan ini menetapkan,  pemerintah daerah menerima bonus produksi dari pemegang izin dan pengusaha sumber daya panas bumi atas pendapatan kotor dari penjualan uap panas bumi dan, atau listrik yang pembangkit hasilkan. Dana ini diterima melalui rekening kas umum daerah (RKUD) sebelum teralokasi lebih lanjut.

Alokasi dana bonus produksi panas bumi ada dalam Pasal 4, 50% dana teralokasi untuk desa-desa dalam wilayah kecamatan paling dekat dengan proyek atau terdampak langsung.

Desa-desa penerima dana ini berada di Kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal. Sisanya, 50% untuk program prioritas pembangunan daerah yang sudah penetapan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Desa sekitar PLTP Gunung Salak. Foto: Rangga Firmasyah

Sedangkan, pendapatan bonus produksi Pemerintah Sukabumi dari sektor panas bumi sejak 2017-2024 tercatat Rp99,284 miliar.

Berdasarkan Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33/2018 menetapkan, penggunaan dana bonus produksi untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan desa serta pemberdayaan masyarakat desa.

Adapun prioritas alokasi untuk:

  • Infrastruktur desa
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Rumah tidak layak huni
  • Pemberdayaan ekonomi
  • Sarana keagamaan
  • Pembangunan kantor desa

Gunadi Ridwan, peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengatakan, selisih dalam laporan anggaran daerah merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Perbedaan angka ini sering kali muncul karena tahapan audit berbeda.

“Ya, sebenarnya selisih itu terkadang untuk audit itu satu hal yang lumrah. Kalau BPKD pasti akan menghitung berdasarkan realisasi yang kemudian mereka hitung berdasarkan updating gitu. Kalau sudah masuk ke BPK biasa itu laporan yang hasil final yang dikirim BPKD.”

Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, sudah jadi kewajiban perusahaan di daerah penghasil ikut mensejahterakan masyarakat sekitar terutama di area “Ring 1.”

Masyarakat sekitar,  katanya, bisa menuntut perusahaan dengan dampingan pemerintah daerah ketika ketimpangan sosial ekonomi terjadi bahkan meningkat.

“Apakah masyarakatnya bisa menuntut? Selalu bisa, selalu ada space (ruang) untuk masyarakatnya menuntut ketika ketidakadilan terjadi, ketika kesejahteraan dari sumber daya di sekitarnya tidak diterima masyarakat.”

Yang harus jadi pertanyaan, katanya, apakah ketimpangan terjadi karena kerusakan lingkungan dampak pembangkit geothermal, atau ketidakmahmuran terjadi karena masyarakat tak terima manfaat dari kehadiran pembangkit itu.

Warga Purwabakti, perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi sedang menjemur jas hujan plastik, dengan latar belakang PLTP Gunung Salak.Foto:Rangga Firmansyah

******

Tulisan ini merupakan fellowship dari AJI Indonesia.

 

Kala Proyek Panas Bumi Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat di Pulau Buru

 

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|