-
Anak-anak di Gunungkidul, Yogyakarta, alami gangguan tumbuh kembang (stunting) kemungkinan terpicu dari bakteri E-coli dan makin buruknya perubahan iklim. Beternak hewan dekat rumah diduga menjadi penyebab kontaminasi bakteri E. coli pada air sumur yang warga konsumsi.
-
Kontaminasi bakteri E. coli pada air minum dapat menghambat penyerapan nutrisi pada anak-anak, sehingga meningkatkan risiko stunting.
-
Meskipun program sanitasi dan higienitas di Gunungkidul diklaim mencapai 98 persen, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap air bersih yang aman dan tercukupi.
-
Pengelolaan kotoran ternak makin parah dengan dampak perubahan iklim seperti kekeringan dan curah hujan tinggi hingga meningkatkan risiko penyebaran bakteri E. coli.
Bayi dalam dekapan Narni, bukan nama sebenarnya, warga Gunungkidul, Yogyakarta, meronta. Berusaha lepas dari dekapan. Kaki mungilnya menendang-nendang.
Sejak umur tiga bulan, kaki mungil bayi umur 16 bulan itu sering dingin. Makan pun susah.
Dalam setahun, bungsu tiga bersaudara itu menjalani lima kali rawat inap di RSUD Gunungkidul. Dia menderita pneumonia, panas tinggi, kejang, dan diare.
“Mondok (opname) terakhir 12 hari,” kata Narni. Dokter bilang, ada bakteri masuk perut anaknya.
Suwarti, Kader Posyandu Kelurahan Grogol yang rutin menemui anak itu, mengatakan, sang anak mengalami stunting. Berat hanya 8 kg, lebih rendah dari ideal 9-10 kg untuk anak usia itu.
Menurut UNICEF, stunting adalah kondisi tubuh anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis atau berulang jadi pemicu, dan dapat merusak fisik serta kognitif perkembangan anak.
Selama ini, Narni dan suami memberi asuhan terbaik untuk tiga anak mereka. Makan teratur dan asupan gizi cukup. Hampir setiap hari memakan nasi, tahu, tempe, sayur bening, sup, minum air mineral galon kemasan bermerek.
Mereka berlima tinggal di rumah non permanen. Lantai dapur seluas 2×2 meter dari tanah. Halaman mungil, 3×4 meter, namun ada kandang berisi tiga kambing, berdekatan dengan kamar mandi sekaligus tempat membersihkan peralatan dapur. Air bersih mereka peroleh dari air sumur tetangga.
Apa yang menimpa buah hati Narni merupakan potret umum di Gunungkidul. Dinas Kesehatan (Dinkes) Yogyakarta mencatat, kenaikan prevalensi stunting 1,6%, dari 16,4% 2022, menjadi 18% pada 2023. Kenaikan prevalensi stunting menjadikan provinsi ini di peringkat 9 prevalensi stunting tertinggi tahun itu.
Di periode sama, terjadi perubahan cuaca ekstrem dari curah hujan tinggi ke kekeringan panjang dampak fenomena el nino. Gunungkidul krisis air bersih di beberapa daerah, produksi pertanian menurun, dan pangan mereka terancam.
Sejak 2018, Gunungkidul menempati urutan pertama prevalensi stunting tertinggi. Kabupaten ini terluas di Yogyakarta, hampir setengah luas provinsi.
Pertengahan 2024, laporan gunungkidul.sorot.co, Dinkes Gunungkidul mencatat Kapanewon Paliyan menempati urutan teratas angka stunting tertinggi, mencapai 250 balita, lalu Kapanewon Rongkop (212) dan Kapanewon Saptosari 208 balita.
Ismono, Kepala Dinkes Gunungkidul melalui keterangan tertulis kepada Mongabay, baru-baru ini, menyampaikan, data terakhir 2024. Kecamatan dengan prevalensi stunting tertinggi ialah Gedangsari 390 kasus, Patuk (273) dan Karangmojo 373 kasus.
Bakteri E. coli
Pada Agustus 2023, Setyo Retno Wulandari dan Lisda Kaimudin mempublikasikan penelitian berjudul Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita di Puskesmas Paliyan Gunungkidul Yogyakarta.
Penelitian kuantitatif ini meneliti balita stunting di puskesmas dan menemukan sebagian besar balita berusia 24-36 bulan, dengan laki-laki dan perempuan hampir sama, memiliki berat badan lahir normal, dan menerima ASI eksklusif.
Kesimpulannya, meskipun sebagian besar balita yang mengalami gangguan tumbuh kembang ini mendapatkan ASI eksklusif dan memiliki berat badan lahir normal, kasus stunting tetap terjadi di Paliyan. Faktor-faktor lain seperti kurang gizi mikro, penyakit infeksi, dan lingkungan yang tidak mendukung kemungkinan menjadi penyebab stunting di wilayah ini.
Tahun 2024, Puskesmas Paliyan pernah menguji baku mutu air sumur galian di Kelurahan Grogol, Karang Duwet, dan Mulusan. Tiga wilayah ini merupakan kluster dengan kasus anak stunting.
Petugas kesehatan yang mengambil sampel air mendapati rata-rata sumur galian di sekitar rumah warga tidak ditutup dan tampungan air berada di dekat kandang. Sama seperti Narni, sejumlah rumah memiliki kandang ternak yang menempel dengan rumah atau ruang dapur.
“Warga menganggap (itu) lumrah,” ujar Latip Wahyudi, Lurah Grogol.
Bahkan, katanya, masih ada rumah yang pelihara ayam di dapur. “Sumur itu untuk air minum dan ternak.”
Sebelum pengambilan sampel, petugas menanyakan anggota keluarga di rumah bersangkutan ihwal pengalaman menderita diare, tipes atau penyakit lain-lain. Mereka menerima jawaban ‘tidak ada’.
Hasilnya, pengujian sampel air menunjukkan bakteri Escherichia coli (E. coli) dengan besaran nilai 118 CFU/100 ml (118 koloni bakteri E. Coli dalam 100 ml air) dari yang seharusnya nol, nilai standar untuk layak dipergunakan.
“Kalau dikonsumsi menyebabkan asupan nutrisi anak berkurang,” kata Rahma, petugas kesehatan Puskesmas Paliyan.
Dia menduga, bakteri itu bersumber dari kandang ternak, sementara jarak antara septic tank dan sumber air sesuai kriteria aturan kesehatan.

Dinkes Gunungkidul mencatat, angka stunting naik dari 4.310 kasus pada 2023 menjadi 4.691 kasus pada 2024. Kenaikan ini signifikan dengan peningkatan kasus diare pada balita yang melonjak pada 2023 dan bertahan di kisaran angka 1.400 lebih hingga 2024.
“Untuk program sanitasi dan higienitas di Gunungkidul mencapai 98%,” klaim Ismono.
Lewat keterangan tertulis, dia menyebut masyarakat mendapatkan akses air bersih aman dan tercukupi melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), Perusahaan Air Minum Dusun (Pamdus) dan kelompok-kelompok pengguna air bersih. Pemeriksaan kualitas air juga sudah dilakukan melalui uji air di laboratorium.
Namun, katanya, keperluan rumah tangga di Gunungkidul masih banyak menggunakan sumur galian. Bahkan, beberapa desa juga menggunakan untuk keperluan ternak.
Kuat dugaan, praktik beternak hewan dekat rumah ini sebagai penyebab bakteri itu masuk ke dalam air bersih yang mereka gunakan sehari-hari.
Sapi, kambing, dan ayam, memiliki coliform dan E. coli di dalam usus mereka. Coliform merupakan kelompok bakteri bersumber dari lingkungan atau kotoran, penanda awal mendeteksi mikroba di air. Sementara E. coli merupakan spesies coliform yang spesifik bersumber dari saluran pencernaan manusia atau hewan, penanda kontaminasi air dari tinja.
Limbah hewan yang tidak dikelola dengan baik dapat mencemari tanah dan air. Termasuk sumber air sumur yang digunakan oleh masyarakat.
Widodo Suwito, Peneliti Mikroba Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Yogyakarta menduga, anak-anak yang tinggal di rumah dekat kandang ternak mengalami diare karena virus dan parasit (cacing) dari kotoran ternak.
Dari penelitiannya bertajuk Pencemaran Bakteri dalam Air Sumur di Sekitar Peternakan Sapi Potong di Yogyakarta, terdapat 91,6% dari 12 sampel air sumur di dekat kandang yang berjarak kurang dari 10 meter, mengandung coliform dan E.coli melebihi ambang batas aman air rumah tangga. Limbah ternak merembes dan membawa dua bakteri itu ke dalam sumur, mencemari hampir seluruh ari sumur di sekitar kandang.
Kesimpulannya, air sumur di sekitar kandang di Yogyakarta tercemar hingga tidak boleh untuk keperluan rumah tangga. “Berbahaya karena digunakan untuk mencuci peralatan masak.”
Puji Sutarjo, Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Dinkes Yogyakarta tidak menampik diare pada anak merupakan penyakit urutan teratas setelah ISPA yang banyak dialami masyarakat provinsi itu dari masa ke masa.
“Sebagian besar diare disebabkan rotavirus (virus yang menginfeksi usus),” kata Sutarjo.

Krisis iklim perburuk keadaan
Siang itu, di Paliyan saat hujan deras, seorang petani tengah sibuk memindahkan kotoran kambing ke tempat pengelolaan limbah yang berjarak hampir 10 meter dari sumur galian.
“Untuk pupuk,” katanya.
Dia memindahkan limbah kotoran kambing ke penampungan sementara pada bilik terpisah, masih dalam naungan atap kandang yang sama. Jarak beberapa meter, terdapat kandang ayam, di samping pintu dapur yang non permanen, berlantaikan tanah lembab.
Air yang jatuh dari atap kandang mengalir dan menyebar mendekati sumur galian yang berdempetan dengan jamban, dekat dengan dapur.
Peternak Gunungkidul rata-rata menumpuk kotoran ternak selama delapan bulan, untuk jadi kompos saat musim tanam padi pada Desember–Maret, ketika curah hujan tinggi. Tanah Gunungkidul yang tandus, karena di atas batuan karst membuat mereka hanya mengandalkan air hujan untuk mengairi sawah.
Menurut Suwito, pengelolaan kotoran ternak yang buruk di tengah krisis iklim signifikan dengan meningkatnya konsentrasi dan penyebaran coliform dan E.coli. Kekeringan, menyebabkan peternak kurang air untuk membersihkan kotoran hewan di kandang.
Sebaliknya, curah hujan tinggi melarutkan limbah ternak–mengalir–merembes masuk ke dalam sumur.
“Gunungkidul lumbung ternak di provinsi Yogyakarta,” ujarnya.
Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten Gunungkidul Tahun 2024-2028 menyebutkan, dominasi daerah karst dalam geografis Gunungkidul menyebabkan suplai air meteorologis tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
Kondisi itu menyebabkan sering terjadi bencana kekeringan sepanjang tahun, bahkan di luar periode El Nino, dengan kemarau yang makin parah dalam hal intensitas, frekuensi, dan durasi, yang berpotensi meningkatkan dampak dan risiko kekeringan di masa depan.
“Namun, jika kondisi curah hujan tinggi proses pengolahan limbah kotoran ternak menjadi terhambat,” kata Wibawanti Wulandari, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul.
Mereka belum pernah meneliti kandungan E.Coli dan penyebarannya melalui limbah ternak ke manusia. Instansinya, hanya rutin sosialisasi cara budidaya ternak yang baik, juga bimbingan teknis pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik hanya di kelompok ternak.
Maulinna Utaminingsih, Urban Nexus Project Manager Yayasan Plant Indonesia, menyebut, krisis iklim memengaruhi anak-anak secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bentuk risiko kematian, cedera, kekerasan, dan lain-lain.
Menurut dia, perempuan memiliki peran kunci dalam melindungi anak-anak dari dampak krisis iklim. Dengan melibatkan mereka dalam mitigasi dan adaptasi, menjadikan masyarakat tangguh dan siap menghadapi perubahan iklim.
Sementara, setiap rumah tangga yang Mongabay temui mengaku tidak pernah mendapat pendidikan, formal maupun non formal, ihwal cara mengolah makanan yang tepat untuk balita. Para ibu rumah tangga mengaku hanya memperoleh pengetahuan pengolahan air dan makanan yang higienis dari orang tua masing-masing.
Suwito menyarankan, peternak di Gunung Kidul menempatkan ternak mereka di kandang komunal atau kandang kelompok, bukan di belakang rumah atau di samping rumah. Dia berpendapat ini akan memudahkan petugas dokter hewan mengawasi kesehatan ternak secara rutin.
Dalam laporan Perubahan Iklim dan Gizi di Indonesia. Tinjauan Bukti Untuk Penguatan Kebijakan dan Program yang Unicef terbitkan, bekerjasama dengan Kementerian PPN/Bappenas 2024, menyebut, Indonesia menempati peringkat tertinggi di antara negara-negara yang berisiko mengalami bencana karena iklim. Perubahan iklim diperkirakan makin memperburuk malnutrisi pada anak melalui berbagai jalur.
Unicef menjelaskan, perubahan iklim signifikan berkontribusi terhadap beban global penyakit diare dengan mendorong perkembangbiakan patogen yang tumbuh subur di lingkungan yang lebih hangat. Hewan ternak rentan tekanan panas, kelangkaan air, dan wabah penyakit yang dipicu perubahan iklim.
Kenaikan suhu mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan ternak patogen dan parasit, yang menyebabkan insiden penyakit yang lebih tinggi dari populasi ternak.
Meningkatnya suhu, curah hujan rata-rata bulanan, dan banjir signifikan dengan kejadian diare pada anak. Kurangnya akses terhadap air bersih, sanitasi, dan fasilitas kebersihan semakin memperparah malnutrisi, karena kontaminasi feses-oral yang yang terus mengganggu penyerapan usus, menyebabkan peradangan kronis, dan berkontribusi pada terhambatnya pertumbuhan pada anak-anak turut memicu penyakit kronis.
Maraita Listyasari, Spesialis Air dan Sanitasi Unicef, mengungkapkan, limbah domestik mencemari lingkungan. Sayangnya, sebagian masyarakat belum menerapkan standar penyimpanan tinja yang aman. Idealnya, masyarakat membuat penyimpanan tinja yang kedap dari pertukaran cairan dengan cairan lain.
“Sebagian besar masyarakat Indonesia minim kesadaran terhadap sanitasi aman, tidak dapat mencegah pencemaran lingkungan.”

Liputan ini merupakan grant jurnalis bertema “Krisis Iklim, Keamanan Air, dan Hak Anak,” yang diselenggarakan Unicef bekerjasama dengan AJI Indonesia.
*****
Terkepung Sawit dan Tambang, SAD Batanghari Kesulitan Pangan