- Dua harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) lahir di Suaka (sanctuary) Harimau Sumatera Barumun, Sumatera Utara (Sumut), akhir Januari lalu. Terlepas dari kabar bahagia kelahiran harimau ini, muncul pertanyaan mengenai ideal atau tidak ‘rumah’ bagi dua anakan harimau ini di tempat rehabilitasi. Lantaran, suaka seharusnya jadi tempat penyelamatan, rehabilitasi fisik, dan perilaku harimau sebelum lepas liar ke habitat asli di alam, bukan pengembangbiakan.
- Tomi Ariyanto, Sekretaris Forum Harimau Kita, mengatakan, harimau umumnya mudah bereproduksi. “Catatan pentingnya, (perkembangbiakan) bukan di eksitu (di luar habitat) melainkan di insitu,” katanya pada Mongabay, Senin (5/5/25).
- Novita Kusuma Wardani, Kepala BBKSDA Sumut sepakat. Namun, yang terjadi di Barumun, menurutnya, bukan kesengajaan.
- Sugeng, Manager Sanctuary Harimau Sumatera Barumun, menyebut, memberikan rasa nyaman pada harimau hasil rescue jadi hal mendasar yang mereka terapkan di wilayah mereka. Total, ada enam harimau di pusat penangkaran ini.
Dua harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) lahir di Suaka (sanctuary) Harimau Sumatera Barumun, Sumatera Utara (Sumut), akhir Januari lalu. Terlepas dari kabar bahagia kelahiran harimau ini, muncul pertanyaan mengenai ideal atau tidak ‘rumah’ bagi dua anakan harimau ini di tempat rehabilitasi. Lantaran, suaka seharusnya jadi tempat penyelamatan, rehabilitasi fisik, dan perilaku harimau sebelum lepas liar ke habitat asli di alam, bukan pengembangbiakan.
Tomi Ariyanto, Sekretaris Forum Harimau Kita, mengatakan, harimau umumnya mudah bereproduksi. “Catatan pentingnya, (perkembangbiakan) bukan di eksitu (di luar habitat) melainkan di insitu,” katanya pada Mongabay, Senin (5/5/25).
Dia pun menyayangkan keputusan otoritas tak segera melepasliarkan harimau di Barumun. Malahan, membiarkan berada di kandang habituasi selama bertahun-tahun sampai reproduksi.
Dua bayi harimau yang lahir di Barumun awal Januari lalu datang dari pasangan Monang, harimau korban konflik di kawasan hutan Parmonangan, Simalungun, Sumut, pada 2017, dan Gadis, korban jerat di Taman Nasional Batang Gadis, 2017. Bayi harimau yang lahir berkelamin jantan dan betina.
Dalam keterangan resminya, Menteri Kehutanan Raja Juli memberi nama Ninik pada si betina, dan Nunuk pada si jantan. “Kami berharap kehadiran Nunuk dan Ninik dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat luas untuk lebih peduli terhadap pelestarian satwa liar,” katanya.
Bukan kali pertama Monang dan Gadis melahirkan keturunan. Sebelumnya, mereka menghasilkan lima anak. Dua, Surya Manggala dan Citra Kartini, sempat kembali ke alam liar, di Taman Nasional Kerinci Seblat, tetapi keduanya tak mampu bertahan dan mati. Tiga lainnya, Bisma, Albanta masih hidup berusia tiga tahun, sementara Adifa mati tidak lama setelah lahir.
Menurut Tomi, masalah muncul ketika terjadi kelahiran di pusat rehabilitasi. Sangat sedikit kasus harimau lahir di eksitu berhasil hidup ketika dilepasliarkan ke hutan. Citra Kartini dan Surya Manggala mengonfirmasi hal ini.
Bahkan, katanya, keberhasilan translokasi pun sangat kecil. “Apalagi individu yang lahir di kandang. Pusat rehabilitasi bukan tempat breeding center!”

Dia pun menyarankan pemerintah pusat rehabilitasi, seperti Barumun, fokus pada marwahnya untuk merehab fisik dan perilaku harimau. Jangan biarkan terjadi reproduksi secara eksitu.
Menurutn dia, otoritas pemerintah kerap melakukan klaim penambahan individu dengan konsep breeding eksitu. Hal ini salah kaprah, karena tidak ada bedanya dengan kelahiran di kebun binatang. Individu yang lahir pun membuatnya ragu bisa lepas liar.
Selama ini, belum ada metode pengkayaan populasi di dalam kandang dan bagaimana metode assessment-nya ihwal kesiapan harimau saat lepas liar. Pemerintah pun hanya melihat harimau yang siap lepas liar adalah yang sehat, jika berujung kematian, maka itu hanya kematian individu. Tomi rasa tidak demikian. Dia melihat harimau yang hidup di alam sebagai bagian rantai pangan ekologis. Walau mati, ia telah menjalankan fungsinya di alam.
“Lebih baik melepaskan yang memang sudah lahir di alam untuk dikembalikan ke alam, daripada harimau itu ditaruh di kandang beranak pinak, meskipun beranak pinak dan menambah individu tetapi untuk dilepasliarkan ke alam tidak akan pernah selesai, karena alam punya cara kerjanya sendiri.”
Novita Kusuma Wardani, Kepala BBKSDA Sumut sepakat. Namun, yang terjadi di Barumun, menurutnya, bukan kesengajaan.
Perkawinan tanpa rencana itu terjadi di tengah upaya mengembalikan naluri harimau. “Sepakat bahwa rehabilitasi bukan tempat breeding. Yang terjadi di sana tidak direncanakan,” katanya pada Mongabay, Kamis (15/5/25).
Dia menampik kematian citra dan surya sebagai kegagalan. Menurutnya, hal itu terjadi ketika sedang mencari mangsa.
Novita pun menilai hal ini harus jadi pembelajaran membekali satwa di sanctuary dengan kemampuan dan insting yang baik.
“Pelepasliaran harus mempertimbangkan habitat dan kondisi setempat.”

Terburu-buru
Selama ini, harimau yang masuk ke pusat rehabilitasi kebanyakan karena terjadi interaksi negatif. Kadang, pertimbangannya pun buru-buru.
Menurut Tomi, beberapa tahun terakhir, penanganan konflik antara harimau dengan manusia kerap langsung memasukkannya ke pusat rehabilitasi. Padahal, tidak seharusnya demikian.
Kondisi ini, mengancam kantong-kantong populasi harimau yang lebih kecil. Pengambilan harimau untuk rescue akan menghilangkan kantong itu.
Tindakan penyelamatan yang terlalu terburu-buru bisa berdampak pada kehilangan populasi harimau di satu landscape ukuran kecil.”
Harusnya, penanganan konflik ini harus melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Di beberapa tempat, konflik terjadi karena hutan dan pakan yang hilang. Memaksa hewan belang itu turun gunung.
“Sering kali ketika konflik, semua dianggap beres ketika petugas datang dan me-rescue. Padahal menurut saya, itu bukan penyelesaian masalah,” kata Tomi.
Pemerintah, katanya, harus melibatkan masyarakat. Karena mereka merupakan pihak yang tahu bagaimana hidup dalam harmoni bersama kucing besar itu.
Sugeng, Manager Sanctuary Harimau Sumatera Barumun, menyebut, memberikan rasa nyaman pada harimau hasil rescue jadi hal mendasar yang mereka terapkan di wilayah mereka. Total, ada enam harimau di pusat penangkaran ini.
Empat harimau itu Monang, Gadis dan kedua anaknya yang baru lahir. Satu harimau merupakan korban interaksi negatif di lanskap hutan Leuser, serta satu lainnya harimau korban konflik, titipan BKSDA Riau. Juga memberikan rasa nyaman pada harimau menjadi penting, karena satwa korban konflik memiliki trauma tinggi interaksi dengan manusia.
“Interaksi seminim mungkin dengan manusia menjadi kata kunci predator ini bisa nyaman di kandang habituasinya. Semua itu kita jalankan di Barumun. Terbukti, ada banyak kelahiran di sini karena mereka merasa tidak terganggu.”

*****