- Pemerintah akan memperbanyak proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) menggunakan teknologi insinerator dengan menggandeng Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Berbagai kalangan mengingatkan berbagai masalah berisiko muncul dan memperburuk keadaan.
- Ibar Akbar, Zero Waste Campaigner Greenpeace Indonesia, menilai, proyek waste to energy problematik. Membakar sampah saja sudah bermasalah dan hasil energi tak sebanding.Ketika bakar sampah, akan menghasilkan dioksin dan furan, yakni, zat berbahaya bagi kesehatan. Emisi dan residu masih beracun dan perlu pengelolaan TPA B3 khusus. Sedang saat ini, TPA di Indonesia masih banyak open dumping. TPA B3 terbatas.
- Pelibatan Danantara makin berisiko masalah jadi lebih kompleks. Ibar maupun Dwi Sawung, menilai, risiko proyek ini gagal sangat besar. Ini sudah tercermin dari prototipe seperti di Solo, Surabaya, dan Jakarta.
- Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi sarankan, pemerintah memulai dengan membenahi manajemen sampah. Sampah organik bisa menjadi banyak hal, termasuk kompos.
Pemerintah akan memperbanyak proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) menggunakan teknologi insinerator dengan menggandeng Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Berbagai kalangan mengingatkan berbagai masalah berisiko muncul dan memperburuk keadaan.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup (LH) mengatakan, itu satu solusi mengentaskan masalah darurat sampah di Indonesia. Catatannya, sampah yang terkelola sampai saat ini baru 39,01%, sisanya tidak terkelola masih 60,99%.
Sampah tidak terkelola itu, 21,85% tertimbun di tempat pemrosesan akhir sampah melalui praktik open dumping, 39,14% buang di badan lingkungan, seperti sungai, laut, pegunungan, dan dibakar (illegal open burning).
Hanif mengatakan, program mengubah sampah menjadi energi (waste to energy) ini masuk dalam rancangan revisi Peraturan Presiden Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
“Ada beberapa hal utama diminta Bapak Presiden untuk mengakselerasi penanganan sampah nasional yang timbulan sampahnya rata-rata di angka 1.000 ton per hari di perkotaan. Ini menjadi permasalahan serius,” katanya dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (14/5/25).
Danantara, katanya, berperan menggandeng mitra investor. Kemudian, libatkan PLN untuk tender dan subsidi. Sementara pemerintah daerah (pemda) harus menyiapkan lokasi dari tempat pembuangan sampah untuk energi listrik.
Dalam perpres, pemerintah semula menargetkan ada 12 kota pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan akan makin luas dalam revisi jadi 33 lokasi.
“Ini indikasi lokasi dan bisa ditambah berdasarkan kajian. Bapak Presiden mengharapkan seluruh perizinan penanganan sampah ini bisa selesai di tahun 2025,” katanya.
Hanif bilang, program ini akan memberikan subsidi kepada warga yang diatur PLN. PLN juga akan mengkaji ulang biaya kepada pengolah sampah untuk menerima dan mengolah sampah (tipping fee) yang selama ini diterapkan.
Dia berharap, waste to energy ini akan membantu tercapainya target nasional pengelolaan sampah sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 12/2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
RPJMN itu menargetkan 50% sampah harus terkelola pada 2025 dan 100% pada 2029.
“Jadi ini posisi baseline penanganan sampah kita,” katanya.
Rencana menggunakan teknologi refuse-derived fuel (RDF) ini sebelumnya juga sudah Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, kemukakan.
Dia nilai, RDF mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. “Sebagian sampah disuplai ke pabrik semen, sebagian lagi jadi batu bata.”

Hati-hati
Proyek PLTSa sudah jalan sejak 2007 tetapi Walhi menilai lebih banyak masalah tumbul daripada manfaat. Meski demikian, pemerintah justru jadikan proyek ini sebagai proyek strategis nasional (PSN) pada 2016. Kemudian ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35/2018.
Walhi juga sempat mengajukan uji materi terhadap kebijakan ini. Mahkamah Agung (MA) menyatakan pembangunan PLTSa melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya.
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, sangsi dengan proyek ini. Dari 12 PLTSa target semula, beberapa yang beroperasi seperti Solo dan Surabaya, pun bermasalah.
Dia menyebut, pembakaran sampah berdampak pada lingkungan dan kesehatan.
“Kalau kita lihat sekarang, insinerator-insinerator yang beroperasi aja enggak benar, dengan sampahnya tercampur. Itu emisi ke udaranya, belum lagi nanti fly ash dan bottom ash-nya,” katanya.
Permasalahan serupa juga Walhi temukan di RDF Rorotan, Jakarta. Proyek ini baru beroperasi pada Februari 2025, belum sepenuhnya dan bermasalah
Warga rasakan bau, polusi, hingga peningkatan kasus ISPA. Pada Maret 2025, warga protes. Dinas Lingkungan Hidup Jakarta pun menghentikan sementara pengolahan sampah dan memindahkan sekitar 1.400 ton sampah dan produk RDF ke TPST Bantargebang.
Alih-alih bangun dan perbanyak pembangkit energi sampah, Sawung usul, pemerintah bisa memulai dengan membenahi manajemen sampah. Sampah organik bisa menjadi banyak hal, termasuk kompos.
“Cukup sediain composting, bisa skala RT, skala RW kecil sampai yang besar. Kalau lahannya terbatas, bisa ada semacam tempat tertentu di wilayah tertentu untuk khusus yang organik. Dan mudah itu teknologinya, nggak sulit-sulit,” katanya.
Untuk sampah nonorganik bisa diterapkan prinsip reduce, reuse, recycle (3R).
Saat ini, katanya, pemilahan sampah masih berantakan. Sampah yang ‘gado-gado’ dan tidak dihitung polutannya, ketika dibakar dengan insinerator, maka polusi tak terkontrol.
Selain merugikan lingkungan dan kesehatan, teknologi insinerator juga memakan biaya besar karena alat sudah mahal. Belum lagi, pemerintah daerah harus membayar tipping fee.
Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2020, skema pembiayaan PLTSa berisiko besar bagi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pemerintah daerah harus membayar Rp500.000 untuk setiap ton sampah yang dibakar.
“Enggak realistis banget. Banyak risiko ya, dan mahal.”
Ibar Akbar, Zero Waste Campaigner Greenpeace Indonesia, menilai, proyek waste to energy problematik. Membakar sampah saja sudah bermasalah dan hasil energi tak sebanding.
“Sampah kita sebagian besar masih tercampur, sampah organik, sampah plastik dan sebagainya, sehingga ketika sampah tercampur ini dibakar, butuh energi besar untuk membakarnya dan hasilnya juga tidak sebanding dengan energi yang diperlukan,” kata Ibar.
Ketika sampah dibakar, akan menghasilkan dioksin dan furan, yakni, zat berbahaya bagi kesehatan. Artinya, kata Ibar, juga berdampak buruk terhadap lingkungan. Emisi dan residu masih beracun dan perlu pengelolaan TPA B3 khusus. Sedang saat ini, TPA di Indonesia masih banyak open dumping. TPA B3 terbatas.
Dia bilang, teknologi waste to energy pasti perlu sampah dalam jumlah besar. Secara tak langsung mendorong masyarakat memproduksi sampah terus-menerus, bukan mengurangi.
“Padahal, bicara soal pengurangan sampah itu penting. Pengurangan, pemilahan itu penting. Kalau kita masih mengandalkan waste to energy, ya mau gak mau tetap sampah itu diadakan terus dulu, karena kita butuhkan sampah.”
Pemerintah, katanya, lebih baik mengeluarkan uang untuk pengelolaan, pemilahan, dan pembenahan TPA yang selama ini melakukan praktik open dumping, dibandingkan membeli alat insinerator yang mahal.
“Selama paradigma sebatas ingin menghilangkan sampah cepat, itu nggak menghilangkan 100%. Menghilangkan iya, tapi sampah dibakar akan hanya menjadi kebentuk yang lain, jadi abu, jadi polusi udara, terus jadi residu B3, dan sebagainya. Artinya hanya mengubah masalah menjadi masalah lain,” katanya.

Danantara, risiko baru?
Pelibatan Danantara makin berisiko masalah jadi lebih kompleks. Ibar maupun Dwi Sawung, menilai, risiko proyek ini gagal sangat besar. Ini sudah tercermin dari prototipe seperti di Solo, Surabaya, dan Jakarta.
Selama ini, kata Sawung, belum ada pihak yang benar-benar kompeten dalam pengelolaan waste to energy.
“Yang mengoperasikan siapa? BUMN? BUMD? BUMD mungkin bisa mengoperasikan TPA. Swasta juga paling enggak banyak.”
Media Wahyu Askar, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan, pelibatan Danantara dalam proyek ini sekilas tampak lebih mudah karena lintas sektor, bankability mungkin lebih baik dan instrumen lebih luas, seperti carbon credit, green financing, atau blended financing. Namun, Wahyu mengingatkan, pelibatan Danantara akan membawa banyak dampak negatif.
Pertama, institusionalisasi Danantara sampai sekarang belum jelas. Termasuk potensi konflik terkait misi Danantara itu sendiri.
Wahyu curiga proyek ini hanya akan menjadi praktik greenwashing untuk mendorong teknologi insinerasi. Padahal, jejak karbon dari aktivitas insinerasi tinggi.
“Bahkan kerusakan lingkungan. Ada banyak paper yang membahas tentang proses insinerasi itu juga,” katanya.
Selain itu, model bisnis waste to energy di banyak negara rentan gagal karena biaya operasi tinggi. Belum lagi, proyek ini tergantung dari pasokan sampah yang kontinu.
Proyek insinerator di Taitung, Taiwan, misal, mengalami kelebihan kapasitas karena estimasi sampah tidak akurat, hingga fasilitas tidak pernah beroperasi penuh.
Akibatnya, pemerintah daerah harus membeli kembali fasilitas dengan biaya tinggi, menimbulkan beban fiskal yang signifikan.
Pada 2024, The Guardian melaporkan dana pensiun di Inggris kehilangan lebih dari £350 juta akibat investasi dalam pembangkit listrik dari insinerasi sampah yang gagal.
Beberapa proyek waste to energy di China juga bermasalah. Berdasarkan studi Advances in Civil Engineering Volume 2018 dengan judul ‘Identification of Risk Factors Affecting PPP Waste-to-Energy Incineration Projects in China: A Multiple Case Study’, beberapa proyek waste to energy di China menghadapi risiko seperti peralatan usang, sistem regulasi lemah, dan penolakan publik.
Salah satunya terjadi di proyek di Feicheng Fengquan. Proyek itu mengalami alami polusi berulang dan keluhan dari warga sekitar.
Di negara maju, katanya, pasokan sampah sudah stabil. Masyarakat sudah punya kemampuan memilah sampah dan alur pengolahan sudah jelas dan infrastruktur baik.
“Nah, di Indonesia kita dari segi literasi juga masih belum kuat, infrastrukturnya juga belum matang,” ujar Wahyu.
Kedua, khawatir proyek ini malah membebani dengan risiko fiskal yang panjang. Terlebih, ada potensi lock-in terhadap sistem pengolahan sampah berbasis pembakaran.
“Ini dikritik banyak orang karena menghambat upaya untuk daur ulang atau ekonomi sirkular.”
Dia sarankan, cara lebih tepat dan sederhana adalah sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ini sudah terbukti berhasil di banyak negara Amerika Latin dan beberapa negara di Eropa.
“Jadi komunitas dilibatkan, ada proses daur ulang, dan pelibatan masyarakat lokal serta pemberdayaan sektor-sektor informal bahkan,” katanya.
Solusi ini, kata Wahyu, lebih rendah risiko. Berbeda dengan proyek yang akan gandeng Danantara, lebih berisiko, memakan biaya tinggi, dan top-down.

*****