- Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup indonesia (Walhi) ihwal rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 3 atau Tanjung Jati A Cirebon, Jawa Barat (Jabar), Senin (28/4/2025). Mereka menilai majelis hakim abaikan fakta hukum dan rentetan gugatan yang Walhi pernah ajukan dan menangkan.
- M Rafi Saiful Islam, Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, bilang, gugatan di PTUN Jakarta merupakan tindaklanjut dari gugatan Walhi yang PTUN Bandung menangkan, 13 Oktober 2022 silam. Kala itu, majelis hakim PTUN Bandung batalkan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A, karena dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tidak pertimbangkan dampak gas rumah kaca yang PLTU timbulkan.
- Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif Nasional Walhi memperkuat pernyataan Rafi. Katanya, Walhi pernah menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu 2 dan menang.
- Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan, gugatan itu adalah upaya untuk perbaiki kondisi kota Cirebon yang terkepung PLTU. Selain rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A, di sana sudah ada PLTU Cirebon 1 dan PLTU Cirebon 2.
Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan Walhi ihwal rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap batubara (PLTU) Jawa III atau Tanjung Jati A Cirebon, Jawa Barat (Jabar), Senin (28/4/25). Mereka menilai, majelis hakim abaikan fakta hukum dan rentetan gugatan yang Walhi pernah ajukan dan menangkan.
Dalam putusan Nomor 455/G/TF/LH/2024/PTUN.JKT, majelis hakim menyatakan, Walhi tidak punya kepentingan hukum. Soalnya, PLTU Tanjung Jati A Cirebon belum terbangun, masih dalam proses pembahasan di rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), dan belum ada kerugian nyata dari aktivitas PLTU.
M Rafi Saiful Islam, Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, bilang, gugatan di PTUN Jakarta merupakan tindaklanjut dari gugatan Walhi yang PTUN Bandung menangkan, 13 Oktober 2022. Kala itu, majelis hakim PTUN Bandung batalkan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A, karena dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tidak pertimbangkan dampak gas rumah kaca yang PLTU timbulkan.
Putusan sudah berkekuatan hukum tetap karena Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu Jabar tidak banding. Meski demikian, tim advokasi khawatir adanya rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A dalam dokumen RUPTL 2021-2030 bisa menganulir putusan PTUN Bandung.
“Makanya kami lakukan gugatan terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai penjabat pemerintah yang punya kewenangan,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (9/5/25).
Dalam gugatan, Tim Advokasi lampirkan dokumen hukum yang ceritakan gugatan warga Beutong Ateuh Banggalang, Aceh, bersama Walhi yang Mahkamah Agung kabulkan tahun 2020. Lewat putusan 91K/TUN/LH/2020, Majelis Hakim berpendapat, izin usaha pertambangan (IUP) PT Emas Mineral Murni (EMM) berisiko timbulkan kerusakan Kawasan Ekosistem Leuser dan fungsi lingkungan hidup.
Selain itu, gugatan pada rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A Cirebon juga sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1/ 2023. Pasal 6 menyatakan, organisasi lingkungan hidup yang kepentingannya telah dan atau berpotensi dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan atau Tindakan Administrasi Pemerintahan, dapat mengajukan gugatan di PTUN.
Karena itu, dia menyayangkan putusan majelis hakim PTUN Jakarta yang abaikan pertimbangan-pertimbangan hukum itu. “Potensi atau kegiatan usaha yang belum dibangun, itu masyarakat masih bisa ajukan gugatan. Karena tidak mungkin tunggu masyarakat terdampak baru gugat.”
Dalam keterangan tertulis Walhi Jabar, para ahli menyatakan lazim menerima keluh-kesah masyarakat secara hukum, meski belum ada dampak atau bersifat potensial. Misal, praktik hukum di Belanda dan Inggris yang bolehkan masyarakat ajukan gugatan sejak tahap awal, bahkan sebelum proyek mulai.
Berdasarkan perbandingan hukum itu, mereka minta Majelis Hakim adopsi pendekatan hukum lingkungan yang progresif, seturut PerMA 1/ 2023, yang menyatakan, perkara lingkungan punya karakteristik khusus dan tidak dapat semata-mata dianalisis dengan pendekatan hukum administrasi biasa.
“Kami sangat menyangkan sebenarnya dalam gugatan kami jadikan perma 1/2023 sebagai dasar hukum, tapi dalam putusan tidak digunakan,” ujar Rafi.

Akan banding
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif Nasional Walhi memperkuat pernyataan Rafi. Katanya, Walhi pernah menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu II dan menang.
Putusan Majelis Hakim PTUN Bandung, terbit 6 Desember 2016, menyatakan, izin lingkungan PLTU Indramayu II melanggar Undang-undang. Karena, seturut UU 23/2014, izin yang seharusnya Pemerintah Jabar keluarkan malah Pemerintah Indramayu yang terbitkan.
“Kami dengar (PLTU Indramayu 2) tidak ada lagi di RUPTL. Karena ketika warga ketemu dengan PLN, sudah dibilang (PLTU Indramayu 2) ini dibatalkan dan akan diganti dengan pembangkit energi terbarukan,” ucap Sawung
Walhi, lanjutnya, juga pernah ajukan judicial review terhadap Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau, 2019 silam. Kala itu mereka persoalkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), outline, gambut dan perhutanan sosial.
Hasilnya, MA nyatakan lima dari seluruh pasal yang walhi gugat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tak punya kekuatan hukum mengikat, dan perintahkan Gubernur dan DPRD Riau untuk cabut pasal-pasal itu.
Dia heran dengan putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang nyatakan Walhi tidak punya kedudukan dan kepentingan hukum dalam gugatan hukum PLTU Tanjung Jati A Cirebon. Walhi berencana ajukan banding.
“Walhi putuskan akan banding. Karena aneh posisi putusannya.”
Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim menyatakan, upaya banding itu tidak hanya menitikberatkan kesalahan tafsir hukum terkait kepentingan dan kedudukan hukum Walhi, tetapi juga menyoroti pengabaian pengadilan terhadap bukti ilmiah terkait kontribusi PLTU pada pencemaran udara dan krisis iklim.

Risiko PLTU
Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan, gugatan itu adalah upaya untuk perbaiki kondisi Kota Cirebon yang terkepung PLTU. Selain rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A, di sana sudah ada PLTU Cirebon I dan PLTU Cirebon II.
Hasil kajian di dua PLTU itu, katanya, terdapat pelepasan emisi yang besar, kualitas udara yang buruk, kerugian lingkungan secara umum, hingga terganggunya kenyamanan masyarakat akibat aktivitas II PLTU itu.
Dampak lain dari beroperasinya PLTU adalah rusaknya ekosistem laut akibat bongkar muat tongkang, pencemaran limbah di laut, dan gangguan air bersih. Secara sosial, PLTU disebut berisiko hilangkan mata pencaharian masyarakat, turunkan kualitas garam dari tambak-tambak masyarakat dan berdampak pada harga jual.
Kajian-kajian itu disampaikan sebagai landasan hukum untuk buktikan potensi dampak kerugian masyarakat. “PLTU Cirebon II saja (berdampak pada) 2.000 hektar komunitas masyarakat yang bertani tambak. Bisa diperkirakan kalau PLTU Tanjung Jati A dibangun di lahan yang produktif.”
Dia menyesalkan, putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang tidak mempertimbangkan penilaian-penilaian itu. Padahal, gugatan mereka ingin mempertegas putusan di PTUN Bandung, dengan mengeluarkan PLTU Tanjung Jati A dari RUPTL.
“Sekelas organisasi kami, yang perhatian dalam isu lingkungan, bisa kami pertanggung jawabkan (kedudukan dan kepentingan hukumnya) dipersoalkan, apalagi masyarakat biasa. Mau ke mana mereka cari keadilan?”
Selain itu, putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta, menurutnya, menggambarkan ketidakseriusan upaya tangani krisis iklim. Sementara, Jawa Barat jadi salah satu wilayah peralihan energi kotor ke energi bersih, dengan target pensiun dini II PLTU, yakni, PLTU Cirebon I dan PLTU Pelabuhan Ratu.
Dalam aspek energi, katanya, pembangunan PLTU baru di Jawa Barat bukanlah hal mendesak. Apalagi, sampai 2030, sistem Jawa-Bali masih punya cadangan listrik 44% dari kelebihan pasokan listrik nasional 6 gigawatt.
“Artinya, ini tidak sesuai kebutuhan rakyat itu sendiri. Jadi saya pikir, kegiatan ini (rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A) kalau diteruskan, tidak ada rencana berhentikan, artinya pemerintah tidak punya keseriusan respons krisis iklim, dan tinggalkan PLTU batubara.”

*****
Studi: Investasi Energi Terbarukan Makin Moncer, Jepang Mau Setop Danai PLTU Batubara?