Hanya Varietas Padi Lokal Tumbuh Subur di Semende, Mengapa?

1 day ago 3
  • Persawahan di Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, hanya dapat ditanam sekali setahun dan hanya jenis padi lokal yang tumbuh subur.
  • Sejumlah warga Semende pernah coba menanam padi dua kali setahun, tapi tidak berhasil. Sawah diserang tikus, burung, dan hama batang. Sementara padi hibrida atau nonlokal tidak pernah mendapatkan hasil yang baik.
  • Beragam jenis padi lokal di Semende antara lain bengkok buku, ulu danau, lelak daun, karet, padi putih, selebur urik, selebur erum, selebur tinggi, beram, selebur putih, selebur rimbe atau serai.
  • Padi bagi masyarakat Semende padi bukan hanya untuk pangan, juga sebagai alat bayar. Misalnya untuk menyumbang masjid, guru ngaji, hajatan, dan kegiatan adat dan sosial lainnya.

Persawahan di wilayah Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, yang luasnya mencapai 3.650 hektar, hanya dapat ditanam satu kali setahun dan hanya jenis padi lokal yang dapat tumbuh subur. Mengapa?

Semende yang terbagi menjadi tiga kecamatan, yakni Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, dan Semende Darat Tengah, merupakan wilayah yang memiliki sejarah ketahanan pangan baik. Selamat ratusan tahun, tidak pernah tercatat atau diingat wilayah ini pernah mengalami krisis pangan atau bencana kelaparan.

Namun, padi yang dihasilkan dari sawah yang rerata berusia ratusan tahun tersebut hanya untuk kebutuhan pangan dan kegiatan adat saja. Saat ini, jumlah masyarakatnya mencapai 43.227 jiwa. Padi tidak menjadi sumber ekonomi.

“Tiga tahun lalu, saya coba menanam padi dua kali. Harapannya, dapat dijual atau sumber pendapatan. Tapi, padi yang kedua gagal total. Diserang tikus, burung, dan hama daun,” jelas Don Salwani (33), warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, awal Mei 2025.

Sebenarnya, sudah banyak yang coba menanam dua kali dan gagal. “Saat itu saya penasaran, dan ternyata benar. Sawah di sini tidak dapat ditanam dua kali setahun,” jelasnya.

Serangan tikus dan burung saat penanam kedua (Juli-November) tersebut cukup mengejutkan. Sebab, persawahan di Semende selama masa tanam Februari-Juni jarang diserang tikus dan burung. Sehingga, tidak ditemukan “orang-orangan” atau alat penghalau tikus dan burung.

Baca: Muhammad Fathudin, Penggerak Lahirnya Hutan Desa di Semende

Don Salwani (33), warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tengah memegang batang padi selebur putih, yang tingginya dapat mencapai 1,5 meter. Foto: Chairul Saleh/Mongabay Indonesia

Selain itu, dia pernah coba menanam jenis padi hibrida atau bukan padi lokal. “Hasilnya tidak baik. Bulirnya kopong. Tumbuh tapi tidak ada isi,” katanya.

Dengan pengalaman tersebut, Don mengikuti apa yang diajarkan para orangtua di Semende bahwa sawah cukup satu kali ditanam setahun. Juga, tetap menanam padi lokal.

“Artinya, sawah butuh istirahat, sama seperti manusia. Jadi, jangan dipaksa bekerja sepanjang tahun, alam akan marah. Juga, menanam padi yang sudah ada, kalau jenis baru butuh penyesuaian,” katanya.

Hal yang sama dikatakan Sarmani (56), warga Desa Muara Tenang. “Sejak dahulu kita memang diajarkan untuk menanam padi satu kali dalam setahun. Sebab kita juga mengurus kebun, dan menjalankan sejumlah tradisi adat. Kalau kita menanam padi dua kali, maka kita tidak punya waktu mengurus kebun dan menjalankan berbagai kegiatan tradisi adat.”

Keyakinan bahwa sawah butuh istirahat, sehingga hanya ditanam satu kali dalam setahun, juga pernah disampaikan Malai Ibrahim, tokoh adat Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu,

“Sawah di sini ditanam satu kali setahun. Ini sengaja dilakukan, sebab menurut adat kami, sawah juga butuh istirahat sehingga padi yang dihasilkan berkualitas baik.”

Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar

Tengkiyang, pondok atau lumbung penyimpanan padi milik masyarakat Semende, Sumatera Selatan. Foto: Chairul Saleh/Mongabay Indonesia

Varietas padi lokal tumbuh subur di Semende

Ada tiga jenis padi lokal yang ditanam Don dan warga di Desa Muara Tenang, yakni selebur putih, selebur rimbe atau serai (ketan putih), dan padi beram (ketan hitam). Tapi selebur putih yang paling luas ditanam, sebab sebagai pangan sehari-hari.

Padi selebur putih hingga masa panen, tingginya dapat mencapai 1,5 meter. Meskipun tinggi, namun tidak mudah rebah diterpa angin. “Batangnya sedikit lebih keras dan akarnya kokoh di tanah,” kata Don.

Dari tiga hektar sawah yang digarap Don bersama istrinya, selaku Tunggu Tubang (penanggungjawab pengelolaan sawah keluarga), dihasilkan tiga ton beras (selebur putih). Padi tersebut bukan hanya diperuntukan bagi keluarganya, juga keluarga besarnya. Padi ketan hitam dan ketan putih dibutuhkan untuk keperluan kegiatan adat atau hari besar agama.

Dijelaskan Don, berdasarkan cerita para tetua di kampungnya, padi lokal di Semende cukup banyak. Tapi sebagian besar hanya tiga jenis tersebut yang masih banyak ditanam.

Mengutip sebuah artikel di Brin.go.id, di Semende terdapat beberapa varietas padi lokal, seperti bengkok buku, ulu danau, lelak daun, karet, padi putih, selebur urik, selebur erum, selebur tinggi, dan beram. Keberadaan jenis padi lokal ini terancam punah. Sementara yang masih bertahan jenis padi jambat teras dan selebur rimbe.

Selebur rimbe jenis padi yang memiliki banyak anakan, rumpun besar, dan tidak mudah rebah, sedangkan jambat teras dapat hidup pada sawah dangkal dan dalam, serta nasinya bertekstur lembut.

Baca: Tunggu Tubang, Perempuan Hebat Penjaga Pangan Masyarakat Adat Semende

Hampir semua persawahan di Semende tidak ditemukan ‘orang-orangan’ atau alat pengusir burung lainnya. Selama satu kali menanam dalam setahun, sawah di Semende bebas serangan hama tikus dan burung. Foto: Chairul Saleh/Mongabay Indonesia

Padi bukan hanya pangan

Padi pada masyarakat Semende bukan hanya digunakan untuk pangan. Juga, sebagai alat bayar. Misalnya, sumbangan keluarga untuk kebutuhan masjid. “Setiap keluarga wajib menyumbang ke masjid minimal lima kilogram setahun. Hasil sumbangan dijual sebagai dana pengelolaan masjid,” kata Don.

Selain itu, setiap anak dan remaja di Semende wajib mengikuti pengajian atau belajar membaca Alquran. “Setiap keluarga wajib menyumbangkan beras minimal 10 kilogram setahun kepada pengelola pengajian tersebut.”

Sementara untuk kegiatan adat, seperti pernikahan, beras juga wajib diberikan. Jumlahnya tergantung hubungan keluarga. “Kalau keluarga minimal 10 kilogram, sementara keluarga jauh atau orang lain minimal dua kilogram.”

Pemberian beras juga dilakukan untuk kegiatan adat lainnya. “Pokoknya, kalau ada kegiatan yang melibatkan orang sekampung, kita semua menyumbang beras.”

Bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki sawah, sebab tidak semua keluarga di Semende memiliki sawah? Secara adat Semende, sawah hanya dikelola oleh Tungggu Tubang (anak tertua perempuan). Keluarga di luar keluarga Tunggu Tubang hanya mendapatkan bagian padi untuk kebutuhan pangan.

“Ya, kita membayar atau menyumbang dengan hasil usaha lainnya. Misalnya, keluarga saya membayar dengan kopi. Sebab kami hanya memiliki kebun kopi, tidak memiliki sawah. Istri saya bukan Tunggu Tubang. Semua sawah di Semende ini dikelola Tunggu Tubang. Dan setiap sawah tersebut tidak dapat dijual. Jadi, meskipun saya mampu untuk membeli sawah, tapi tidak akan ada yang mau menjualnya kepada saya,” ucap Napawi (45), warga Desa Muara Tenang.

Baca juga: Suku Semende: Sawah Itu Seperti Manusia, Butuh Waktu Istirahat Tanam

Persawahan di Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, luasnya sekitar 3.650 hektar, hanya dapat ditanam satu kali setahun, dan hanya jenis padi lokal yang tumbuh subur. Foto drone: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Pemuliaan padi lokal

Dr. Yulian Junaidi, peneliti pertanian dari Universitas Sriwijaya [Unsri], mengatakan pemerintah harus “memuliakan” jenis padi lokal yang masih bertahan di Indonesia, termasuk di wilayah Semende.

Sebab, jenis padi lokal menyimpan berbagai pengetahuan dan kearifan masyarakat terhadap lingkungan, termasuk berbagai tradisi dan budaya. “Memuliakan padi lokal sama seperti memuliakan keberagaman budaya lokal,” terangnya, Sabtu (17/5/2025).

Padi lokal lebih siap menghadapi perubahan iklim global. “Terkenal kuat menghadapi musim ekstrem, termasuk badai atau angin kencang, sehingga tidak gampang mati. Cocok ditanam saat perubahaan iklim ini.”

Yulian menilai, padi lokal memberikan kedaulatan kepada masyarakat atau petani. Mereka tidak tergantung bibit, pupuk, dan pestisida. “Kalau jenis hibrida, misalnya, petani harus membeli bibit, pupuk, dan pestisida.”

Memang, jelas Yulian, kelemahan padi lokal adalah waktu tanam yang panjang dan produksi rendah. Inilah pentingnya peranan pemerintah mengembangkan teknologi benih agar waktu tanam lebih pendek dan panennya maksimal.

“Tapi, tidak mengubah karakternya yang tahan cuaca dan tidak bergantung bahan kimia,” paparnya.

Kopi dan Kelestarian Hutan Gunung Raya

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|