Januari 2025, isu pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten mengejutkan publik. Media sosial ramai membahasnya, mulai dari bagaimana sertifikat hak guna bagunan dan hak milik ada di perairan Kabupaten Tangerang, sejak kapan pagar laut dibuat, dan siapa dibalik izin ileggal pembangunan pagar laut. Namun, seperti apa permasalahannya sampai saat ini?
Pagar laut membentang sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Peneliti Universitas Gadjah Mada menyatakan deretan pagar bambu tersebut ada sejak Mei 2024 dan berada di luar garis pantai atau lautan. Jika dibentangkan, pagar ini sepanjang rute dari Monas hingga Bandara Soekarno-Hatta.
Dampaknya nelayan kesulitan melaut dan pendapatannya menurun. Mereka pun harus berhati-hati saat melewatinya atau memutar lebih jauh dengan konsekuensi biaya yang membengkak. Sebetulnya sejak Agustus 2024, warga sudah melapor pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, tapi belum ada penanganan serius.
Hingga pada awal Januari, kasus ini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan pemerintah mulai memprosesnya. Mulai dari pembongkaran pagar laut hingga pengusutan kepemilikan izinnya. Seperti apa kasus ini berlanjut, simak 5 fakta tentang pagar laut Tangerang:
1. Apa itu pagar laut?
Kasus pagar laut di perairan Tangerang berada di Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar yang berdiri sepanjang 30,15 km ini terbuat dari bambu-bambu. Ada yang berbentuk seperti pagar rumah pada umumnya atau ada yang di atasnya ada jalan setapak dengan lebar sekitar 1,5 meter dari anyaman bambu.
Jaraknya sekitar 200-500 meter dari pesisir pantai, berbentuk memanjang dan berkelok-kelok.
Pagar laut ini membentang dari Kecamatan Teluknaga sampai Kronjo, meliputi 16 desa di enam kecamatan. Yakni, tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga di Kecamatan Kemiri, empat di Kecamatan Mauk, satu di Kecamatan Sukadiri, tiga di Kecamatan Pakuhaji dan dua desa di Kecamatan Teluknaga. Nelayan bilang kalau pagar laut sudah ada sejak dua tahun lalu, sudah melapor ke pihak berwenang tapi tak ada tindak lanjut.
Baca juga: Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Hak Milik Ada di Laut Kabupaten Tangerang
2. Dampak pagar laut Tangerang pada nelayan
Ombudsman RI Perwakilan Banten menyebutkan ada 3.888 nelayan terdampak. Kerugian ekonomi sebesar Rp 24 Miliar terhitung sejak Agustus 2024-Januari 2025. Hitungan ini perkiraan dengan menurunnya hasil tangkap nelayan, kerusakan kapal nelayan akibat pagar laut Tangerang dan bertambahnya pembelian bahan bakar perahu.
Heru, nelayan di Desa Kronjo harus berhati-hati melewati pagar laut agar tidak menabraknya. Alternatif lain, nelayan memutar jauh dengan konsekuensi waktu dan biaya operasional membengkak. Biasanya hanya perlu 10 liter solar, kini jadi 20 liter. Jika menabrak pagar, perahu rusak bahkan tenggelam.
Tak hanya nelayan tangkap, 503 pembudidaya laut juga terdampak adanya pagar laut Tangerang. Ini karena mengganggu aliran air dan perubahan kualitas air.
3. Pagar laut merusak ekosistem
Tak hanya kerugian ekonomi, kondisi ekosistem laut juga turut terkena imbas negatif karena keberadaan pagar laut. Adriani Sunuddin, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, memaparkan sejumlah dampak negatif dari pagar laut. Katanya, pagar laut ini memantik terjadinya modifikasi aliran air dan sedimen, gangguan biota laut, kerusakan habitat, hingga pembatasan akses nelayan.
Lebih lanjut, Adriani juga menyebut bahwa munculnya pagar laut merupakan bukti dari buruknya koordinasi lintas sektor pembangunan. “Khususnya, terkait pengelolaan ruang yang mendorong pengelolaan perikanan dan keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir, serta sentralisasi pembangunan yang masih berorientasi darat,” jelasnya.
Baca juga: Polemik Pagar Laut 30,16 km di Tangerang
4. Pagar laut Tangerang milik siapa?
Penelusuran Mongabay mengungkap pagar laut ini dikuasai sejumlah pihak dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Data situs Bhumi ATR/BPN mengungkap bahwa perairan berpagar di Desa Kohod dan Tanjung Burung sudah bersertifikat. Jika diukur, luasnya mencapai 400 hektare.
Bahkan penelusuran melalui teknologi menunjukkan kepemilikan sertifikat ini berada di laut. Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR menyebutkan ada hak atas tanah di sepanjang pagar laut dengan jumlah 263 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) seluas 390,7 hektare dan 17 bidang hak milik seluas 22 hektare.
SHGB itu milik PT Intan Agung Makmur (IAM) 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa (CIS) 20 bidang, perorangan 9 bidang dan 17 SHM perorangan. Sertifikat itu terbit pada 2023 dan 2024.
CIS merupakan anak perusahaan pengembang PIK 2 yakni PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI), ada afiliasi dengan PT Agung Sedayu Group (ASG). Sedangkan IAM juga masih memiliki hubungan dengan Agung Sedayu Group.
5. Proses penegakan hukum
Hingga 4 Februari 2025, Direktorat Tindak Pidana Umum atau Dittipidum POLRI menaikkan status kasus pagar laut di Tangerang ke tahap penyidikan. Dari gelar perkara, ditemukan bukti pidana dugaan pemalsuan akta otentik sertifikat HGB dan SHM di lokasi tersebut.
Dari 263 sertifikat HGB, Bareskrim POLRI menggunakan 10 dokumen untuk dijadikan sampel dalam perkara. Sisanya, sertifikat lainnya akan diuji di Labfor POLRI.
****
*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan sarjana Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender. Rifqi Dheva Za’im, mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga turut menyumbang tulisan dalam artikel ini.