Sumber Pangan Terancam Musnah saat Tambang Nikel Sesaki Pulau Gebe

3 weeks ago 50
  • Hak ulayat kampung Umera di Pulau Gebe, Maluku Utara tersesak tiga IUP tambang nikel. Konsesi terhampar di kebun pala, kepala, cengkih dan merusak sumber pangan warga.  Rumpun sagu waris marga Magpo dan Magimai seluas 30 ha di Teluk Smingit rusak terendam lumpur dari aktivitas pertambangan.
  • Selain Gebe, yang luasnya  224 kilometer persegi, beberapa pulau dalam gugusan pulau ini pun turut dikeruk seperti Pulau Fau, Gee, Pakal, Mabuli, dan Malamala. 
  • Analisa Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut tutupan hutan di Pulau Gebe susut 62,61 hektar dalam kurun 2022-2023 akibat tambang nikel.
  • Keberadaan manusia di Pulau Gebe ada sejak zaman purbakala. Pada pemerintahan Sultan Tidore ke-23, Achmad Mansur Sirajuddin Syah (1821-1856) dia mengeluarkan surat mengenai hak ulayat di Pulau Gebe.

Hutan gundul itu terlihat mencolok di sisi kanan bukit Kampung Umera, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut), akhir Desember 2024 lalu. Tampak eskavator berkelir kuning mengeluk ore nikel di tanah lapang yang menjorok ke laut dan menumpuknya. 

Sekop eskavator kemudian mengangkat dan mengisikan gundukan material ke atas bak truk. Luapan abu pun terangkat saat truk melaju menuju pelabuhan tongkang di Teluk Inalo, tepat di sebelah bukit. 

Di belakang kampung, hutan di perbukitan juga dibabat habis, hanya menyisakan beberapa pohon. “Itu tambang nikel PT Bartra Putra Mulia (BPM),” kata Abdul Manan Magtiblo, Kepala Kampung Umera kepada Mongabay sembari menunjuk ke arah perbukitan.

Perusahaan mulai melakukan aktivitasnya pada 2020. Sejak saat itu, kata Manan, warga mulai merasakan dampaknya. Sumber-sumber air yang ada di bawah bukit, sekitar 3 kilometer dari kampung, banyak yang mati. 

Begitu pula tempat keramat (sakral). Menurut Manan, para tetua adat terpaksa memindahkannya ke luar konsesi melalui rangkaian prosesi ritual adat. “Perusahaan meminta keramat dipindahkan.” 

Izin usaha pertambangan (IUP) PT BPM dikeluarkan eks Bupati Halmahera Tengah dua periode, Al Yasin Ali pada 2013. Konsesi yang diberikan capai 1.850 hektar dan berakhir pada 2033. 

Warga tak pernah tahu bagaimana izin itu terbit. Padahal, lokasi dimana izin diberikan adalah hak ulayat masyarakat setempat. Selama ini, kawasan itu menjadi tempat warga bergantung hidup dengan berkebun dan memanfaatkan hasil hutan. Ada beberapa marga yang diketahui sebagai pemilik hak ulayat itu. Yakni: Umlil; Umsandin; Umsipyat; Magimai; Magtublo; Magpo. 

Keberadaan hak ulayat

Mengacu penelitian Helza Nova Lita dan Fatmie Utarie Nasution [2021], prinsip hak ulayat bersifat komunal. Hak ini ini diatur pada Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 

Lahan secara komunal masih dipraktekkan warga Kampung Umera hingga kini. Mereka menyebutnya sebagai tanah waris marga yang bisa dimanfaatkan warga lainnya.

“Sesama warga kampung bisa saling memanfaatkan tanah dan mengambil tanaman di kebun. Yang penting kasih tahu saja,” sebutnya

Mengendarai pikap, pria 70 tahun ini mengajak Mongabay berkeliling ke kebun miliknya melalui jalan setapak. Terlihat deretan pohon kelapa, kakao, cengkih dan pala berjejer hingga ke rumpun sagu. 

Melalui Avenza Maps—sebuah aplikasi pemetaan— terungkap bila sebagian hak kelola adat masuk dalam konsesi PT BPM. Di beberapa titik, sedimen lumpur kian menjadi hingga merendam kebun sagu. 

Material lumpur, kata dia, berasal dari lokasi tambang di atas bukit. ”Hampir semua rumpun sagu waris marga di Kampung Umera ini sudah rusak,” katanya. Di kebun sagu waris marga Magtublo di Hol dan Kayai misal, sekitar 9 hektar telah rusak.

Ramalam Abubakar Magpo, ceritakan hal yang sama. Ia bahkan tak lagi bisa ambil sagu di hutan Wagob karena tanah waris milik marga Magpo telah terendam sedimen bersama tanah waris milik marga yang lain. 

Kondisi itu sudah terjadi berulang kali sejak 2021. ”Kitong, tidak bisa ambil sagunya untuk diolah.” Tak hanya kebun-kebun sagu warga. Kerusakan akibat tambang ini juga meluas hingga ke Telu Inalo yang membuat laut berubah warna, tutur Ramalan.

Menurut ceritanya, sebelum beroperasi, perusahaan sempat bertemu warga dan mengukur batas tanah masing-masing marga. Perusahan juga menjanjikan akan ganti rugi bila kebun terdampak.  

“Nanti kitong (kita) lapor ke tim. Nanti tinggal tunjuk saja, akan dibayar atau bagaimana, tergantung permintaan pemilik,” ungkapnya. Nyatanya, janji itu tak pernah terwujud. “Sampai sekarang belum dibayar.”

Di Malut, praktik tersebut jamak terjadi. Husen Alting (2013) menyebut, perusahan dan pemerintah kerap menempuh mekanisme litigasi demi ketersedian bukti. Sementara masyarakat memilih jalur non litigasi yang pembuktiannya melalui hukum adat bukan sertifikat. 

Mongabay berusaha meminta konfirmasi atas persoalan ini. Namun, surat permintaan wawancara yang dikirim melalui humas PT BPM, Jalaludin Ramalan, awal Februari tak berbalas. 

Perkebunan kelapa milik warga di Pulau Gebe yang masuk dalam peta konsesi tambang. Foto: M. Jaya Barends.

Rumpun sagu dan hilangnya sumber pangan

Bagi masyarakat Kampung Umeru, sagu tak sekadar penopang ekonomi. Tetapi juga menjadi salah satu ‘menu’ yang wajib ada dalam ritual jelang pernikahan. Ramalan Abubakar Magpo sebut, ketika lelaki meminang kekasih, ia wajib membawa tiga hingga empat tumang—kemasan pelepah daun rumbia—berisi perasan pati sagu. 

Metroxylon sagu Rottb, nama ilmiah dari sagu diletakan dalam tumang berukuran besar. “Setelah [seserahan] terpenuhi maka dirangkai dalam ritual adat ketika lelaki meminang kekasihnya,” jelasnya.

Abubakar terlihat risau memikirkan nasib rumpun sagu waris marga Magpo dan Magimai seluas 30 ha di Teluk Smingit, yang rusak terendam lumpur. Lokasi yang berbatasan dengan Kampung Sanafi Kacepo, ini terdampak tambang milik PT Anugerah Sukses Mining (ASM) menguasai 504 hektar.   

Tahun 2021, perusahan mengeruk nikel hingga menyebabkan sekujur pohon sagu tak bisa lagi dimanfaatkan akibat terendam sedimen lumpur. Belakangan, perusahaan setop operasi setelah menggunduli hutan.   

Dulu, sebelum kerusakan itu terjadi, ibu-ibu di Umera memanfaatkan daun sagu untuk membuat anyaman. Kini, runitias itu sulit dijumpai. 

“Di sana [PT ASM] paling buruk, kita marga Magpo tidak dilibatkan sejak awal, hak kita (di Smingit) diabaikan begitu saja,” bebernya. Terkait klaim kerusakan Abubakar ini, pihak PT ASM tidak membalas surat permintaan konfirmasi yang Mongabay kirim, sejak awal Februari 2025.    

Kerusakan lingkungan di Kampung Umera adalah potret kecil yang terjadi di Pulau Gebe. Masuknya industri ekstraktif dalam beberapa dekade silam telah mengubah wajah dan mencabik hak ulayat masyarakat setempat. 

Mimin Dwi Hartono, Analisis Kebijakan Madya Komnas HAM RI mengatakan perusahan seharusnya menghormati hak asasi manusia. Apalagi masyarakat hukum adat tergolong rentan karena ketergantungannya pada alam. 

“Kalau ada hak masyarakat adat, mereka bisa klaim atas dasar sejarah dan asal usul meski tidak memiliki dokumen hukum (sertifikat) sekalipun,” jelasnya. 

Pokok sagu di Pulau Gebe yang rusak akibat tambang nikel. Foto: M. Jaya Barends.

Awal eksploitasi nikel di Gebe

Pengerukan nikel di Pulau Gebe berawal dari Indeko Indonesia Development Company pada 1968. Jou Jau (Perdana Menteri) Kesultanan Tidore, H.M Amin Faaroek ikut menyaksikan awal perusahaan itu beroperasi. 

Usai perusahan asal Jepang itu setop beroperasi, datang PT Aneka Tambang (Antam) pada pada 1978 dan melakukan aktivitasnya hingga 2004. Selama 25 tahun beroperasi, Antam telah mengubah bentang alam Pulau Gebe. Kebun-kebun warga yang berisi pohon kelapa, cengkih dan sagu pun tergusur jadi tambang nikel.

Riset Foshal, Trend Asia dan YLBHI [2024] menyebut, aktivitas tambang Antam sisakan trauma bagi warga. Usai beroperasi, pelayanan air bersih dan listrik yang dulu disediakan Antam, juga berakhir. 

Meski begitu, kerusakan di Pulau Gebe belum berhenti. Sampai kini, masih ada 7 konsesi nikel yang beroperasi di pulau dengan luas 224 kilometer persegi ini. Termasuk PT PT Mineral Jaya Moligana (MJM) di blok Kaf seluas 914,50 hektar. 

Sama halnya Kampung Umeru yang masuk konsesi BPM, Blok Kaf juga merupakan hak ulayat Kampung Sanof Kacepo. Dalam bahasa Gebe, Sanof atau Sanaf artinya tombak. 

Hamdala, warga setempat ceritakan, wilayah itu disebut El atau Gunung Kaf, yang oleh warga diyakini sebagai tempat keramat Kampung Sanof Kacepo. “Goa-goa yang ada di bukit Kaf itu, semua itu tempat keramat,” ungkapnya.

Keberadaan manusia di Pulau Gebe ada sejak zaman purbakala, bersuku Wetef dan Wagiya. Mereka percaya kekuatan supranatural dan mendiami goa-goa, sebelum akhirnya menyebar ke pesisir pantai karena transisi kebudayaan.

Gebe dalam bahasa Tidore, adalah dua suku kata: Ge yang berarti di situ dan Be yang berarti di mana. Sementara dalam bahasa Gebe, Geb berarti lunas perahu

Sanof Kacepo, disebut-sebut sebagai kampung pertama di Pulau Gebe. Sebaliknya dengan Kampung Umera, yang diyakini berusia lebih muda. 

Marga di kampung Kacepo ini terdiri dari empat kelompok:  Umsipiyat, Umsero, Umlatti dan Fapofapo. Hak ulayat yang mereka miliki berbatasan dengan Kampung Umera di sungai Tuan hingga Tanjung Safa. 

Hamdalah bilang, sejak berstatus desa, batas administrasi wilayah ulayat mengikuti ketentuan pemerintahan desa. “Sekarang tong (kita) coba perbaiki. Wilayah administrasi desa beda dengan hak ulayat, agar setelah tambang  berakhir, bisa kembali ke kampung,” jelasnya.

Tetua Kampung Sanof Kacepo, Abdulajid Fatah Umsipiat katakan, ketentuan adat mengikuti sistem adat Sangaji yang dibawa dari Kesultanan Tidore ke Pulau Gebe. Kala itu, Maba, Wasilei, Bicoli dan Gebe, disebut Gam Ramrange, sebuah daerah otonom dari Kesultanan Tidore. 

Sultan Tidore ke-23, Achmad Mansur Sirajuddin Syah yang memerintah pada 1821-1856 mengeluarkan surat mengenai Pulau Gebe tentang hak ulayat. Surat ini tertanggal 6 Rajab 1241 Hijriyah. Gebe dari utara, selatan, timur hingga barat bagian wilayah Kesultanan Tidore. 

Menurut Guru Besar Hukum Adat Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Husen Alting, masyarakat hukum adat memiliki tiga kriteria, yakni masyarakat, wilayah hukum, dan pranata adat. 

“Jadi, ada pranata dan komunitasnya. Dengan begitu, perusahaan seharusnya tidak bisa begitu saja mengabaikan mereka. Istilah di masyarakat adat itu tidak ada tanah yang tidak bertuan,” jelasnya. 

Di Gebe, pranata adat tersebut terus tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan adanya eksistensi Sangaji Gebe dan Sangaji Patani dan Gimelaha (kepala kampung).

Perbukitan di Pulau Gebe yang mulai dibuka untuk tambang nikel. Tampak hutan yang dibabat. Foto: M. Jaya Barends.

Picu Deforestasi

Sore itu, perbukitan Pulau Fau masih ramai dengan aktivitas hilir-mudik truk mengangkut nikel. Sekop eksavator terlihat lincah mengeruk tanah di ujung bukit yang kian menyusut.

Pulau dalam gugusan Kepulauan Gebe itu hanya berjarak 475 meter dari Desa Kacepo. Sejak Juni 2024, PT Aneka Niaga Prima (ANP) menambang di lahan seluas 459,66 ha. 

Aktivitas perusahaan sebelumnya mendapat penolakan dari para aktivis lingkungan. Mereka menilai kegiatan tersebut berpotensi merusak ekosistem, biota laut serta mencemari lingkungan.

Mongabay mengunjungi Pulau Gebe pertengahan Desember 2024. Saat malam hari, terlihat tongkang mondar-mandir mengangkut ore nikel di perairan. 

Seorang pekerja tambang menyebut, hasil kerukan ore nikel perusahan-perusahaan tambang Pulau Gebe itu di bawa ke IWIP. ”Dibawa ke Weda,” jelasnya.

Weda yang dimaksud pekerja itu adalah Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), kawasan Industri terpadu untuk pengolahan logam. Lokasinya ada di Desa Lelief, Kecamatan Weda, Halmahera Tengah, Malut.

Di IWIP, pengolahan dilakukan oleh PT Halmahera Persada Lygend dan PT Huafei melalui teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Perusahaan patungan itu disebut memiliki kapasitas pengolahan terbesar di dunia. 

Keberadaan IWIP merupakan kelanjutan dari kebijakan hilirisasi nikel untuk meningkatkan nilai tambah. Bijih nikel diolah menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP), salah satu baku baterai kendaraan listrik.

Sayangnya, hilirisasi yang banyak dibanggakan pemerintah justru sarat persoalan di lapangan. Seperti pengabaian hak masyarakat adat, pencemaran, hingga memicu deforestasi, sebagaimana riset Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) tahun 2023

Analisa Forest Watch Indonesia (FWI) mengamini hal itu. FWI sebut, tutupan hutan di Pulau Gebe susut 62,61 hektar dalam kurun 2022-2023 akibat tambang nikel. Selain Gebe, beberapa pulau yang turut dikeruk di antaranya Pulau Fau, Pulau Gee,  Pulau Pakal, Pulau Mabuli dan Pulau Malamala. 

Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Yoga mengkritik konsesi nikel di pulau-pulau kecil di Malut. Hal itu bertentangan dengan UU 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K). 

Selain melanggar UU, tambang di pulau kecil hanya akan meningkatkan kerentanan. Tidak hanya pulau itu sendiri, tetapi juga penghuni di dalamnya. 

“Perusahaan enak. Saat sumber dayanya habis, mereka tinggal pergi. Masyarakat di dalamnya hanya dapat kesengsaraan karena tak ada lagi yang bisa dimanfaatkan.” 

*Liputan ini merupakan fellowship transisi energi berkeadilan yang didukung Remotivi dan WRI Indonesia.

Referensi:

Helza Nova Lita dan Fatmie Utarie Nasution [2021].’ Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan’.  Lex Jurnalica Vol. 10 No. 3. 

Husen Alting [2013].’Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara: Rakyat Versus Penguasa Dan Pengusaha’. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2. 

***

Foto utama: warga Pulau Gebe tergantung kepada sagu sebagai sumber pangan pokoknya, Foto: M Jaya Barends

Nasib Warga Kala Tambang Nikel Kuasai Pulau Kabaena

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|