- Amsakar Achmad, Kepala BP Batam begitu riang gembira merespons terbitnya aturan baru yang dinilainya mempermudah proses pelepasan kawasan hutan untuk investasi. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2025 tentang Penataan Penyediaan Lahan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
- Sejumlah pihak menilai, reaksi Amsakar menunjukkan yang bersangkutan tak peka dan tidak memahami persoalan mendesak di Batam, terutama dampak dari terus berkurangnya tutupan hutan. Padahal, intensitas banjir di Batam belakangan salah satunya hilangnya tutupan hutan di pulau kecil yang luasnya hanya 415 kilometer persegi ini.
- Ahmad Fauzi, dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan (LBH MK) sayangkan sikap Amsakar. Menurutnya, pemerintah Kota Batam seharusnya melakukan moratorium pelepasan untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Gencarnya investasi di Batam justru ancam masa depan penghuni pulau akibat bencana yang semakin intens.
- Prayoga, Pengkampanye Hutan Forest Watch Indonesia (FWI) BP Batam harus melihat kawasan Kota Batam sebagai pulau-pulau kecil, yang secara aturan dibatasi tata ruangnya untuk pembangunan. Pasalnya, pulau kecil memiliki DAS (daerah aliran sungai) kecil, pendek dan sempit, waktu retensi air hujan jatuh ke muara lebih cepat, punya resiko terjadi bencana lebih besar dibandingkan pulau-pulau besar.
Amsakar, Kepala BP Batam begitu riang gembira merespons terbitnya aturan baru yang bakal mempermudah proses pelepasan kawasan hutan untuk investasi. Padahal, intensitas banjir di Batam belakangan salah satunya hilangnya tutupan hutan di pulau kecil seluas hanya 415 kilometer persegi ini.
“Tentu peraturan ini menjadi semangat baru bagi kami di BP Batam, dalam memberikan kontribusi peningkatan investasi di Kota Batam,” katanya juga Wali Kota Batam dalam siaran persnya, Selasa (6/5).
Peraturan yang dimaksud Amsakar adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21/ 2025, tentang Penataan Penyediaan Lahan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Dengan aturan ini, dia bisa langsung mengajukan permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam ke Menteri Kehutanan.
Sedangkan pimpinan badan hukum atau perorangan, kelompok orang, dan, atau masyarakat, permohonan kepada Menteri LHK melalui Kepala KPBPB (Kepala BP Batam).
“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah pusat yang telah memberikan perhatian besar untuk Kota Batam. Kewenangan ini tentunya memberikan kemudahan berinvestasi, ujungnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat,” ujar politisi Partai Nasdem ini.

Kemudahan pelepasan kawasan hutan ini juga Amsakar sampaikan di depan pertemuan dengan ratusan pengusaha di Kantor BP Batam, pertengahan April 2025. “Terkait hutan lindung, sebelumnya di provinsi, sekarang cukup rekomnya dari Kepala BP Batam,” katanya.
Ahmad Fauzi, dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan (LBH MK) sayangkan sikap Amsakar. Menurut dia, pemerintah Kota Batam seharusnya melakukan moratorium pelepasan untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. “Bukan malah bergembira dengan aturan baru itu.”
Fauzi bilang, Perpres 21/2024 ini hanya mempercepat deforestasi di Kota Batam. Padahal, dampak dari berkurangnya tutupan hutan mulai dirasakan warga, terutama banjir yang makin parah. “Dengan keleluasaan pelepasan kawasan hutan ini, kita hanya tinggal menunggu waktu Batam tenggelam,” katanya.
Hendrik Hermawan, Pendiri Akar Bhumi Indonesia ungkapkan hal serupa. “Bagi investor aturan itu memang membahagiakan, namun menyisakan ketakutan bagi kami,” katanya, Senin (12/5/25).
Kota Batam terdiri dari pulau-pulau kecil yang memiliki daya tampung dan daya dukung terbatas. Namun, di waktu yang sama, Batam dituntut untuk menyediakan ruang untuk ambisi investasi yang ujungnya merugikan masyarakat.
Demi mengejar ambisi itu pula, kata Hendrik, kawasan hutan dibuka. Antara lain, hutan konservasi Muka Kuning, hutan lindung Tembesi dan hutan lindung Nongsa. Padahal, beberapa kawasan itu merupakan area tangkapan yang berperan penting dalam menyediakan air baku warga Batam.
Karena itu, Hendrik meminta pemerintah mengkaji ulang Perpres 21/2025. “Perubahan kawasan hutan di pulau-pulau kecil di Kota Batam demi mengejar target investasi akan berdampak buruk bagi daya dukung lingkungan Kota Batam di masa depan. Prosesnya mesti dipersulit, bukannya dipermudah.”
Gagal paham
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara menilai BP Batam gagal memahami Perpres 21/2025 itu. Aturan itu tidak memberikan kewenangan apapun kepada BP Batam untuk melepas kawasan hutan, tetapi tetap melalui gubernur yang ajukan kepada Kementerian Kehutanan.
Dia bilang, standar utama pembangunan adalah daya dukung dan daya tampung wilayah agar tidak menimbulkan berbagai dampak. Selain itu, kepatuhan pada peruntukan tata ruang dan tata wilayah. “Nah tata ruang dan tata wilayah ini harus menempatkan perlindungan kawasan hutan sebagai perlindungan utama.”
Menurutnya, Perpres 21/2025 ini banyak menyalin ketentuan undang-undang 32/2009 soal lingkungan hidup. BP Batam hanya membaca Pasal 16 dan 17 untuk disampaikan ke publik, tetapi lupa membaca norma yang berlaku di atasnya.
“Itu mestinya dibaca lebih lanjut oleh BP Batam, bukan berarti BP Batam bisa bebas melepas status kawasan hutan,” katanya.
Pada Pasal 13 misal, pelepasan kawasan hutan hanya untuk lahan tidak produktif dengan syarat lahan yang tidak berhutan lebih dari 70 persen. Pada pasal 17 ayat 2 juga dinyatakan bahwa dalam rancangan aturan RTRW terdapat usulan perubahan kawasan hutan, wajib menyampaikan perubahan kepada menteri.
“Bukan berarti, ini kawasan hutan lindung akan dibangun, tidak bisa langsung diajukan pelepasan, perubahan itu harus dalam bentuk Perda RTRW. Jadi masih tetap lewat gubernur, cuma sebelumnya usulan bisa dari investor ke gubernur.”
Setelah dari gubernur lalu ke menteri. “Sekarang pengusaha bisa mengusulkan ke BP Batam, BP Batam buat perencanaan perubahan kawasan hutan, usulkan ke gubernur, gubernur baru ke menteri,” kata Roni.
Selain itu, perubahan kawasan juga harus melalui perubahan tata ruang, tidak serta merta. Misal, investor hendak bangun hotel di bukit yang banyak hutan, tidak bisa serta merta BP Batam mengusulkan pelepasan kawasan hutan.
“Daya dukung dan daya tampung itu indikator, ketika kemampuan daerah tidak bisa menyerap air hujan, berarti daya tampung dan dukungnya itu telah berkurang.”
Roni mengusulkan, jika Batam butuh lahan untuk investasi, lebih baik memanfaatkan lahan terlantar. “Itu yang harus diperbaiki, bukan dengan membuka areal baru atau permintaan menurunkan status kawasan, karena banyak lahan-lahan terlantar,” katanya.
Menurunnya daya tampung dan daya dukung hanya akan berdampak kepada masyarakat yang tinggal di Batam. “Ada manusia yang menjadi korban dan terdampak, harusnya itu fokus utama, jangan alasan percepatan investasi keselamatan dan kesehatan lingkungan lalu diabaikan.”
Dia juga memberikan catatan kepada Kementerian Kehutanan agar tidak menurunkan status kawasan tanpa melihat kajian dan kondisi lapangan. “Kalau bicara soal tujuan dari peraturan presiden itu, tujuannya penyelesaian tanah dan penataan kawasan hutan, perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial, serta perubahan peruntukan hutan di wilayah BP Batam,” katanya.
Kalau ada kawasan hutan sudah dimanfaatkan, mesti cek izin , apakah izin kawasan hutan sudah ada duluan. Kalau izin kawasan hutan baru, maka luas kawasan hutan yang mengalah. “Tetapi penciutan kawasan hutan tetap harus berdasarkan ukuran daya dukung dan daya tampung lingkungan,” katanya.
Anggi Prayoga, Pengkampanye Hutan Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, BP Batam harus melihat Kota Batam sebagai pulau-pulau kecil, yang secara aturan dibatasi tata ruangnya.
“Pulau kecil memiliki DAS (daerah aliran sungai) kecil, pendek dan sempit, waktu retensi air hujan jatuh ke muara lebih cepat, punya resiko terjadi bencana lebih besar dibandingkan pulau-pulau besar,” katanya.
Kerap terjadi, kebijakan tata ruang bias pulau besar, padahal pulau kecil perlu pengaturan khusus. “Sayangnya pasca UU Cipta Kerja, tidak ada batasan kawasan hutan di pulau, dihilangkan aturan pulau-pulau kecil minimal terdapat 30 persen kawasan hutan,” katanya.
Seharusnya, semua kebijakan Indonesia ini harus tunduk pada Undang-undang pulau kecil, jangan mentang-mentang sebuah pulau itu kawasan hutan boleh dikupas sembarangan. “Apalagi sekarang ada nama PSN, tidak boleh atas nama PSN bisa menggunduli hutan.”
Menurut Yoga, sasaran BP Batam adalah pelepasan kawasan hutan lindung, pasalnya kalau kawasan hutan produksi punya leluasa pengajuan pelepasan kawasan hutan melalui skema Permen 7 tahun 2021. Makanya kemudian terdapat pembangunan di dalam kawasan hutan, seperti bandara hingga pertambangan.
“Kemungkinan yang akan dilepaskan hutan yang memiliki fungsi ekologis. Pemerintah Batam jangan orientasi ekonomi justru juga harus diperhatikan fungsi ekologis, yang dilindungi undang-undang setiap orang memiliki hak atas lingkungan layak. Jangan sampai cederai hak-hak konstitusi masyarakat Kota Batam.”

Hutan lindung tergerus
Akar Bhumi Indonesia menyebut, selama 2015-2025, tutupan hutan di Batam terus menyusut. Pada 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 76/MenlhkII/2015 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ±207.569 hektar di Kepri tertanggal 6 Maret 2015.
Pada 2018, Men-LHK kembali terbitkan SK tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi bukan Kawasan Hutan seluas sekitar 330 hektar dan ubah fungsi kawasan hutan dari Taman Buru Rempang seluas ±7.560 hektar menjadi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Kemudian, pada 2023, terbit lagitahun 2023 tentang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi untuk pengembangan Kawasan Rempang seluas 7.572 hektar.
Berikutnya, tahun lalu, berkaitan dengan rencana perubahan review tata ruang Kepri, Menteri LHK ubah fungsi kawasan hutan melalui SK 170/2024. Rinciannya, di Natuna, dari hutan lindung menjadi non kawasan hutan seluas sekitar 105 hektar; dari hutan lindung menjadi hutan produksi tetap seluas ±964 hektar yang ada di Pulau Bunguran, Natuna; Pulau Kundur, Kabupaten Karimun, dan sebagian Pulau Batam.
Berdasar data FWI, saat ini, luas hutan di Batam tersisa sekitar 29.148 hektar. Rinciannya, 22.740 hektar untuk hutan lindung; 2.362 hektar hutan produksi, dan 3.546 hektar hutan konservasi.
*****
Hutan Mangrove dan Bukit Hilang Demi PSN di Pulau Kecil Batam