- Sebanyak 6.372 fosil vertebrata dan dua fragmen tengkorak Homo erectus ditemukan di dasar laut Selat Madura, menandai catatan arkeologi pertama dari kawasan Sundaland yang kini tenggelam.
- Penanggalan OSL menunjukkan usia antara 146.000 hingga 131.000 tahun lalu, dari masa ketika Selat Madura masih berupa sabana daratan dengan sistem sungai purba Bengawan Solo.
- Fosil yang ditemukan mencakup gajah purba, kerbau raksasa, rusa besar, badak, hiu sungai, hingga Komodo, serta bukti perilaku pemrosesan tulang oleh Homo erectus—mengungkap lanskap hidup prasejarah yang sangat kaya dan kompleks.
Arkeolog dari sejumlah lembaga menemukan peninggalan fosil dari 36 spesies vertebrata di dasar laut Selat Madura, Jawa Timur. Di antara ribuan temuan itu, dua fragmen tengkorak Homo erectus menjadi sorotan utama. Ini merupakan pertama kalinya fosil vertebrata—termasuk manusia purba—ditemukan di dasar laut wilayah Indonesia.
Lokasi penemuan ini dulunya adalah bagian dari Sundaland, daratan luas Asia Tenggara pada zaman Pleistosen. Wilayah yang sekarang menjadi laut itu dahulu terdiri atas padang sabana, hutan riparian, dan sungai-sungai besar—menjadi pusat kehidupan fauna purba dan manusia awal. Penurunan permukaan laut pada zaman es memungkinkan Homo erectus menyebar ke dataran rendah yang sebelumnya tak terjamah.

Menurut Dr. Sofwan Noerwidi, Kepala Pusat Riset Arkeometri BRIN dan peneliti utama Indonesia dalam proyek ini, penemuan ini merupakan bukti penting persebaran manusia purba di wilayah yang kini terendam: “Ini merupakan bukti pertama persebaran Homo erectus di dataran rendah Paparan Sunda yang kini terendam di bawah laut.”
Konteks Geologis dan Lokasi Penemuan Fosil
Penemuan berawal dari proyek pengerukan pasir laut oleh PT Berlian Manyar Sejahtera (BMS) di Selat Madura. Dalam lapisan sedimen fluvial purba, tim peneliti menemukan dua fragmen tengkorak manusia purba dan lebih dari 6.000 tulang vertebrata. Total terdapat 6.372 spesimen yang berhasil diidentifikasi.
Dua sampel dari lapisan batu pasir fluvial dianalisis menggunakan metode Optically Stimulated Luminescence (OSL). Hasilnya menunjukkan usia masing-masing 162 ± 31 ribu tahun dan 119 ± 27 ribu tahun, dengan rentang paling konsisten pada 146.000–131.000 tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa Homo erectus hidup di kawasan ini menjelang akhir Marine Isotope Stage (MIS) 6, saat laut surut dan Sundaland menjadi daratan luas.
Baca juga: Tenggelamnya Savana Sundaland, Hilangnya Spesies Megafauna di Pulau Bangka
Distribusi dan Perilaku Homo erectus di Kawasan Bengawan Solo
Sebelumnya, Homo erectus hanya diketahui dari situs daratan seperti Sangiran, Trinil, dan Ngandong. Temuan-temuan ini telah lama membentuk asumsi bahwa Homo erectus hidup terbatas dalam wilayah dataran tinggi atau terisolasi oleh topografi Pulau Jawa. Namun penemuan dua fragmen tengkorak di dasar laut Selat Madura mengubah persepsi tersebut secara drastis. Kini diketahui bahwa Homo erectus juga menjelajah hingga wilayah dataran rendah yang lebih luas dan subur—termasuk lembah Bengawan Solo purba yang dulu mengalir menuju pantai utara Jawa Timur.

B: Jawa Timur, Selat Madura, Surabaya, Sungai Bengawan Solo, dan situs-situs lain yang disebutkan dalam teks. Kotak menunjukkan posisi pada peta C.
C: Selat Madura di utara Surabaya, dengan area ekstraksi pasir dan lokasi reklamasi lahan BMS.
Sumber data peta: GEBCO dan ALOS
Bengawan Solo, sebagai salah satu sungai purba terpanjang di Asia Tenggara, berfungsi seperti koridor ekologis alami yang menyediakan akses terhadap air tawar, bahan pangan, serta rute migrasi bagi manusia purba dan berbagai hewan. Penemuan ini memberikan bukti nyata bahwa Homo erectus memanfaatkan lingkungan ini secara aktif.
Menurut Harold Berghuis, arkeolog dari Universitas Leiden yang memimpin analisis morfologi fosil, manusia purba ini tidak hidup secara pasif. “Sepanjang sungai, mereka bisa mendapatkan air, kerang, ikan, buah, dan biji-bijian sepanjang tahun. Kami juga menemukan bekas potongan pada tulang kura-kura dan banyak tulang sapi yang patah, yang menunjukkan perburuan dan konsumsi sumsum tulang,” jelasnya.

Jejak pemotongan dan pembelahan tulang menunjukkan bahwa Homo erectus tidak hanya mengandalkan sisa-sisa hewan, tetapi aktif berburu dan mengolah sumber protein. Praktik ini memperkuat dugaan bahwa mereka memiliki strategi subsistensi yang kompleks dan adaptif terhadap kondisi ekosistem tropis. Bahkan, beberapa teknik pemrosesan tulang yang ditemukan menyerupai perilaku hominin dari daratan Asia bagian utara dan barat, membuka kemungkinan adanya pertukaran budaya atau kontak antara kelompok manusia purba lintas wilayah.
Secara keseluruhan, perilaku Homo erectus di kawasan Bengawan Solo menunjukkan tingkat mobilitas tinggi, keterampilan adaptif yang canggih, serta pemahaman ekologis terhadap lanskap tempat mereka hidup. Ini memperluas pemahaman kita bahwa Homo erectus bukan hanya penghuni statis pulau, melainkan penjelajah aktif yang mampu memanfaatkan sumber daya di berbagai zona lingkungan di wilayah Sundaland.
Komposisi Fauna dan Ekosistem Pleistosen
Selain fosil manusia purba, lebih dari 36 taksa vertebrata berhasil diidentifikasi dari situs ini. Fauna tersebut merepresentasikan ekosistem sabana tropis yang kompleks dan seimbang.

Di antaranya adalah:
- Stegodon trigonocephalus, gajah purba dengan molar bergelombang dan banyak ridges. Fosil geraham yang ditemukan menunjukkan adanya median cleft dan jumlah lamellae yang tinggi, ciri khas subspesies terakhir Stegodon di Jawa.
- Elephas hysudrindicus, leluhur gajah Asia modern, dikenali dari geraham atas yang tinggi dan sempit, dengan struktur lamella lebih rapat dibanding gajah modern. Beberapa gigi menunjukkan transisi metrik antara E. hysudrindicus dan E. maximus.
- Bubalus palaeokerabau, kerbau liar berukuran besar dengan lebih dari 100 spesimen tulang, termasuk tanduk besar dan astragalus serta metapodial dengan struktur sendi yang lebar. Morfologi ini menandakan postur tubuh masif dan adaptasi terhadap padang rumput terbuka.
- Rusa sp., dengan ukuran besar mendekati atau melebihi Rusa unicolor modern. Fragmen metapodial dan molar menunjukkan kemungkinan adanya populasi lokal dengan ukuran tubuh raksasa.
- Rhinoceros sondaicus, badak Jawa purba yang dikenal dari fragmen gigi dan tulang ekstremitas. Kehadiran mereka mengindikasikan keberadaan hutan riparian di sepanjang sungai purba.
- Varanus komodoensis, dua vertebra dorsal dari Komodo purba menunjukkan bahwa persebarannya meluas hingga daratan Jawa, sebelum menyusut ke habitatnya saat ini.
- Glyphis gangeticus dan Hemipristis serra, gigi hiu air tawar dan payau yang ditemukan dalam jumlah puluhan. Menariknya, Hemipristis serra kemungkinan besar merupakan catatan terakhir kehadiran spesies ini dalam sejarah geologis.
Lingkungan ini menyerupai sabana tropis Afrika masa kini, dengan hamparan padang rumput, jalur hutan sempit, dan sungai besar sebagai nadi kehidupan. Keberadaan spesies seperti kuda nil Asia yang kini punah dan Komodo di luar habitat modernnya memperkuat gambaran ini.
Baca juga: Jejak Migrasi Manusia Purba di Nusantara
Metodologi Penelitian dan Pendekatan Multidisipliner
Untuk mengungkap lanskap purba yang tenggelam ini, tim peneliti menggunakan berbagai metode canggih. Teknologi sonar SES-2000 digunakan dalam sub-bottom profiling untuk memetakan lapisan sedimen bawah laut. Pengambilan inti sedimen dilakukan dengan metode vibro-core pada 48 titik lokasi, serta pengeboran dalam dari proyek Jembatan Suramadu hingga 100 meter.

Penanggalan umur endapan dilakukan melalui OSL dengan protokol pIRIR290, yang memungkinkan analisis presisi terhadap pasir fluvial berusia ratusan ribu tahun. Sementara itu, analisis taphonomi dan mikroskopik dilakukan pada ribuan fragmen tulang untuk mengidentifikasi jejak pemotongan, fragmentasi, dan pembelahan.
Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam empat artikel ilmiah di jurnal Quaternary Environments and Humans, dan kini menjadi rujukan penting bagi pengembangan arkeologi bawah laut di Asia Tenggara.
Shinatria Adhityatama, arkeolog maritim dari Griffith University dan anggota tim kolaborasi internasional, menegaskan pentingnya pendekatan ini: “Potensi arkeologi bawah laut Indonesia bukan hanya soal kapal karam, tetapi juga menyimpan jejak kehidupan purba yang tenggelam di wilayah kita.”
Implikasi Temuan terhadap Studi Prasejarah Asia Tenggara
Penemuan ini tidak hanya penting secara arkeologis, tetapi juga memicu perubahan paradigma tentang sejarah manusia purba di Asia Tenggara. Jika sebelumnya Homo erectus dianggap hidup terbatas di Pulau Jawa, kini terbuka kemungkinan bahwa mereka pernah menjelajah dan membentuk populasi besar di daratan luas Sundaland yang kini terendam.
Lebih jauh lagi, temuan ini memberi dasar ilmiah untuk eksplorasi wilayah bawah laut lainnya seperti Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Malaka yang mungkin menyimpan catatan prasejarah serupa. Potensi interaksi antara kelompok hominin Asia daratan dan populasi di Sundaland juga menjadi tema penting dalam kajian evolusi manusia ke depan.
Sebagaimana dikatakan Dr. Noerwidi, temuan ini hanya awal dari eksplorasi lanjutan. Ia menyebut, “Sundaland merupakan kawasan penting dalam kerangka prasejarah Kuarter yang perlu dieksplorasi lebih jauh dengan pendekatan multidisiplin dan teknik penelitian arkeologi bawah air.”
Penemuan 6.372 spesimen fosil vertebrata dan dua fragmen tengkorak Homo erectus di dasar laut Selat Madura memperluas cakupan sejarah manusia purba di Asia Tenggara. Dari sungai purba Bengawan Solo yang kini terkubur di bawah laut hingga jejak ekosistem tropis yang kaya, temuan ini menghadirkan jendela baru menuju masa lalu.
Referensi
- Berghuis, H., et al. (2025a). Human ancestors and fossil fauna from the submerged Solo River valley, Madura Strait, Indonesia. Quaternary Environments and Humans, 1(1), 100040. https://doi.org/10.1016/j.qeh.2024.100040
- Berghuis, H., et al. (2025b). Fossil elephants from the submerged Solo River valley (Madura Strait, Indonesia). Quaternary Environments and Humans, 1(1), 100045. https://doi.org/10.1016/j.qeh.2024.100045
- Berghuis, H., et al. (2025c). Taphonomic and taxonomic overview of Late Middle Pleistocene fossil vertebrates from the Madura Strait (Indonesia). Quaternary Environments and Humans, 1(1), 100053. https://doi.org/10.1016/j.qeh.2024.100053