- Peraturan Presiden Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut belum efektif mengatasi sampah laut di Indonesia. Terutama dari alat penangkapan ikan (API) sudah tidak terpakai, dibuang, atau hilang di tengah laut (abandoned, lost or otherwise discarded fishing gear/ALDFG).
- Setiap nelayan dan kapal perikanan akan berusaha untuk menjaga API yang dioperasikan tetap dalam kondisi terbaik, sehingga bisa terus dipakai dalam jangka waktu yang panjang. Itu juga akan menghemat ongkos produksi penangkapan ikan
- Namun, saat upaya tersebut dilakukan, nelayan mengakui mereka harus mengalami apa yang disebut API hantu. Sebutan itu merujuk pada sampah alat tangkap yang ditinggalkan, alat tangkap hilang, dan alat tangkap yang dibuang
- API hantu atau dikenal dengan singkatan asing ALDFG, menjadi persoalan serius di perairan laut Indonesia. Keberadaannya menjadi bahaya yang bisa mengancam kapan saja ekosistem laut dan keberlangsungan hidup biota laut
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut belum efektif mengatasi sampah laut di Indonesia. Terutama dari alat penangkapan ikan (API) sudah tidak terpakai, dibuang, atau hilang di tengah laut (abandoned, lost or otherwise discarded fishing gear/ALDFG).
Idnillah, Direktur Kapal dan API Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, keberadaan ALDFG alias ghost gear masih menjadi persoalan sampai kini. Ia tak sekadar sampah bagi lautan, juga berdampak buruk pada ekosistem laut, sumber daya ikan , dan masyarakat pesisir.
“Dampak buruk yang bisa timbul itu lebih jauh bisa mengancam spesies laut yang menjadi target tangkapan ataupun bukan. Juga, bisa membunuh hewan-hewan laut, termasuk spesies yang statusnya dilindungi,” katanya, belum lama ini.
ALDFG juga bisa mengancam terumbu karang dan kawasan dasar laut. Pada manusia, ancaman mengintai melalui kapal-kapal yang sedang berlayar. Selain itu, sampah plastik, ALDFG bisa mengotorinya wilayah pesisir dan pantai.
Menurut Idnillah, KKP sudah menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 130/ 2023 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Sampah Plastik Sektor Kelautan dan Perikanan. Beleid itu menjadi satu instrumen penanganan ALDFG secara sistematis, terukur, dan terintegrasi.

Pada Desember 2024, KKP juga menerbitkan Surat Edaran Nomor tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Plastik dari API dan Implementasinya. SE ini juga untuk mendukung target pemerintah guna mengurangi sampah laut hingga 70% pada 2025.
Dominic Thomson, Regional Director for Southeast Asia at the Environmental Justice Foundation (EJF) menjelaskan, ALDFG tak hanya mengancam kehidupan laut juga, mengganggu mata pencaharian masyarakat pesisir. “Mereka ini sangat bergantung pada laut yang sehat dan lestari.”
Sebagai negara maritim, API yang tidak terpakai menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Mereka mendorong kumpulkan limbah API untuk daur ulang.
EJF berupaya melakukan pendampingan daur ulang API ini. Di Thailand dan Ghana, proyek itu sudah berlangsung sejak 2020 dan 2021. Sedangkan di Indonesia, baru sejak 2022. “Sampai sekarang sudah 10 ton kami mengumpulkan dan mendaur ulang peralatan penangkapan ikan plastik di seluruh Indonesia,” katanya.
Lingga Prawitaningrum, Ketua Kelompok Kerja Alat Penangkapan Ikan KKP menjelaskan, API dari bahan plastik sulit terurai di air. Itu berisiko mencemari laut, mengancam kelestarian ikan dan lingkungan, bahkan mengancam keselamatan operasional kapal dan manusia.
Untuk itu, katanya, perlu berbagai upaya mencegah API bekas menjadi timbunan di laut,. Termasuk, melalui pengelolaan, inspeksi, perumusan API standar nasional Indonesia (SNI), serta kolaborasi dengan mitra.

Polusi Laut
Mochammad Riyanto, Pengajar Departemen Pemanfaatan Sumber daya Laut IPB Univerisity menyebut, keberadaan alat tangkap hantu sebutan lait ALDFG, adalah salah satu sumber polusi laut.
Setiap tahun, 640 ton alat tangkap ikan dinyatakan hilang atau nyangkut di laut. Dari semua API hantu, jaring insang paling banyak menyumbang.
Untuk mengetahui lebih detail tentang API hantu di perairan Indonesia, IPB University pernah studi di enam daerah, yaitu, Pemalang dan Cilacap (Jawa Tengah), Pangandaran, Cirebon, dan Indramayu (Jawa Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta), dan Karang Antu (Banten).
Studi ini untuk menghitung berapa perkiraan API hantu dengan jaring insang dan bubu. Juga, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab API hantu pada perikanan
jaring insang dan bubu, serta merumuskan upaya mitigasi untuk mencegah dan mengurangi jumlah yang hilang.
temuan studi itu, setiap bulan sedikitnya 18 API hantu muncul di laut dengan berbagai sebab. Dalam setahun, API hantu muncul di perairan beberapa daerah mencapai 28.178 unit, setara kerugian Rp507.204.000.
Ada beberapa alasan kenapa API hantu bervariasi dan cenderung terus bertambah banyak dari waktu ke waktu. Di antaranya, karena faktor manusia dan alam yang tidak disengaja. Namun, konflik dengan API lain menjadi perhatian utama, dan kelalaian dari operator yang mengoperasikan kapal.
Adapun, konflik yang dimaksud adalah berkaitan dengan daerah penangkapan ikan yang melebihi 4 mil laut dari bibir pantai. Kemudian, konflik karena target tangkapan ikan yang sama, yaitu demersal, cumi-cumi, udang, dan kepiting renang biru, serta API jaring insang yang ditarik oleh pukat mini.
Riyanto mengatakan, satu-satunya cara agar konflik bisa diselesaikan dan diantisipasi adalah dengan melakukan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat pesisir dan nelayan.

Hanif Arzaq, Indonesia Plastic Project Coordinator EJF Indonesia mengatakan, ALDFG adalah bagian dari polusi penangkapan ikan di laut. Selain ALDFG, polusi juga mencakup end of life fishing gear (EOLFG), yaitu API yang sudah habis masa pakai dengan komponen rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Dia menyebutkan, saat nelayan skala kecil kehilangan alat tangkap, maka akan timbul kerugian secara ekonomi. Sebagai contoh, untuk API jaring rajungan yang biasa dipakai oleh nelayan, kerugiannya bervariasi menyesuaikan daerah.
Di Rembang, Jawa Tengah misalnya. Dari 97 API yang digunakan nelayan kecil, mereka bisa mengalami API hantu dengan rata-rata 7,76 kali dan kerugian Rp1,7 juta per tahun. Sebaliknya, di Serang (Banten) untuk API yang sama mengalami kerugian lebih besar mencapai Rp4 juta per tahun.
Di Indonesia, 10 ton API hantu yang terkumpul menjadi pendapatan tambah bagi nelayan senilai Rp81 juta, dan tambahan pendapatan senilai Rp1,8 juta bagi koordinator kelompok.
Hanif mendorong pemerintah mengembangkan kerangka pencegahan ALDFG yang berpusat pada pengelolaan API habis masa pakai berbasis masyarakat, dengan menjadikan nelayan skala kecil sebagai aktor utama bersama dengan pemangku kepentingan lainnya. Tujuannya, agar ALDFG bisa dikelola secara keberlanjutan dengan model ekonomi sirkular.
Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas perbaikan dalam prosesnya. “Juga, penyimpanan, dan penanganan akhir di pelabuhan perikanan dan pusat komunitas nelayan skala kecil sebagai infrastruktur esensial untuk pengelolaan alat penangkapan ikan yang efektif.”
Hal lain yang juga harus pemerintah lakukan dengan memberikan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi nelayan mengenai pencegahan ALDFG dan pengelolaan API habis masa pakai. Lalu, memperkuat regulasi SNI untuk API yang beredar di pasar, baik yang diproduksi secara domestik maupun impor.
Selanjutnya, pemerintah harus memperkuat mekanisme penegakan PermenKP No. 36 Tahun 2023 sebagai tindakan pencegahan terhadap kehilangan API yang diakibatkan oleh konflik alat tangkap. “Harus mengintegrasikan pengelolaan alat penangkapan ikan dalam Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut pasca-2025.”
*****