Parijoto, Tumbuhan Simbol Konservasi Khas Gunung Muria

3 days ago 12
  • Parijoto merupakan tumbuhan semak epifit yang berada pada ketinggian 0,45-1,2 meter. Jenis evergreen (hijau abadi) ini memiliki batang dan cabang berkayu hijau.
  • Biasanya, parijoto tumbuh liar di lereng gunung atau hutan, serta dibudidayakan untuk dijadikan tanaman hias yang juga menghasilkan buah, termasuk di Gunung Buahnya mungil merah keunguan. Dipercaya buahnya membawa berkah bagi mereka yang ingin memiliki keturunan.
  • Triyanto, petani asal Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tak lagi menjadikan buah prijoto sekadar simbol spiritual, tapi juga menjadi peluang ekonomi berkelanjutan. Dia menolahnya menjadi sirup, permen, teh, bahkan kombucha.
  • Masa depan pertanian bukan hanya soal produksi, tapi juga keberlanjutan. Parijoto menawarkan keduanya. Selain memiliki makna spiritual, tanaman ini juga punya nilai sosial, ekonomi, sekaligus konservasi.

Triyanto (40) bergegas menuju kebunnya di Gunung Muria. Lelaki ini bukan petani biasa, melainkan juga pegiat lingkungan, yang sejak lama jatuh cinta pada tanaman liar khas Muria.

Satu yang paling dibanggakan adalah parijoto (Medinilla speciosa), tumbuhan yang dia budidayakan.

“Buahnya mungil merah keunguan. Dipercaya membawa berkah bagi mereka yang ingin memiliki keturunan. Sebelumnya, hanya bisa ditemukan di hutan,” ujarnya, pertengahan Maret 2025.

Namun, di tangan petani asal Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, buah parijoto mendapat makna baru. Tak lagi sekadar simbol spiritual, tapi menjadi peluang ekonomi berkelanjutan.

“Kami olah menjadi sirup, permen, teh, bahkan kombucha,” ujar Ketua Kelompok Tani Parijoto Muria ini.

Baca: Bukan Hanya Wisata Religi, Kopi Muria Bisa Jadi Andalan

Triyanto, petani sekaligus pegiat lingkungan tampak memetik buah parijoto di kebunnya di pegunungan Muria. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Parijoto pertahankan fungsi ekologis hutan

Bagi Triyanto, berkebun bukan hanya soal panen, tetapi juga menciptakan harmoni manusia dengan alam. Itu sebabnya, dia tidak membuka lahan dengan cara menebang pohon atau membakar semak hanya untuk parijoto.

“Justru bagus di tempat teduh. Sangat sesuai ditanam di bawah pepohonan besar. Tidak perlu merusak, cukup merawat.”

Dengan pendekatan ini, dia turut melestarikan tutupan vegetasi di lereng Muria. Model tanam ini juga menjaga mikroklimat dan mempertahankan fungsi ekologis hutan, termasuk menjaga sumber air dan kesuburan tanah.

“Yang menarik, tanaman ini tidak bisa dipaksa pakai pupuk kimia. Bakal mati.”

Baca: Untung Ganda Kopi, untuk Ekonomi dan Konservasi

Buah parijoto berwarna merah keunguan, yang dibudidayakan ini tumbuh subur di sela rimbunnya pepohonan di pegunungan Muria. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Parijoto merupakan tumbuhan semak epifit yang berada pada ketinggian 0,45-1,2 meter. Jenis evergreen (hijau abadi) ini memiliki batang dan cabang berkayu hijau.

Daunnya lonjong dengan ujung lancip, dan tulang daunnya melengkung. Sedangkan buah tersusun dalam malai besar dan masing-masing buah berbentuk bulat kecil. Saat masih muda, buah berwarna pink muda namun, makin merah keunguan setelah matang.

Maria dan kolega (2012) dalam tulisan mereka berjudul “Medinilla: An Exotic And Attractive Indoor Plant With Great Value” di Journal of Horticulture, Forestry and Biotechnolog mengungkapkan parijoto merupakan tanaman yang mempunyai karakteristik khas berupa daun dan bunga indah.

“Jenis ini diakui sebagai genus tanaman hutan tercantik di dunia.”

Biasanya, tumbuh liar di lereng gunung atau hutan, serta dibudidayakan untuk dijadikan tanaman hias yang juga menghasilkan buah, termasuk di Muria.

Baca: Inilah Spesies Cecak Batu Baru di Gunung Muria

Parijoto dapat dijadikan berbagai produk olahan, mulai  teh hingga sirup. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Sudianto (42), petani parijoto lain mengatakan, di kalangan masyarakat lereng Muria, buah ini memiliki nilai simbolik dan spiritual yang kuat. Bukan hanya dimaknai sebagai buah hutan.

Atas dasar itu, dia tergoda membudidayakannya. Di lain sisi, sejak tahun 2000-an parijoto makin sulit ditemukan di hutan.

“Mungkin karena banyak diburu buah dan pohonnya, selain juga faktor cuaca dan kondisi hutan yang berubah,” jelasnya.

Awalnya, dia mencari bibit dari hutan dan coba menanamnya di pekarangan rumah. Tujuannya, untuk pelestarian saja.

Seiring waktu, Sudianto menyadari bahwa tanaman ini mempunyai potensi luar biasa. Sejak 2015, dia  mulai menjual bibit secara luas.

“Alhamdulillah, sekarang bisa jadi sumber pemasukan. Ada nilai jualnya.”

Tak hanya bibit, Sudianto juga menjual buah segar meski dalam jumlah terbatas. Sekitar 20-30 kilogram per musim.

Panorama khas Gunung Muria, dengan kompleks makam dan masjid Sunan Muria. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Parijoto memiliki nilai spiritual dan konservasi

Di kebun-kebun di lereng Gunung Muria, parijoto kini tumbuh berdampingan dengan kopi, alpukat, durian, dan jeruk pamelo. Keberadaannya tidak hanya memberi nilai tambah ekonomi, tapi juga memperkuat tutupan vegetasi.

Menurut data Perum Perhutani, hingga 2019 sekitar 479 hektar hutan di kawasan Muria mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan, perambahan, dan praktik pertanian tidak berkelanjutan.

Agus Setiawan, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus, mengatakan pola budidaya parijoto bisa menjadi bagian pelestarian hutan. Karakternya yang tidak mengganggu struktur hutan dan justru mendukung keberadaan pohon-pohon naungan, parijoto bisa masuk skema pertanian konservatif.

“Bersama teman-teman lingkungan, kami petakan kawasan yang harus dikembalikan sebagai hutan murni dan yang bisa dimanfaatkan. Di bawah tegakan, parijoto bisa menjadi solusi,” jelasnya, Senin (8/4/2025).

Agus menjelaskan, masa depan pertanian bukan hanya soal produksi, tapi juga keberlanjutan. Parijoto menawarkan keduanya. Selain memiliki makna spiritual, tanaman ini juga punya nilai sosial, ekonomi, sekaligus konservasi.

“Bersama Bappeda, kami mengusulkan sertifikasi indikasi geografis (IG) untuk parijoto Muria.”

Sertifikasi ini penting untuk melindungi identitas lokal dan mencegah penyalahgunaan nama pihak luar.

“Prosesnya panjang. Kami telusuri asal-usulnya, habitatnya, dan karakteristik tanamannya. Hanya menunggu sertifikat keluar dari Kementerian Hukum,” pungkasnya.

Terekam Kamera: Macan Tutul Mangsa Kucing Kuwuk di Hutan Muria

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|