Perempuan Suku Laut, Penopang Kedaulatan Pangan dari Berakit

4 days ago 20
  • Perempuan Suku Laut di Kampung Panglong, Desa Berakit, Kepulauan Riau, sangat tangguh. Mereka kerap menopang perekonomian keluarga dengan ikut melaut, meski usia sepuh.
  • Monika Sabaria, nelayan perempuan Panglong. Dia  tidak bisa libur melaut meski anak-anaknya sudah meminta berhenti. Selagi masih kuat, dia akan tetap melaut. Suami hanya mencari kepiting di sekitar hutan mangrove dekat pemukiman dengan pemasukan tak menentu. Sehari mencari kepiting, bisa dapat Rp100.000- Rp200.000 . Tak jarang hanya puluhan ribu rupiah.
  • Bila kaum adam berhenti melaut saat musim gelombang besar, perempuan Kampung Panglong justru tetap jadi nelayan, Hanya saja, yang mereka cari ialah kerang dan gonggong. Cukup dengan berjalan kaki di atas pantai sejauh enam kilometer, biota-biota itu mudah terlihat di permukaan.
  • Kehidupan warganya, sekitar 129 keluarga nelayan Kampung Panglong  tergolong menengah ke bawah. Mariah, Ketua RT 01, menyebut, warga bergantung tauke. Harus menjual hasil tangkapan ke tengkulak ini karena mereka membawa sampan dan modal dari tauke

Sadiyah, perempuan Suku Laut, Kampung Panglong, Desa Berakit, Kecamatan Bintan, Kepulauan Riau, bergerak lincah menuruni anak tangga lebih lima meter. Usia 76 tahun tidak terlihat kala dia masuk dan duduk melipat kaki di lumbung sampan yang menunggunya di ujung tangga.

Sampan perempuan nelayan tradisional ini cuma selebar lipatan kaki dalam posisi duduk. Panjang tak lebih dua meter. Tak ada pelindung hujan dan panas. Dia membawa atap daun nipah yang bisa bongkar pasang. 

Dia mendayung sampan  perlahan, bertolak dari dermaga di kampungnya, hendak mencari pumpun di sekitar hutan mangrove sepanjang Sungai Beru buat umpan pancing ikan. 

Meski akrab dengan laut, dia tak pandai berenang. Hal itu tidak menciutkan nyalinya menyusuri sungai seorang diri. Dia pernah tenggelam, beruntung anak perempuannya yang ikut mencari ikan sigap menyambar kepala sang ibu yang sudah terendam air.

“Berdoa yang banyak saja. Walau kita masih mau hidup, tapi kalau Dia (Tuhan) sudah mau mengambil kita apa boleh buat. Beginilah hidup. Kalau tak melaut tak makan. Dari kecil sudah diajarkan melaut,” katanya, 13 Maret lalu. 

Sadiyah merupakan potret rata-rata perempuan Suku Laut di Kampung Panglong yang jadi nelayan meski sudah berusia lanjut. Mereka mendayung sampan, terkadang berdua dan bertiga bersama keluarga. Atau mengendarai sepeda motor ke tepi pantai, lalu berjalan kaki beberapa kilometer ketika pasang sudah kering.

Serupa Monika Sabaria, nelayan perempuan Panglong. Dia  tidak bisa libur melaut meski anak-anaknya sudah meminta berhenti. Selagi masih kuat, dia akan tetap melaut. 

Perempuan 50 tahun itu bilang, badannya justru terasa sakit kalau tak bekerja.

“Makanya walaupun di rumah, saya tetap pegang ini itu, menjelang malam. Daripada duduk, mending kerja selagi mampu,” katanya.

Baginya, ada kepuasan tersendiri kalau  bisa melaut. Hasil  pun bisa untuk kebutuhan dapur dan berbagi rezeki ke para cucu.

Dengan hasil keringat sendiri itu, dia gampang belanja apapun.

“Nikmat jadi perempuan nelayan. Kayaknya kalau di rumah, dua hari saja, tak ada kerja sudah rasa lain badan. Aku pandai rasa. Kalau aku sakit baru aku duduk. Tapi kalau sehat gini, tak bisa aku duduk di rumah.”

Monika tidak bisa menyembunyikan kesulitan ekonomi dalam rumah tangganya. Top, suaminya yang berusia 63 tahun, tidak sanggup lagi mendayung sampan jauh ke laut apalagi berjalan jauh di pantai.

Suami hanya mencari kepiting di sekitar hutan mangrove dekat pemukiman dengan pemasukan tak menentu. Sehari mencari kepiting, bisa dapat Rp100.000 – Rp200.000. Tak jarang hanya puluhan ribu rupiah.

Pasangan ini  terkadang menghabiskan sekitar Rp100.000 seharinya. Untuk ikan, terkadang mereka mengharapkan pemberian tetangga atau anak-anaknya yang menangkap ikan secara tradisional.

“Ibarat pandai-pandailah nak hidup. Dapat sikit, kita makan sikit. Yang penting dapat simpan sikit untuk masa sakit.” 

 Suryadi / Mongabay Indonesia.Monika Sabaria. Belum bisa berhenti menjadi nelayan. Mengaku lebih sehat dan senang berbagi dengan cucu. Foto: Suryadi / Mongabay Indonesia.

Penopang kedaulatan pangan dan ekonomi

Sejatinya, Orang Suku Laut hidup di laut. Mereka lahir dan besar di kajang, sampan khusus menyerupai rumah terapung untuk tempat tinggal, lengkap dengan dapur. 

Meski hidup di laut, mereka tetap singgah ke darat buat belanja keperluan harian, terutama ketika persediaan minum menipis.

Sebenarnya, mereka juga punya rumah di sekitar pantai. Hidup di rumah itu ketika musim angin utara dan gelombang tinggi. Atau berlindung di balik pulau dan sekitar pesisir mangrove.

Walau sudah menetap di daratan, Monika lebih senang tinggal di perahu. Menurut dia, lebih enak tidur karena berangin. Dia menetap penuh di darat, setelah anak sulungnya berusia tujuh tahun dan harus masuk sekolah.

Selain mengerjakan urusan dapur, Monika dan perempuan Suku Laut lain harus mengurus keperluan suami, anak, dan memiliki waktu  mengambil hasil laut. Mereka mendayung sampan  untuk memancing ikan di sekitar hutan mangrove pesisir Berakit.

Bila kaum adam berhenti melaut saat musim gelombang besar, perempuan Kampung Panglong justru tetap jadi nelayan, Hanya saja, yang mereka cari ialah kerang dan gonggong. Cukup dengan berjalan kaki di atas pantai sejauh enam kilometer, biota-biota itu mudah terlihat di permukaan.

Sementara bekarang atau mencari kerang dan sejenisnya saat air surut. Waktunya bisa pagi, siang atau malam sesuai alur pasang surut air laut. 

Siklus ini berlangsung selama satu minggu atau satu toho. Para perempuan nelayan ini tidak memakai peralatan khusus. Hanya berbekal ember dan tanpa sarung tangan. Tak jarang mereka kena sengat duri ikan, bahkan menembus sepatu.

“Durinya lebih keras dari telapak sepatu. Kadang malahan terpegang. Tapi biasanya kepunan (pamalih) kopi saja. Dari orangtua dulu, kalau ada musibah di laut biasanya dikaitkan dengan kopi. Kalau sudah ditawari kopi wajib minum. Setidaknya dicicip sedikit. Tak mau minum tetes saja sedikit dimulut,” kata Kristina, perempuan nelayan Berakit.

Selain kerang, mereka juga berharap banyak pada teripang alias timun laut atau gamat. Hewan invertebrata, Holothuroidea ini musiman. Hanya satu bulan dalam setahun. Paling banyak dan melimpah pada Juli.

Mencarinya pun hanya pada malam hari mulai pukul delapan hingga subuh. Cukup mengandalkan alat penerang. 

“Satu malam, dapat terkumpul satu ember seukuran galon,” jelas Haria.

Selain memakannya, perempuan nelayan Suku Laut Kampung Panglong kini mulai mengolah teripang, terutama teripang kuning, jadi minyak. Mereka menggunakan minyak itu untuk mengobati luka, termasuk menutup jahitan, sejak nenek moyang.

Untuk nelayan tradisional, harga teripang lumayan menjamin. Teripang kering, misal, berharga Rp400.000 per kilogram. Teripang ukuran besar bahkan mencapai Rp1 juta per kilogram.

Pemasarannya juga tidak susah. Selain ada penampung lokal, kini, pembeli dari Tanjungpinang, Batam, hingga Singapura, langsung datang ke Berakit. Sebelumnya, mereka harus antar langsung ke penadah di Tanjungpinang dengan jarak tempuh sekitar dua jam.

Kehidupan warganya, sekitar 129 keluarga nelayan Kampung Panglong  tergolong menengah ke bawah. Mariah, Ketua RT 01, menyebut, warga bergantung tauke. Harus menjual hasil tangkapan ke tengkulak ini karena mereka membawa sampan dan modal dari tauke

“Rata-rata dipotong utang habis tekor. Kadang-kadang pinjam lagi. Itu yang saya dengar dari warga saya. Apa lagi musim angin utara sekarang ini banyak nelayan yang merumahkan diri. Belum lagi hasil laut makin berkurang.” 

Sebagian masyarakat Suku Panglong menjadi penerima berbagai program pemerintah untuk keluarga tidak mampu. Seperti BLT lansia 60 tahun ke atas. Hadir dua kali dalam satu tahun, atau antara April-November, masing-masing  Rp600.000.

Ada  juga  BLT Dana Desa buat keluarga yang memiliki penyakit menahun atau salah satu anggota keluarga tergolong disabilitas. Intinya, kepala keluarga tak bisa lagi mencari nafkah mendapat Rp300 ribu per bulan. Serta, Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) berupa beras.

“Hampir semua warga penerima bantuan. Kita usahakan semua warga tersentuh bantuan pemerintah. Lumayanlah untuk beli cabai dan bawang.” 

 Suryadi / Mongabay Indonesia.Sadiyah, sudah lebih 70 tahun. Masih lincah dan sanggup menyusuri sungai, cari umpan dan memancing ikan. Padahl tak pandai berenang. Foto: Suryadi / Mongabay Indonesia.

Mayoritas nelayan tradisional Kampung Panglong memiliki perahu kecil, bahkan masih ada yang menggunakan sampan dayung. Alat tangkapnya pun sederhana. Seperti pancing, tombak, bubu dan pento

Ada yang menggunakan jaring dengan  panjang terbatas karena hanya satu orang dengan tenaga alami yang mengoperasikannya, bukan dengan anak buah kapal.

“Pencarian di laut semakin hari semakin berkurang. Angin kencang. Sekarang, susah cari ikan. Tak tau juga penyebab keadaan laut seperti itu. Pergi hari ini dapat, besok tak ada lagi. Kita nelayan di laut ini tergantung nasib. Kecuali saat ini, kondisi kepiting agak lumayan melimpah karena mangrove sudah mulai membaik,” kata Kristina, nelayan perempuan Panglong.

Dia juga melaut sejak kecil. Pulang sekolah, dia ikut cari ikan bersama ibunya, meski tak pandai berenang. 

Sepengamatannya, sejak rutin menanam bungkat (bakau), bukan hanya hasil tangkapan nelayan yang pulih, tapi ekosistem laut jadi lebih baik dalam menahan perubahan cuaca sekaligus membentengi pantai.

Raja Taufik Zulfikar, Kepala Bidang Kelautan, Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau, membenarkan, penurunan hasil tangkapan nelayan, secara jumlah tangkapan dan besarnya ikan. Kondisi itu tampak sejak memakai mangrove untuk arang. 

“Ini akibat kerusakan ekosistem mangrove. Ketersediaan ikan tidak lepas dari ekosistem mangrove sebagai tempat tumbuh kembang ikan,” katanya, dalam  bincang-bincang dengan perempuan Berakit pegiat mangrove.

Zulfikar bilang, perempuan merasakan ekonomi yang dipengaruhi berkurangnya ikan. Karena itu, selain mengolah ikan di rumah dari hasil tangkapan suami, perempuan Berakit juga menangkap ketam, mencari kerang, teripang maupun gonggong.” 

Perempuan nelayan Suku Laut, Kampung Panglong. Foto: Suryadi / Mongabay Indonesia.

********

Liputan ini merupakan fellowship ‘Perempuan dan Mangrove di Pulau Bintan’ yang diselenggarakan Yayasan CARE Peduli Indonesia dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ).

*****

Pulau jadi PSN, Akankah Suku Laut di Kepri Bertahan?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|