- Upaya memulihkan hutan mangrove di pesisir Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, terus masyarakat lakukan. Pemulihan mangrove Berakit melibatkan empat kelompok masyarakat di bawah dampingan Yayasan CARE Peduli Indonesia dan Yayasan Ecology. Selain KUEP Melati, ada KUEP Tenggiri, Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi, serta Kelompok Usaha Masyarakat (KUM) Kepiting.
- Abdul Wahib, CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, mengatakan, pemulihan ekosistem mangrove di Berakit tidak sekadar tanam-menanam. Melainkan juga hendak berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan, keadilan gender, perlindungan lingkungan dan krisis iklim.
- Nasrullah, Sekretaris Desa Berakit, menyebut, Pemerintah desa (Pemdes) melibatkan aktif perempuan dalam musyawarah desa untuk menetapkan perencanaan pembangunan desa. Pemdes juga turut fasilitasi pelatihan pengembangan kelompok, teramsuk Wanita Tani.
- Rahima Zakia, Fasilitator Program Yayasan Ecology, menyambut positif partisipasi perempuan Berakit dalam keterlibatan pemulihan mangrove di wilayah mereka. Mereka berencana mengembangkan keterampilan perempuan anggota kelompok dalam pemanfaatan mangrove lebih baik.
Masih terang dalam ingatan Abdul Malik, Ketua Rukun Warga (RW) 02, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), proses penggundulan mangrove di pesisir Berakit. Warga menebang, memasukkan batang kayu yang sudah bersih dari dari daun ke atas sampan kotak atau pokcai.
Lalu mereka membongkar batang mangrove di tepi pantai, memikul dan mengumpulkan ke dapur bakaran, berupa tiga bangunan dari susunan batu bata menyerupai kubah atau setengah lingkaran di pinggiran desa.
Kemudian mengupas dan memasukkan kayu ke tungku hingga jadi arang.Aktivitas ini berlangsung sejak 1920. Dapur bakaran itu sentra aktivitas masyarakat.
“Pekerjanya ramai. Mereka orang lokal semua. Tiap hari bakar kayu. Pemotongan kayu dan pengupasan kulit bakau, semua dikerjakan di dekat dapur,” katanya, 12 Maret lalu.
Warga kemudian memasukkan serpihan arang ke karung goni lalu ekspor ke Malaysia dan Singapura. Warga mengambil sisa potongan arang buat bahan bakar memasak dengan tungku dapur.
Biasa, aktivitas di dapur arang pukul 7.00-17.00 sore. Tengah hari, tetap ada jeda istirahat dan makan. Banyak perempuan terlibat dalam proses produksi kayu arang termasuk memikul batang kayu bakau dari tepi pantai.
Monika Sabaria, perempuan Suku Laut Kampung Panglong, salah satunya. Dia membawa dua anak gadisnya bekerja. Suaminya, bagian menebang pohon dengan mendayung pokcai.
Waktu itu, dia dapat upah Rp35.000 per satu ton tebangan bakau. Umumnya, satu pokcai mampu memuat 2-2,5 ton tebangan bakau.
Sedang upah melangsir bakau dari tepi pantai ke dapur arang yang berjarak sekitar dua kilometer Rp18.000 per hari, tanpa menghitung banyaknya kayu. Untuk upah mengupas kulit kayu per hari Rp18.000-Rp20.000.
“Jarak pikul ke dapur arang tak begitu jauh. Cuma jalannya berbukit dan tidak rata,” katanya pada Mongabay, Maret lalu.
Perempuan 53 tahun itu satu dari ratusan perempuan Suku Laut di Kampung Panglong, Berakit, yang menetap di darat. Sejak bekerja di dapur arang mulai 1990-an, dia dan suami tak lagi menjadi nelayan. Mereka tidak lagi mencari teripang dan ikan. Waktu mereka habis dari pagi hingga sore di dapur arang.
“Baru balek ke rumah sudah capek. Kami juga tak tinggal di laut lagi.”

Pulihkan hutan mangrove
Tahun 2000-an jadi titik balik di Berakit. Pemerintah pusat hingga daerah melarang eksploitasi mangrove secara berlebihan. Kebijakan ini turut menghentikan operasional dapur arang.
Bangunan itu pun menjadi candi. Pemerintah setempat menjadikannya objek wisata. Dapur ini dilindungi dengan kanopi, namun tampak tidak terawat. Berbagai macam sampah menumpuk di dalamnya.
Beberapa pekerja pun cari mata pencaharian lain. Monika dan Suami kembali jadi nelayan, Dia mencari teripang di pantai kala pasang surut pada malam hari. Sementara suaminya mencari kepiting di hutan mengrove sekitar pesisir dekat pemukiman.
Pasangan suami istri itu juga terlibat dalam kegiatan pemulihan mangrove yang sejumlah organisasi lingkungan gerakkan. Keduanya berbagai peran mencari bibit mangrove dan memasukkannya dalam polybag.
Mereka tidak sendirian, masyarakat Berakit, terutama perempuan, aktif memulihkan kembali kawasan mangrove rusak di pesisir timur Bintan.
Meski tergolong baru, mereka sudah mampu menyediakan 50.000 bibit siap tanam hanya sekitar satu bulan. Kegiatan waktu senggang, atau setelah menyelesaikan urusan rumah tangga masing-masing. Biasanya Sabtu dan Minggu.
Muji Astuti, Ketua Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) Melati, tak menghiraukan panas dan gatal-gatal pada kulit selama duduk di atas lumpur dan berendam dengan air laut ketika mengisi lumpur dan bibit dalam polybag.
“Senang bisa membantu. Ada rasa bahagia. Karena mengerjakannya beramai. Kita dapat pengetahuan, ilmu dan pemasukan baru,” terangnya.
Pemulihan mangrove Berakit melibatkan empat kelompok masyarakat di bawah dampingan Yayasan CARE Peduli Indonesia dan Yayasan Ecology. Selain KUEP Melati, ada KUEP Tenggiri, Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Srikandi, serta Kelompok Usaha Masyarakat (KUM) Kepiting.
Abdul Wahib, CEO Yayasan CARE Peduli Indonesia, mengatakan, pemulihan ekosistem mangrove di Berakit tidak sekadar tanam-menanam. Melainkan juga hendak berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan, keadilan gender, perlindungan lingkungan dan krisis iklim.
“Kami membangun dialog terlebih dahulu dengan masyarakat. Melihat hubungan perempuan Berakit dan perubahan iklim bukan hanya soal menanam pohon. Kita bangun kesadaran mereka mengenai pentingnya keberadaan mangrove. Bukan hanya tentang lingkungan tapi juga masa depan ekonomi dan generasi mendatang,” katanya.
Raja Taufik Zulfikar, Kepala Bidang Kelautan, Konservasi dan Pengawasan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau, menyebut, perempuan lebih banyak kesempatan dan waktu di sela mengurus rumah tangga. Sementara, laki-laki, lebih fokus melaut, mencari nafkah.
Dia mengapresiasi keterlibatan perempuan Berakit memulihkan mangrove. Menurutnya, kesadaran itu muncul dengan cepat. “Kalau tidak, kita enggak tahulah. Mungkin kita tidak ketemu yang namanya ketam.”
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional (PMN) 2021, luas mangrove di Kepri 67.417 hektar. Mayoritas merupakan kawasan hutan dengan status hutan produksi. Sementara sebaran di Bintan mencapai 8.552,63 hektar dengan kondisi tegakan lebat.
Penelitian bertajuk Tingkat Kerusakan Mangrove di Perairan Desa Berakit, Pulau Bintan, Indonesia, yag terbit pada 2019, menyatakan kondisi mangrove di wilayah tersebut dalam kondisi baik dengan kerapatan tinggi 583,59 individu per hektar. Jenisnya didominasi Rhizopora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.
Namun, degradasi terus mengurangi luasan hutan benteng pesisir . Tak dipungkiri degradasi mangrove terus mengurangi luasan hutan benteng pesisir tersebut. Tentunya berimbas pada mata pencaharian nelayan.
Ilustrasi. Setelah hutan mangrove berangsur pulih, ekosistem pun membaik dan nelayan pun menerima berkah, antara lain, hasil tangkapan kepiting, ikan dan lain-lain makin membaik. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia
Analisis Perubahan Lahan dan Sebaran Mangrove Menggunakan Algoritma SVM dengan Citra Landsat di Bintan, menjelaskan, mangrove di Bintan mengalami kerusakan akibat pembangunan, pemanfaatan kayu buat industri arang hingga alih fungsi berbagai peruntukan. Seperti pemukiman, perkebunan maupun pertambangan pasir.
Jurnal ini juga menjelaskan, perubahan garis pantai akibat abrasi banyak terjadi di Desa Berakit seluas 5.972,9 hektar. Sebab utama ialah aktivitas penambangan pasir besar-besaran yang mempengaruhi kecepatan air laut.
Penelitian ini seakan mengonfirmasi penyebab rusaknya mangrove dalam PMN 2021. Pasalnya, luas mangrove di Bintan masih berkisar 9.701 hektar pada 2017.
Ayu Narti, Ketua KUEP Tenggiri, antusias terlibat langsung mencari bibit, menyemai dan menanam mangrove. Dia ingin pantai di dekat rumahnya tetap terjaga dan tidak terkena erosi.
Senada dengan Romana Reboh, anggota Pokmaswas Srikandi. Menurut dia, mangrove penting mencegah erosi. Air laut akan makin naik kalau tidak ada pelindung alami, seperti pohon bakau.
Meski begitu, di tengah giat dan semangat perempuan Berakit pulihkan mangrove, masih ada segelintir orang justru berlaku sebaliknya. Mereka masih hadapi tantangan, ketika masih ada yang belum punya kesadaran sama soal pentingnya menjaga hutan mangrove.
“Padahal, sebenarnya manfaatnya banyak. Orang cari ikan dan kepiting di sana. Tak perlu jauh lagi melaut. Apalagi perempuan juga sebagian besar adalah nelayan. Buah mangrove juga bisa buat dodol dan pewarna kue,” kata Ros, panggilan akrabnya.
Rahima Zakia, Fasilitator Program Yayasan Ecology, menyambut positif partisipasi perempuan Berakit dalam keterlibatan pemulihan mangrove di wilayah mereka. Mereka berencana mengembangkan keterampilan perempuan anggota kelompok dalam pemanfaatan mangrove lebih baik.
“Selama masyarakat setempat mau menjalankan tentunya menjadi hal luar biasa. Kami hanya mendampingi, mengarahkan untuk melanjutkan kegiatan. Harapannya bisa berlanjut dan menghasilkan sumber pendapat baru di Berakit,.”

Ekosistem dan ekonomi membaik
Upaya memulihkan mangrove di Berakit menghasilkan dampak signifikan bagi kesehatan ekosistem. Pasca dapur arang tutup, kepiting, udang dan beberapa biota laut kembali berkembang di wilayah itu.
Monika jadi orang yang merasakan dampaknya. Sepengetahuannya, orang sulit mencari kepiting saat dapur arang masih beroprasi dan orang menebang bakau.
Dia pun saat ini memanfaatkan tangkapan kepiting untuk jadi pemasukan. Suaminya yang sudah payah melaut, mencari kepiting di sekitar pemukiman. Walau tidak sering.
Iskandar, Ketua KUM Kepiting, menyebut pendapatan nelayan kepiting turut membaik sejak masyarakat terlibat pemulihan dan menjaga mangrove. Bisa mencapai Rp400.000 – Rp500.000 per hari.
Sebelumnya, ketika dapur arang masih aktif, pendapatan nelayan hanya Rp300.000 – Rp400.000. Itu pun tidak setiap hari.
Ukuran kepiting pun jadi lebih besar sejak mangrove terjaga. Sehingga nelayan tidak perlu mengambil yang kepiting kecil lagi.
“Yang kecil kita biarkan sampai besar dulu. Sampai bisa kita ambil nantinya.”
Menurut dia, mangrove di Berakit, terutama di Kampung Panglong, juga makin tumbuh dan menyebarluas. Iskandar bilang, mangrove penting untuk masa depan anak cucunya yang akan berharap dengan hasil laut termasuk kepiting.
Sementara itu, DKP Kepri mencatat produksi komoditas di Panglong dari nelayan penampung saat ini antara lain ketam bangkang mencapai 5-6 kg per 2 hari, ketam renjong 15-20 kg per 2 hari, gorap 70-100 kg per 2 hari, dan kerang 70-80 kg per 2 hari.
Selain itu, Yayasan CARE Peduli Indonesia bersama Yayasan Ecology, memfasilitasi anggota kelompok mengasah kemampuan menghasilkan berbagai produk, makanan atau bahan pakaian, memanfaatkan mangrove atau yang berhubungan dengan ekosistem tersebut. Semua berdasarkan pilihan tiap kelompok dampingan.
KUEP Melati, misal, memilih membatik dengan pewarna dari kulit bakau yang telah mati. Sementara KUEP Tenggiri dan KUM Kepiting, hendak memulai usaha produk perikanan mengolah ikan, udang dan kepiting menjadi bakso maupun kerupuk.
Pokmaswas Srikandi, fokus pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Mereka aktif membantu penyadaran hukum dan pelaporan pelanggaran di wilayah perairan. Termasuk mengatasi masalah kapal besar penangkap ikan dengan alat yang merusak dan merugikan nelayan kecil.
“Senang dan dapat pengalaman. Ingin terus mengembangkan kemampuan. (membatik) Ini pelajaran perdana bagi ibu-ibu anggota kelompok. Belum punya pengalaman sebelumnya. Kami ingin hasilnya dapat dipasarkan. Bisa jadi pendapatan,” kata Suryana, Bendahara KUEP Melati.
KUEP Melati menghasilkan 27 lembar kain batik cap dan ecoprint. Anggota kelompok ini masih menghitung-hitung biaya produksi untuk menetapkan harga dan rencana pemasaran. Berbagai kalangan dari sejumlah instansi daerah mulai melirik hasil tangan mereka.
“Dalam waktu dekat akan ada kerjasama dengan kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tingkat kabupaten yang juga menghasilkan kain batik. Mereka sudah memiliki pasar. Salah satunya di Bali. Mereka juga siap bantu promosikan. Ada potensi dipasarkan ke Singapura juga,” jelas Rahima.
Para perempuan anggota kelompok yang terlibat pemulihan mangrove di Berakit, juga menjadi penopang ekonomi keluarga. Muji Astuti, misal, sehari-hari buat bermacam makanan, seperti risol, epok-epok, pukis dan camilan lokal lain. Dia titip ke warung-warung desa. Juga jualan online dengan mempromosikannya lewat status di akun WhatsApp pribadi. Selama puasa, 200 potong dari empat macam jenis kue selalu laku dan habis terjual tiap harinya.
Dia juga membuka jasa penyediaan makanan dalam jumlah tertentu alias catering.Pemerintah Desa Berakit selalu memesan makanan ketika ada pertemuan atau kegiatan yang mengundang orang ramai. Terakhir, dia juga jualan es batu yang banyak dibutuhkan nelayan setempat. Permintaan capai 50 kantong per hari.
“Saya ingin menambah pengalaman, mengembangkan apa yang dimiliki selama ini dan memperluas hubungan sosial sesama masyarakat.”
Ayu Narti, juga begitu. Pilihan anggota KUEP Tenggiri untuk mengolah hasil perikanan menjadi bakso dan kerupuk, bukanlah hal baru baginya. Sehari-hari, dia juga memproduksi makanan tersebut di rumah. Hanya saja masih skala kecil dan peralatan seadanya. Lewat kelompok, dia ingin menghasilkan produk tersebut dengan mesin giling dan pemotong untuk hasil lebih banyak.
Sementara Romana menilai, program pemulihan mangrove membantu perempuan yang tidak memiliki pekerjaan. Sebelumnya, kegiatan mereka hanya duduk dan mengobrol dengan tetangga setelah memasak.
Kesibukan mereka berubah sejak program berjalan.
“Zaman sekarang, tekanan ekonomi bisa membuat stres. Bapak-bapak ada kerja, ibu-ibu juga ada kerjaan. Jadi saling menopang,” ungkap Ros, panggilan akrabnya.
Awal Mei, anggota kelompok akan kembali menanam mangrove, memperluas 1.000 bibit pohon yang telah mereka tanam. Rencananya, salah satu lokasi pembibitan di RT 02. Lokasi itu tidak mengganggu jalur kapal, nelayan sondong dan pencari kerang.
Berdasarkan pemetaan awal target luas penanaman perdana sekitar 64 hektar. Hanya saja ketersediaan 50.000 bibit sementara ini dan metode penanaman akan dilaksanakan, baru mampu menutupi kurang lebih satu hektar.

Seperti apa dukungan pemerintah?
Romana, juga Ketua BPD Berakit, mengatakan, pemerintah desa mendukung kegiatan perempuan memulihkan mangrove dan membantu perekonomian rumah tangga warga. Mereka selalu mendukung setiap program yang berhubungan dengan lingkungan dan mata pencarian masyarakat, terutama perempuan.
Nasrullah, Sekretaris Desa Berakit, mengatakan, pemerintah desa (Pemdes) melibatkan aktif perempuan dalam musyawarah desa untuk menetapkan perencanaan pembangunan desa. Pemdes juga turut fasilitasi pelatihan pengembangan kelompok, teramsuk perempuan tani.
“Pembangunan itu tidak hanya sebatas fisik, tapi juga pemberdayaan masyarakat. Perempuan aktif di tengah masyarakat berpengaruh penting dengan pertumbuhan ekonomi desa,” kata Nasrullah.
Dukungan pemulihan mangrove juga diberikan Pemerintah Kepulauan Riau dengan menetapkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), berupa Taman Wisata Perairan Timur Pulau Bintan (TWPTPB) seluas 138.000 hektar pada 2022. Kawasan ini akan dikelola Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) di bawah bidang sub koordinator konservasi, DKP Kepulauan Riau.
Raja Taufik Zulfikar, mengatakan, penetapan kawasan konservasi juga sejalan dengan dukungan kelompok perempuan pengelola mangrove di Berakit. Sekaligus memanfaatkan kawasan konservasi untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.
“SUOP mengajak kita semua terlibat dalam pemulihan ekosistem mangrove. Pemerintah mendorong dan memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pekerjaan besar ini dengan senang hati dapat dilaksanakan,” ucap Zulfikar.

*******
Liputan ini merupakan fellowship ‘Perempuan dan Mangrove di Pulau Bintan’ yang diselenggarakan Yayasan CARE Peduli Indonesia dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ).
Perempuan Suku Laut, Penopang Kedaulatan Pangan dari Berakit