Berbagai Kisah Inspiratif Pejuang Lingkungan Peraih Kehati Award 2024

1 month ago 59
  • LSM Natural Aceh membuat metode budi daya tiram ramah lingkungan dengan memanfaatkan barang bekas, melestarikan mangrove, dan meningkatkan ekonomi ibu-ibu pasca-tsunami.
  • Sri Wahyuningsih mendirikan Sekolah Air Hujan Banyu Bening untuk edukasi pemanfaatan air hujan secara higienis, mengatasi krisis air bersih, dan mengubah persepsi masyarakat.
  • Gestianus Sino mengembangkan pertanian organik terpadu dengan konsep zero waste dan pengelolaan sumber daya lokal, memperluas lahan hingga 4.300 mdi NTT
  • Selain itu, ada Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan di Lampung, dan jurnalis Yogi Tujuliarto mendapat penghargaan Kehati Award 2024 dari Yayasan Kehati.

Tidak ingin akar mangrove yang ditanam di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, rusak akibat pengambilan tiram oleh ibu-ibu penduduk sekitar, Natural Aceh, organisasi lokal non-profit, menciptakan inisiatif budi daya tiram menggunakan barang bekas seperti galon dan ban.

Selain memberikan lokasi alternatif pengambilan moluska yang memiliki nama latin Crassostrea, metode ini memungkinkan tiram tumbuh lebih besar dengan cara yang muda dan cepat. Langkah ini tidak hanya melestarikan mangrove tetapi juga meningkatkan perekonomian ibu-ibu yang terdampak tsunami Aceh 2004.

“Di pesisir ini sudah rusak, pasca tsunami tidak banyak yang tersisa. Selain warganya berkurang, bentang alamnya juga berkurang 80 persen,” ujar Putri Melza, awal Desember lalu di Jakarta.

Atas inisiatif itu, dara jebolan teknik geofisika Universitas Syiah Kuala ini datang ke Jakarta mewakili Natural Aceh menerima penghargaan Kehati Award 2024 kategori marine yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).

Putri mengungkapkan, bahwa proses meyakinkan ibu-ibu untuk beralih dari pengambilan tiram tradisional yang merusak akar bakau maupun ekosistem air ke metode budi daya ramah lingkungan bukanlah hal mudah. Perlu waktu untuk mengubah kebiasaan mereka.

Namun, dengan pendekatan dan edukasi dan hasil nyata dari metode baru itu, ibu-ibu kini bisa memanen tiram dengan cara yang lebih berkelanjutan. Saat ini, setidaknya ada 157 perempuan yang sudah bergabung dalam budi daya tiram.

Selain mengelola budi daya tiram, seiring berjalannya waktu, para ibu-ibu ini juga didampingi untuk mengembangkan produk olahan, seperti nugget dan kerupuk berbahan dasar tiram.

“Impian kami adalah agar produk ini bisa menjangkau pasar yang lebih luas hingga masuk ke supermarket. Kami juga berharap pekerjaan ini dapat terintegrasi dengan ekowisata, sehingga lebih banyak warga, baik pemuda maupun bapak-bapak, tertarik untuk ikut terlibat,” ujarnya penuh harap.

Baca : Menjaring Inovasi Anak Muda Menjawab Persoalan Lingkungan

Putri Melza, perwakilan dari LSM Natural Aceh berpose sebelum menerima penghargaan Kehati Award 2024 di Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Sekolah Air Hujan

Atas inisiatifnya memanfaatkan air hujan, Sri Wahyuningsih, Ketua Komunitas Banyu Bening di Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta juga mendapatkan penghargaan Kehati Award 2024 kategori climate change.

Bersama komunitasnya perempuan 57 tahun ini mengambil langkah nyata dalam memanfaatkan potensi air hujan yang melimpah untuk menghadapi tantangan krisis air bersih. Sri menjelaskan, saat ini masih banyak masyarakat yang beranggapan negatif terhadap air hujan, seperti anggapan bahwa air hujan itu kotor, asam, atau menyebabkan penyakit.

Sehingga persepsi ini menjadi tantangan utama dalam memperkenalkan ide pemanfaatan air hujan secara berkelanjutan. “Mengubah mindset masyarakat memang tidak mudah. Tetapi kami berkomitmen untuk terus konsisten dengan tujuan kami,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan ini, lanjut Sri, ia dan komunitasnya kemudian mendirikan Sekolah Air Hujan Banyu Bening, sebuah wadah edukasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah, akademisi, maupun warga lainnya.

Sekolah ini bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang cara memanfaatkan air hujan dengan bijak dan higienis.

Metode yang digunakan, mengadopsi konsep yang terbilang cukup unik yaitu ‘ngopi bareng’, yang diartikan sebagai duduk bersama untuk berdiskusi santai. Melalui pendekatan ini, berbagai sudut pandang keilmuan dibagikan, menciptakan pemahaman yang komprehensif tentang air hujan.

Misalnya, tentang bagaimana menampung air hujan yang tepat, dengan cara dan saat yang tepat agar mendapatkan air hujan yang kebersihannya tetap terjaga. Disamping itu, membahasakan tentang air hujan yang lebih bisa dipahami masyarakat.

“Kita ngobrol bareng tentang air hujan, mulai dari manfaatnya hingga teknologi pengolahannya. Hasil dari diskusi ini menjadi informasi penting untuk semua masyarakat,” jelasnya.

Baca juga : Krisis Air Bersih Hantui Jogja, Budayakan Panen Air Hujan

Warga Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta memanfaatkan air hujan yang telah diproses metode elektrolisa oleh Komunitas Banyu Bening. Foto : Yayasan Kehati

Menurut Sri, air hujan merupakan solusi yang jitu untuk mengatasi persoalan krisis air bersih. Lebih-lebih Indonesia memiliki potensi curah hujan yang besar.

Untuk itu, melalui usaha yang dilakukan ia berharap masyarakat bisa terinspirasi untuk memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Selain ramah lingkungan, pemanfaatan air hujan juga memberikan keuntungan ekonomi.

Air hujan adalah sumber daya gratis yang bisa diakses oleh siapa saja. Dengan teknologi sederhana, katanya, masyarakat bisa mengolahnya menjadi air yang layak konsumsi tanpa biaya besar.

“Air hujan itu karunia tuhan yang luar biasa. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin untuk keberlangsungan hidup kita dan generasi mendatang,” pungkasnya.

Petani Organik Terpadu

Kondisi alam Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kering dan berbatu menjadi tantangan besar bagi Gestianus Sino untuk berladang. Di sebuah lahan yang hanya hamparan batu karang di Desa Matani, Kecamatan Kupang Timur, pria yang mendedikasikan hidupnya untuk bertani secara organik terpadu sejak 2011 ini mengaku butuh waktu dua tahun membongkar batu, mengisi kekosongan tanah dari luar, dan perlahan membangun lahan yang produktif.

Tak hanya itu, selain masalah tanah, di awal-awal ia juga mengalami hambatan kesulitan air. Mulanya, ia mengandalkan air dari tangki, namun seiring berjalannya waktu ia kemudian melakukan pengeboran hingga kedalaman 95 meter untuk mendapatkan sumber air yang stabil.

“Daerah kami gersang, perbukitan, dan sulit air. Sehingga proses bertani disini tidak mudah, tetapi ini yang justru memotivasi kami terus belajar dan berinovasi,” katanya.

Prinsipnya, kata pria kelahiran 1983, bertani itu setiap hari harus bisa tanam dan setiap hari pula harus bisa panen. Itulah mengapa ia membuat model pertanian organik terintegrasi antara pertanian, peternakan dan perikanan yang saling terhubung.

Dengan konsep ini, ia juga menerapkan konsep zero waste agriculture, dengan memanfaatkan limbah lokal seperti sisa sayur, limbah kolam ikan, serta kotoran kambing maupun sapi untuk dijadikan kompos.

Upaya ini tidak hanya menjaga kesuburan tanah tetapi juga mendukung lingkungan. Ia percaya bahwa kunci pertanian berkelanjutan yaitu menjaga kesehatan tanah.

“Kalau tanah sehat, tanaman pasti sehat. Dan kalau tanaman sehat, manusia dan lingkungannya juga akan sehat,” jelas pria yang merupakan sarjana pertanian ini.

Baca juga : Rahmat Adinata dan Mimpi Jadikan Sumba Pulau Organik

Gestianus Sino, petani muda yang mengembangkan pertanian organik terpadu dengan konsep zero waste berpose sebelum menerima penghargaan Kehati Award 2024 di Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Gestianus menyadari bahwa minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian masih rendah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh stigma bahwa hidup sebagai petani, peternak, atau nelayan itu sulit. Namun, dia bisa membuktikan bahwa pertanian bisa menjadi solusi masa depan di tengah isu tentang ketahanan pangan.

Ia mengaku, berkat konsistensi yang dilakukan kini ia berhasil memperluas area pertaniannya menjadi 4.300 meter persegi.

Berkat ketekunannya Gestianus juga mendapatkan penghargaan Kehati Award 2024 kategori agriculture dari Yayasan besutan Emil Salim, tokoh intelektual yang berperan dalam bidang lingkungan hidup ini.

Disamping itu, penghargaan juga diberikan kepada Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan dari Lampung yang memenangkan kategori forestry karena upayanya dalam memulihkan 225 hektare hutan sejak 2012. Pada kategori waste and pollution, jurnalis Yogi Tujuliarto mendapat penghargaan atas liputan tentang sampah impor.

“Dari 220 kandidat di seluruh Indonesia, kelima penerima penghargaan ini terpilih melalui penilaian ketat oleh dewan juri,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, Riki Frindos. (***)

Keterangan foto utama : Perempuan di Pesisir Alue Naga, Syiah Kuala, Kota Banda Aceh membudidayakan tiram dengan barang bekas seperti ban bekas dan galon air dengan inisiatif LSM Natural Aceh. Foto : Yayasan Kehati

Aturan Perlindungan bagi Pejuang Lingkungan Hidup Terbit, Seperti Apa?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|