- Desa Tipang yang berada di tepi Danau Toba, memiliki cerita inspiratif tentang keseimbangan pertanian berkelanjutan dan pariwisata. Pertanian di desa seluas 512 hektar yang masuk Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan [Humbahas], Sumatera Utara, ini menerapkan sistem agroforestri.
- Sistem ini memungkinkan kopi arabika dan robusta tumbuh subur di bawah naungan pohon pelindung seperti aren, kemiri, petai, durian, pisang, kakao, pepaya, dan ingul.
- Sistem tanah bertingkat yang disebut Food Forestry seperti di Desa Tipang, merupakan pendekatan agroforestri yang menggabungkan berbagai jenis tanaman pangan dalam satu lahan.
- Desa Tipang masuk nominasi 50 besar Anugerah Desa Wisata [ADWI] 2021 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, karena alam dan potensi pariwisatanya, seperti air Terjun Sigota-gota.
Desa Tipang yang berada di tepi Danau Toba, memiliki cerita inspiratif tentang keseimbangan pertanian berkelanjutan dan pariwisata berbasis lingkungan.
Pertanian di desa seluas 512 hektar yang masuk Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan [Humbahas], Sumatera Utara, ini menerapkan sistem agroforestri.
Sistem ini memungkinkan kopi arabika dan robusta tumbuh subur di bawah naungan pohon pelindung seperti aren, kemiri, petai, durian, pisang, kakao, pepaya, dan ingul. Pepohonan tersebut, berperan penting dalam menjaga kelembaban tanah dan melindungi tanaman dari cuaca ekstrem.
Patar Manalu, warga Desa Tipang, menyatakan kebunnya yang ditanami kopi arabika, robusta dapat dipanen seminggu sekali. Dia hanya merawat kopinya dengan memotong bagian ranting yang tidak produktif dan memberi pupuk kandang sebagai nutrisi.
“Setiap panen ada pengepul datang, harganya Rp20 ribu per liter biji kopi kering,” terangnya, Minggu [20/10/2024].
Selain bertani, Patar juga menderes pohon aren [Arenga pinata], untuk dijual ke warung-warung di Doloksanggul, Ibu Kota Kabupaten Humbahas.
“Harga satu teko Rp20 ribu. Satu pohon bisa menghasilkan 3-4 teko per hari,” terang lelaki 21 tahun itu.
April Purba dari Kopikoh [Komunitas Pemerhati Kopi Humbang Hasundutan], yang meneliti tanaman kopi di Desa Tipang, termasuk milik Patar, menyatakan tanaman kopi arabika dan robusta di sini berkualitas tinggi.
“Tumbuh subur karena tanahnya lembab. Pohon-pohon pelindung menjaga kopi dari pancaran langsung sinar matahari,” ujarnya, Senin [16/9/2024]
Penggunaan pupuk organik, yang dilakukan Patar, dari batang pisang, ranting, daun, dan kotoran ayam yang tersedia di sekitar kebun, juga sangat bermanfaat.
“Pupuk organik ini sangat membantu mengurangi biaya produksi untuk menghasilkan kopi berkualitas,” tambah Sinarta, dari Kopikoh.
Baca: Petani sekitar Danau Toba Tanam Serai Wangi: Tanaman Penjaga Lahan, Penghasil Cuan
Dosen Fakultas Kehutanan USU [Universitas Sumatera Utara], Oding Affandi, mengatakan sistem tanah bertingkat yang disebut Food Forestry seperti di Desa Tipang, merupakan pendekatan agroforestri yang menggabungkan berbagai jenis tanaman pangan dalam satu lahan.
Konsep ini tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga memperkaya keanekaragaman hayati dan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Ketua Pengabdian Pada Masyarakat [PPM Desa Binaan] USU itu juga menilai, agroforestri memiliki peran penting dalam mengatasi perubahan iklim. Pepohonan dalam sistem ini dapat menyerap karbon dalam jumlah besar, sehingga membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Agroforestri menciptakan iklim mikro yang melindungi tanaman dari panas berlebih dan angin kencang,” jelasnya, Selasa [17/9/2024].
Baca: Pulau Sibandang, Surga Tersembunyi di Tengah Danau Toba
Pariwisata berbasis komunitas
Desa Tipang masuk nominasi 50 besar Anugerah Desa Wisata [ADWI] 2021 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, karena alam dan potensi pariwisatanya, seperti air Terjun Sigota-gota.
Patar dan kelompok sadar wisata Simak Pandan Nauli mempromosikan pariwisata berbasis lingkungan. Kelompok yang terdiri 10 anggota dan berjalan lebih dari 2 tahun tersebut mengelola keuangan secara mandiri.
‘Kami mengembangkan wisata yang memberi manfaat bagi semua warga. Kebersihan dan kelesetarian lingkungan kami jaga, tanpa menebang pohon yang merupakan habitat burung, tupai, dan satwa lainnya,” jelasnya.
Dalam jurnal berjudul “Science Mapping the Knowledge Base on Sustainable Tourism Development, 1990–2018″ dijelaskan pentingnya pendekatan yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mencapai keberlanjutan pariwisata dalam jangka panjang.
“Pengembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan panduan jelas dari kebijakan pemerintah, serta keterlibatan sektor swasta dan komunitas lokal agar sumber daya alam tetap terjaga, sembari memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar,” jelas riset tersebut.
Baca: Hutan Lindung Danau Toba Terbakar, Bagaimana Nasib Geopark?
Status Danau Toba yang telah ditetapkan sebagai satu dari 15 Danau Prioritas Nasional serta diakui sebagai Geopark Global oleh UNESCO, membuat potensi pengembangan pertanian berkelanjutan dan pariwisata berbasis alam terbuka.
NGO lingkungan yang bermarkas di kawasan Danau Toba, Hariara Institute berpendapat sistem pertanian berbasis hutan dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dibandingkan sistem pertanian monokultur.
“Perlu dukungan pemerintah, lembaga riset, dan partisipasi aktif masyarakat setempat untuk mengembangkan sejumlah inisiatif. Desa Tipang dapat menjadi model pertanian berkelanjutan dan pariwisata ramah lingkungan di Indonesia,” kata Wilson Nainggolan, Hariara Institute, Selasa [17/9/2024].
Baca juga: Pohon Ingul dan Kearifan Budaya Masyarakat Batak Toba
Tradisi Sihali Aek
Dalam buku Tradisi Sihali Aek di Desa Tipang [Harvina dkk., 2022], dijelaskan bahwa tradisi ini merupakan sistem pengelolaan air irigasi yang telah diterapkan selama ratusan tahun melalui semangat gotong royong.
Sistem ini memungkinkan distribusi air merata, meski curah hujan di Tipang rendah, dan membantu menjaga keberlanjutan pertanian serta sumber daya air untuk masa depan.
Tradisi ini juga mencerminkan pemahaman masyarakat menjaga ekosistem. Pohon pelindung dan irigasi tradisional menjaga kelembaban tanah, mengurangi dampak perubahan iklim, serta memastikan pertanian tidak merusak lingkungan.
“Pola ini tidak hanya menjaga sumber daya alam, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan harmoni masyarakat,” tulis buku tersebut.