- Indonesia produsen minyak sawit terbesar dunia dengan perkebunan seluas 16,8 juta hektar lebih, dan menyumbang ekspor US$37,76 miliar pada 2022 dan pada 2023 sebesar US$29,54 miliar. Meski kontribusi signifikan bagi ekonomi, ekspansi perkebunan sawit Indonesia memicu berbagai persoalan antara lain, soal deforestasi dan ancaman terhadap lahan pangan masa depan, konflik lahan dan banyak lagi. Untuk itu, Koalisi Moratorium Sawit mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terapkan dan memperkuat kebijakan moratorium sawit demi menjaga daya dukung lingkungan.
- Penerapan kebijakan moratorium sawit, makin penting untuk menghentikan ekspansi yang tidak terkendali. Memastikan praktik berkelanjutan, dan menciptakan tata kelola yang adil dan transparan demi kesejahteraan masyarakat.
- Jesika Taradini, Peneliti Lokahita, menegaskan pentingnya moratorium sawit sebagai strategi perbaikan tata kelola dalam jangka panjang. Dengan menahan pembukaan lahan baru, Indonesia memiliki kesempatan memperbaiki tata kelola lahan dan mengevaluasi kembali izin-izin yang tumpang tindih.
- Nailul Huda, ekonom Center of Economics and Law Studies (CELIOS), melihat kebijakan moratorium sawit akan membawa dampak ekonomi positif yang signifikan, terutama bila digabungkan dengan program penanaman kembali. Dalam kajian mereka, dampak kebijakan moratorium sawit mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045.
Indonesia produsen minyak sawit terbesar dunia dengan perkebunan seluas 16,8 juta hektar lebih, dan menyumbang ekspor US$37,76 miliar pada 2022 dan pada 2023 sebesar US$29,54 miliar. Meski kontribusi signifikan bagi ekonomi, ekspansi perkebunan sawit Indonesia memicu berbagai persoalan antara lain, soal deforestasi dan ancaman terhadap lahan pangan masa depan, konflik lahan dan banyak lagi. Untuk itu, Koalisi Moratorium Sawit mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terapkan lagi dan memperkuat kebijakan moratorium sawit demi menjaga daya dukung lingkungan.
Jesika Taradini, Peneliti Lokahita, menegaskan pentingnya moratorium sawit sebagai strategi perbaikan tata kelola dalam jangka panjang.
Dengan menahan pembukaan lahan baru, katanya, Indonesia memiliki kesempatan memperbaiki tata kelola lahan dan mengevaluasi kembali izin-izin yang tumpang tindih.
“Moratorium sawit juga akan membantu menyelesaikan konflik lahan yang seringkali memicu ketegangan di lapangan,” katanya.
Langkah ini juga memungkinkan pemerintah mempercepat proses sertifikasi sawit yang memenuhi standar internasional.
Dengan begitu, katanya, juga menunjukkan komitmen kuat Indonesia terhadap keberlanjutan lingkungan.
Dia percaya, pendekatan ini akan memperkuat posisi sawit Indonesia di pasar internasional dan mendorong kemitraan lebih erat antara perusahaan besar dan petani kecil.
“Sawit berkelanjutan adalah masa depan industri kita.”
Dia mengulas perkembangan perkebunan sawit dengan riset batas atas (cap) perkebunan sawit di Indonesia.
“Melihat fakta sawit di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua melewati ambang batas, maka alih-alih memberi pintu pembukaan sawit baru, seluruh pihak harus mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan di tiga pulau itu,” katanya.
Secara nasional, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap sawit sudah terpenuhi dengan luas yang sekarang. Penambahan kebun baru, katanya, hanya akan memberikan keuntungan pada pelaku usaha besar dan dampak pada masyarakat serta minim pemasukan negara.
Belum lagi, pasar menuntut produk-produk yang mau mereka beli, termasuk sawit harus bebas deforestasi, seperti UU Anti Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Peraturan ini, katanya, menuntut seluruh produk masuk ke pasar Eropa, termasuk sawit, harus bebas deforestasi dan secara legal. Jesika menekankan, penerapan moratorium sawit dan pengembangan sistem ketelusuran adalah kunci bagi Indonesia dalam memastikan kepatuhan terhadap aturan ini dan mempertahankan pasar ekspor sawit di Eropa.
Untuk itu, Indonesia harus segera menyiapkan strategi ketelusuran dan dukungan bagi petani kecil. “Kita akan menghadapi risiko besar bagi sektor sawit, terutama yang bergantung pada ekspor,” katanya.
Dengan bantuan pemerintah dan pelaku industri besar, petani kecil diharapkan dapat terlibat langsung dalam rantai pasok yang memenuhi standar EUDR.
Selain itu, katanya, Indonesia perlu membangun sistem ketelusuran yang inklusif dan transparan. Sistem ini, harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan di rantai pasok dan tersedia secara terbuka untuk verifikasi.
Pemerintah dan perusahaan besar, katanya, perlu bekerja sama dalam mengadakan pelatihan dan dukungan untuk memudahkan petani kecil beralih ke praktik perkebunan yang memenuhi kriteria keberlanjutan.
Manfaat ekonomi dan lingkungan
Dari sisi ekonomi, Nailul Huda, ekonom Center of Economics and Law Studies (CELIOS), melihat kebijakan moratorium sawit akan membawa dampak ekonomi positif yang signifikan, terutama bila digabungkan dengan program penanaman kembali.
Dalam kajian mereka, dampak kebijakan moratorium sawit mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045. Ia terlihat dari output ekonomi Rp28,9 triliun, PDB Rp28,2 triliun, pendapatan masyarakat Rp28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp165 miliar, ekspor Rp782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761.000 orang.
“Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek hingga urgensi penerapan kebijakan moratorium sawit sesuai manfaat ekonominya,” kata Nailul.
Dia mengatakan, kebijakan moratorium sawit bisa mengatasi berbagai masalah tata kelola sawit dan memenuhi standar lingkungan internasional, termasuk EUDR.
Menurut Nailul, kesuksesan kebijakan ini memerlukan keterlibatan lintas kementerian dengan tanggung jawab jelas serta instrumen regulasi yang kuat.
“Dengan regulasi kuat dan dukungan dari kementerian terkait, moratorium sawit bisa memberikan dampak positif pada produktivitas dan keberlanjutan sawit Indonesia, baik untuk ekspor maupun konsumsi domestik.”
Presiden, katanya, sebagai penanggung jawab utama yang memberi arahan dan pengawasan dalam pelaksanaan moratorium sawit ini.
“Presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden yang menjadi dasar hukum kuat mengatur implementasi moratorium dan replanting sawit,” katanya.
Dengan perpres ini, bisa mengatur pengendalian ekspansi lahan sawit dan fokus pada program replanting guna peningkatan produktivitas lahan yang ada.
Kemudian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi (BKPM) sebagai lembaga yang mengarahkan aliran investasi, perlu mendorong investasi ramah lingkungan masuk di sektor sawit.
BKPM dapat mengeluarkan peraturan menteri untuk memberikan insentif pada investasi yang fokus hilirisasi, seperti biodiesel dan oleokimia, serta mendukung program replanting.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, katanya, bertanggung jawab memastikan tidak ada lagi pembukaan hutan primer dan lahan gambut untuk perkebunan sawit.
Dengan regulasi mereka, pemerintah dapat menjaga kelestarian kawasan konservasi dan melacak kawasan hutan yang terbuka ilegal.
Nailul mengatakan, perlindungan hutan ini penting untuk mencegah deforestasi sekaligus penuhi standar EUDR.
Kementerian Pertanian baginya sebagai lembaga yang menangani sektor pertanian, yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas sawit melalui program replanting. Dia menilai Kementerian Pertanian dapat mengeluarkan regulasi untuk memastikan standar produktivitas yang lebih tinggi di perkebunan sawit.
“Dengan meningkatkan produktivitas, kebutuhan industri sawit dapat dipenuhi tanpa perluasan lahan,” katanya sembari berharap, program pelatihan untuk petani kecil.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), katanya, perlu memainkan peran dalam menyelesaikan konflik lahan dan memperjelas status kepemilikan lahan sawit.
Dia bilang, banyak konflik agraria di perkebunan sawit perlu selesai melalui regulasi yang memperjelas status lahan dan mempercepat proses sertifikasi bagi petani kecil yang bergantung pada perkebunan sawit.
“Konflik lahan ini sering menjadi penghalang bagi tata kelola sawit yang berkelanjutan.”
Untuk Kementerian Keuangan, katanya, bisa berperan dengan memberikan insentif fiskal bagi perusahaan sawit yang berkomitmen terhadap keberlanjutan.
Menurut dia, insentif pajak dapat diberikan bagi perusahaan yang berinvestasi dalam program replanting dan tata kelola sawit ramah lingkungan.
“Dengan insentif fiskal, pemerintah bisa mendorong lebih banyak perusahaan untuk berinvestasi dalam perkebunan yang berkelanjutan.”
Jadi, katanya, dengan kolaborasi lintas kementerian, kebijakan moratorium sawit mampu memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan internasional yang peduli lingkungan, serta menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menekankan, urgensi kebijakan penghentian pemberian izin sawit. Perluasan sawit, katanya, terus terjadi, terlebih arah kebijakan ke depan mendukung pengembangan program biodiesel berbasis sawit yang terus meningkat.
Dalam pidato pelantikan, kata Rambo, Prabowo nyatakan akan fokus pada swasembada pangan dan energi. Salah satunya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel.
“Ini sangat berpotensi besar deforestasi dan mengancam eksistensi lahan sumber pangan.”
Jadi, katanya, penghentian pemberian izin sawit kemudian penanaman kembali bisa berdampak positif bagi ekonomi.
Penerapan kebijakan moratorium sawit, katanya, makin penting untuk menghentikan ekspansi yang tidak terkendali. “Memastikan praktik berkelanjutan, dan menciptakan tata kelola yang adil dan transparan demi kesejahteraan masyarakat.”
Sawit Watch, menggarisbawahi pentingnya penghentian pemberian izin baru perkebunan sawit di Indonesia demi menjaga kelestarian lingkungan dan memperbaiki tata kelola sawit.
Dia sebutkan, kebijakan moratorium sawit di Indonesia mulai sejak Instruksi Presiden No. 8/2018 oleh Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini untuk menunda dan mengevaluasi perizinan perkebunan sawit guna memperbaiki tata kelola, menjaga lingkungan, menurunkan emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
Namun, katanya, implementasi di lapangan belum optimal. “Sosialisasi kebijakan ini masih minim di tingkat daerah, dan pencapaiannya juga terbatas.”
Dia bilang, ketiadaan peta jalan, panduan teknis, dan alokasi anggaran bagi pemerintah daerah menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Urgensi penghentian izin sawit
Rambo mengatakan, ekspansi perkebunan sawit tidak terkendali terus berlangsung dan lebih terfokus pada perluasan lahan ketimbang intensifikasi atau peningkatan produktivitas lahan yang ada. Kondisi ini diperparah dengan rencana pemerintah mengembangkan biofuel berbasis sawit yang memerlukan lebih banyak lahan.
“Penghentian pemberian izin sawit sangat mendesak, khusus bagi perusahaan besar, demi mencegah deforestasi dan menghindari risiko bencana lingkungan yang lebih parah,” katanya.
Analisis ekonomi dan lingkungan dari Sawit Watch menunjukkan, penghentian izin sawit akan berdampak positif dalam jangka panjang. Dari sisi ekonomi, akan meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan lapangan kerja melalui replanting dan optimalisasi lahan sawit yang ada. Sedangkan dari sisi lingkungan, katanya, banyak lahan sawit yang kini mendekati batas daya dukung lingkungan.
“Lahan sawit saat ini berada di ambang batas ideal, dan perluasan lebih lanjut hanya akan meningkatkan risiko kerusakan alam.”
Untuk itu, Sawit Watch memberikan beberapa rekomendasi untuk perbaikan tata kelola sawit di Indonesia:
- Intensifikasi dan replanting kebun untuk optimalisasi produktivitas sawit pada lahan yang ada tanpa ekspansi.
- Penyelesaian konflik agraria dan tumpang tindih lahan di kawasan hutan. Ini menyelesaikan persoalan tumpang tindih perizinan dan konflik agraria di sektor sawit.
- Penguatan sertifikasi berkelanjutan. Dengan mendorong sertifikasi sawit berkelanjutan melalui ISPO dan RSPO untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia.
- Penutupan kebocoran pajak . Dengan menutup kebocoran pajak di sektor sawit yang selama ini merugikan negara.
Sawit Watch mendorong, pemerintahan Prabowo-Gibran memperhatikan urgensi penghentian pemberian izin baru ini untuk menciptakan tata kelola sawit lebih baik dan berkelanjutan.
“Penghentian izin perkebunan sawit adalah langkah strategis untuk menyelamatkan lingkungan kita dan meningkatkan kredibilitas sawit Indonesia di mata internasional,” kata Rambo.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, menyoroti ketidakefektifan regulasi dalam mengatasi masalah tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.
Meskipun terdapat norma mengenai pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan, katanya, kebijakan ini belum mampu menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan dan justru berisiko merugikan negara dari segi pendapatan pajak yang hilang.
“Berbagai aturan belum cukup mengurai persoalan tata kelola sawit yang penuh sengkarut,” ujar Andi.
Alih-alih memberikan kepastian hukum, katanya, pemutihan lahan sawit di kawasan hutan berisiko membuka celah kerugian bagi negara dan mengurangi potensi penerimaan pajak.
Dengan sistem perizinan yang masih rentan terhadap praktik koruptif, perlu penegakan hukum tegas dan konsolidasi data yang transparan untuk melindungi kepentingan negara dan lingkungan.
Terkait regulasi EUDR, Andi menyebut urgensi moratorium sawit makin relevan untuk menjawab ketentuan regulasi baru itu.
“Moratorium ini merupakan kebijakan progresif pemerintah untuk menjawab ketentuan EUDR. Selain merupakan komitmen mengurangi angka deforestasi global, juga dapat mendorong produksi sawit bebas dari unsur ilegalitas, dan membantu pencatatan due diligence mengingat moratorium memandatkan evaluasi perizinan.”
Senada dengan Sadam Afian Richwanudin, Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan. Dia mengatakan, moratorium sawit penting untuk memperbaiki tata kelola perkebunan yang belum optimal.
“Masih ada banyak permasalahan terkait konsolidasi data, pelanggaran izin, dan ekspansi perkebunan yang belum terkendali di berbagai provinsi, termasuk Papua dan Kalimantan.”
Kebijakan moratorium, katanya, untuk mengevaluasi izin dan memastikan pengelolaan industri sawit berjalan lebih transparan, berkelanjutan, dan tidak merugikan lingkungan.
Moratorium sawit, katanya, juga akan mendukung target iklim Indonesia. “Bukaan baru akan memperbesar angka karbon terlepas. Dengan menghentikan izin dan bukaan baru, akan memperbesar kontribusi mencapai target iklim.”
Di samping itu, moratorium juga bisa berkontribusi dalam menjamin lingkungan hidup layak, baik, dan sehat.
“Moratorium izin dan bukaan lahan baru, serta perbaikan tata kelola harus satu nafas sebagai bagian dari upaya serius dalam mewujudkan sawit yang adil dan berkelanjutan.”
Tanpa intervensi kebijakan, katanya, perluasan lahan sawit akan makin mengancam keberadaan hutan, wilayah masyarakat adat, dan kawasan dengan fungsi ekologi penting.
Meskipun berbagai aturan telah terbit dalam satu dekade terakhir untuk memperbaiki tata kelola sawit, katanya, tetapi penerapan belum berjalan optimal.
Sadam mengungkapkan, ada jutaan hektar konsesi sawit masih berada di hutan alam dan lahan gambut yang kini belum terbuka. Apabila konsesi ini dibiarkan beroperasi, katanya, bisa mengakibatkan pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar dan merusak komitmen Indonesia menekan laju deforestasi.
Jadi, katanya, penghentian izin sawit dan bukaan lahan baru merupakan langkah penting mendukung target iklim Indonesia, terutama dalam mencapai forestry and other land use) net sink pada 2030 dan net zero emission pada 2060.
“Tanpa penghentian izin baru, target ini akan sulit dicapai. Upaya pengendalian deforestasi hutan dan lahan gambut adalah kunci utama mewujudkan target iklim jangka panjang negara.”
Olvy Tumbelaka, Senior Campaigner Kaoem Telapak punya pandangan serupa. Indonesia, katanya, perlu memberlakukan kembali moratorium perizinan baru sawit yang lebih kuat dari kebijakan sebelumnya.
Dia bilang, ada tiga alasan kebijakan itu penting ada. Pertama, melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah kritis seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua dari deforestasi.
Kedua, untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan pasar internasional, terutama regulasi anti-deforestasi Uni Eropa, Inggris, dan Tiongkok.
Ketiga, untuk melindungi kesejahteraan petani kecil, masyarakat lokal dan adat melalui tata kelola perkebunan yang lebih baik dan berkelanjutan.
*******
Bila Inpres Moratorium Sawit Setop Bisa Ancam Komitmen Iklim Indonesia