- Warga dan aktivis lingkungan mendesak calon pemimpin baru Daerah Khusus Jakarta fokus pada pemulihan lingkungan yang adil dan berkelanjutan yang dinilai kurang diperhatikan
- Dampak serius krisis iklim di Jakarta, termasuk hilangnya beberapa pulau di Kepulauan Seribu dan abrasi parah di Pulau Pari menjadi perhatian dalam aksi di area Pantai Perawan, Pulau Pari.
- Pemimpin DKI Jakarta perlu memprioritaskan solusi berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dan memperkuat upaya mitigasi serta adaptasi terhadap perubahan iklim demi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan warga.
- Warga Pulau Pari berharap ada solusi konkret dan keberpihakan terhadap lingkungan dan kebijakan-kebijakan baru.
Di area Pantai Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Jakarta, warga bersama sejumlah kelompok aktivis lingkungan membentangkan spanduk besar bertuliskan “Make Jakarta: Just, Sustainable, and Accessible for All” disertai tagar #SavePulauPari, #JakartaUntukSemua, dan #PulihkanJakarta.
Aksi damai ini bertujuan untuk menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi lingkungan di Jakarta, dan mendesak calon pemimpin daerah bekas ibukota Indonesia ini agar fokus pada pemulihan lingkungan serta aksesibilitas yang berkeadilan bagi seluruh warganya.
Jenny Sirait, Pengkampanye Urban Greenpeace Indonesia mengemukakan, sejauh ini krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampaknya sudah dirasakan langsung di kehidupan masyarakat di Jakarta, terutama di pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Untuk itu, ia mendesak calon pemimpin yang akan terpilih pada Pilkada mendatang, 27 November 2024 mempunyai komitmen kuat dalam menangani krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah berpenduduk 10,56 juta jiwa ini.
“Masalah lingkungan dan krisis iklim ini berdampak besar pada kehidupan sehari-hari warga, mulai dari ekonomi hingga kesehatan,” ujarnya kepada Mongabay disela-sela aksi, Senin (11/11/2024).
Jenny melanjutkan, krisis iklim di Jakarta telah menimbulkan dampak serius, termasuk hilangnya enam pulau di Kepulauan Seribu dan kondisi kritis di 23 pulau lainnya, termasuk Pulau Pari.
Pulau yang dihuni 2.458 jiwa ini mengalami abrasi hebat, diperparah kebijakan reklamasi di wilayah sekitarnya yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat. Selain dukungan terhadap pelestarian lingkungan, katanya, warga Pulau Pari berharap ada solusi konkret dan keberpihakan terhadap lingkungan dan kebijakan-kebijakan baru.
Jenny menekankan, pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan ini penting, terutama dalam mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Selain itu, warga juga perlu dilibatkan dalam penyusunan anggaran serta implementasi terkait pemulihan lingkungan secara akuntabel, transparan dan komprehensif.
Baca : Upaya Warga Pulau Pari Hadapi Krisis Iklim [1]
Mata Pencaharian Terancam
Warga Pulau Pari menyatakan penolakannya terhadap proyek reklamasi dan pembangunan resort oleh perusahaan swasta, yang dinilai mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Asmania, salah satu warga Pulau Pari mengungkapkan, sejak 2014 warga Pulau Pari telah berupaya mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman ekspansi industri pariwisata yang dinilai dapat menghilangkan akses nelayan terhadap laut yang menjadi sumber mata pencaharian utama.
Selain mempertahankan daratan, warga juga memperjuangkan kelestarian laut, salah satunya dengan melakukan penanaman mangrove. Wilayah laut Pulau Pari menjadi habitat penting bagi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang sudah ratusan tahun berfungsi sebagai tempat berkembang biaknya berbagai biota laut, seperti ikan, rajungan maupun kepiting.
“Jika laut kami tidak bisa diakses, kami mau hidup bagaimana?,” ujarnya.
Asmania yang juga Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari menambahkan, pembangunan resort berpotensi besar merusak ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Kondisi ini bukan hanya mempengaruhi keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam keberlanjutan nelayan yang menjadi profesi utama penduduk Pulau Pari.
Ia juga mengingat dulu rumput laut juga sangat melimpah dan menjadi sumber utama ekonomi warga setempat, bahkan diekspor ke Jepang dan Taiwan. Namun, tidak hanya krisis iklim, sejak masuknya perusahaan yang melakukan reklamasi dan sedimentasi laut yang dihasilkan dari pengerukan di sekitar Pulau Pari membuat warga semakin sulit membudidayakan gulma laut ini.
“Kami telah menyampaikan petisi dan protes rencana pembangunan yang merusak ini ke pemerintah, namun perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya karena perizinannya justru dipermudah,” katanya.
Asmania menyayangkan sikap pemerintah Jakarta yang belum pernah mengakomodasi keresahan masyarakat Pulau Pari, termasuk dalam kebijakan iklim yang seharusnya memperhatikan keberlangsungan lingkungan hidup warga di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Baca juga : Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim
Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan, paradigma pembangunan pemerintah memang tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat Pulau Pari.
Ironisnya, perairan yang semula menjadi ruang tangkap nelayan maupun budi daya rumput laut kini sudah tertimbun material tanah maupun pasir. “Padahal, tahun 2020 nelayan Pulau Pari sudah pernah memberikan peta-peta pengelolaan ruang laut versi masyarakat ke berbagai stakholder. Namun, ini tidak pernah diakomodir oleh para pemangku kebijakan ini,” katanya.
Berdasarkan data KIARA, total luas area reklamasi di pesisir Indonesia mencapai lebih dari 35.000 hektare, dengan sekitar 2.700 hektare di antaranya berada di Jakarta.
Di tengah peningkatan suhu laut sebesar rata-rata 0,13 °C per dekade sejak 1980 menurut Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), perubahan pola angin serta cuaca ekstrem telah berdampak pada penurunan hasil tangkapan nelayan hingga 30 persen di beberapa wilayah pesisir.
Meski demikian, pemerintah justru memberikan izin lebih dari 40 proyek reklamasi di pesisir Indonesia, termasuk teluk Jakarta, yang menyebabkan penyempitan wilayah penangkapan ikan dan degradasi ekosistem laut.
Proyek reklamasi di Teluk Jakarta, misalnya, telah mengurangi area tangkapan nelayan hingga 15 persen, berdampak pada lebih dari 20.000 nelayan kecil di kawasan tersebut.
Baca juga : Janji Reklamasi Gubernur DKI Jakarta
Minim Perhatian Calon Pemimpin
Suci Fitria Tanjung, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta mengatakan, hingga saat ini masih sedikit calon pemimpin Jakarta yang benar-benar berjanji mengatasi permasalahan lingkungan di Jakarta, termasuk reklamasi ilegal dan dampak industri yang merugikan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Ironisnya, kata Suci, ada instansi pemerintah Jakarta yang bahkan mengakui mereka kerap lupa kalau Kepulauan Seribu adalah bagian dari Jakarta. “Dengan 25 persen angka kemiskinan di Kepulauan Seribu, masyarakatnya seharusnya menjadi bagian dari cara pikir calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya atas dampak negatif industri pariwisata dan kilang minyak Pertamina yang mencemari perairan Jakarta beberapa tahun lalu, menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
Selain itu, Suci mengkritik rencana pariwisata strategis nasional yang dikhawatirkan mengancam zona konservasi yang digunakan untuk penelitian di Kepulauan Seribu, termasuk cagar budaya seperti Pulau Kelor dan Pulau Onrust.
Padahal, tidak hanya sebagai cagar budaya, pulau-pulau tidak berpenghuni ini juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang bisa mengatasi krisis iklim yang semakin menghawatirkan. Karena tidak hanya hutan kota, kawasan konservasi pulau-pulau kecil ini mempunyai peran penting dalam mengurangi suhu, menyerap polusi, dan meningkatkan kualitas udara di perkotaan.
Tidak hanya itu, Suci beranggapan kebijakan pemerintah pusat yang mereduksi wewenang pemerintah daerah lewat Undang-undang Cipta Kerja membuat peran pemimpin Jakarta sangat krusial untuk melindungi warganya.
Ahmad Maulana alias Bang Lantur, Ketua Padepokan Ciliwung Condet berharap calon pemimpin Jakarta mampu memahami persoalan yang dihadapi masyarakat, termasuk persoalan lingkungan yang tidak hanya terjadi di sungai, namun juga di pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di Jakarta.
Menurutnya, pemimpin Daerah Khusus Jakarta perlu memprioritaskan solusi berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dan memperkuat upaya mitigasi serta adaptasi terhadap perubahan iklim demi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan warga.
Baca juga : Prinsip Keadilan Iklim Belum Melibatkan Kelompok Rentan di Jakarta
Debat Terakhir Pilkada Soal Lingkungan dan Perubahan Iklim
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah resmi menetapkan tiga pasangan calon untuk Pilkada Jakarta tahun 2024 yaitu Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil (RK)-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Dalam rangkaian pilkada DKI Jakarta itu, KPU bakal mengadakan debat ketiga atau debat terakhir untuk calon gubernur dan wakil gubernur Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta bakal digelar pada Minggu, 17 November 2024.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU DKI Jakarta, Astri Megatari, dalam keterangan tertulis, Rabu (13/11/2024) seperti dikutip Liputan6.com mengatakan debat ketiga akan membahas tema seputar ‘Lingkungan Perkotaan dan Perubahan Iklim’. Total, ada enam ruang lingkup yang akan diperdebatkan para pasangan calon.
Rinciannya mengenai penanganan banjir, penataan permukiman, penurunan emisi dan polusi udara, serta transisi energi terbarukan, pengelolaan sampah, ketersediaan air bersih, kota layak huni dan penataan ruang terbuka hijau. (***)
Masyarakat Pulau Pari, Bertahan di Tengah Berbagai Tantangan [2]