- Warga Desa Kepuh Legundi, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur menolak ekspansi tambak udang karena membahayakan ekosistem pesisir dan menyempitnya ruang tangkap perikanan nelayan setempat
- Nelayan kepiting Pulau Bawean mengaku pendapatannya berkurang sampai setengahnya, bahkan kesulitan menangkap ikan karena berkurangnya hutan mangrove sebagai habitat kepiting dan ikan
- Aktivitas tambak udang itu dianggap tidak sesuai prosedur karena tidak dilengkapi IPAL, perizinan ruang laut dari KKP dan lokasinya dinilai tidak sesuai dengan tata ruang Kabupaten Gresik
- Dinas Perikanan Kabupaten Gresik menindaklanjuti masalah ini dengan berkoordinasi dengan dinas terkait, mengenai peruntukan zonasi, perizinan dan prosedur perikanan budidayanya
Warga Pulau Bawean dan sejumlah anak muda yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Masyarakat dan Nelayan (AMMAN) kembali menggelar aksi unjuk rasa terkait potensi dampak pencemaran limbah tambak udang yang merusak ekosistem pesisir dan laut mereka pada pertengahan Oktober lalu.
Dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Tolak Tambak Udang”, mereka beraksi di kawasan pesisir yang sudah gundul yang direncanakan akan dibangun tambak udang insentif seluas tiga hektare di Desa Kepuh Legundi, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dalam aksi itu, Maqdiratul Marifah (26), koordinator AMMAN menjelaskan lahan yang semula rimbun dengan pepohonan itu telah dibuka dan diratakan dengan alat berat. Padahal lokasi itu merupakan tempat pendaratan perahu nelayan tradisional.
“Lihat alat berat disana itu untuk menghancurkan dan untuk bekerja demi kepentingan-kepentingan segelintir orang pengusaha tambak udang. Kita disini sebagai mahasiswa yang diamanatkan oleh masyarakat, diamanatkan oleh nelayan yang merasa dirugikan, dan merasa semua ini adalah kekacauan. Kita akan melawan disini! Tolak Tambak Udang!,” teriak Dira, sapaan akrab Maqdiratul dalam video pendek yang dirilis AMMAN.
Sebelumnya, aksi serupa juga mereka lakukan bersama puluhan nelayan dan warga lain, hanya saja untuk menghindari konflik aksi dilangsungkan di lapangan sepak bola yang jaraknya tidak jauh dari tambak yang akan dibuat.
Dira mengaku khawatir bila tambak udang beroperasi semakin masif di daerahnya. Sebab, selain lingkungan jadi bertambah rusak, ruang tangkap nelayan semakin menyempit dan dikhawatirkan memicu perselisihan antar warga yang pro dan kontra.
“Sekarang ini saja nelayan sudah was-was, karena akses jalan satu-satunya menuju ke perahu tidak bisa dilewati lagi,” katanya kepada Mongabay, Jum’at (18/10/2024)
Baca : Nelayan Tradisional di Tengah Eksploitasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pendapatan Nelayan Kepiting Menurun
Dampak aktivitas perluasan tambak udang itu dirasakan Nashiruddin (37), nelayan setempat. Dia gelisah karena luas hutan mangrove sebagai habitat kepiting tangkapannya semakin menyusut dari tahun ke tahun, sehingga populasi kepiting bakau pun bakal berkurang.
Dia bilang, sekali tangkap biasanya ia bisa mendapatkan 20 ekor kepiting. Namun, dalam beberapa tahun terakhir sudah sangat sulit mendapatkan 10 ekor kepiting. Padahal, di tempatnya harga kepiting cukup tinggi dibandingkan komoditas tangkap lainnya.
“Per ekor harganya bisa Rp15-20 ribu. Disini dihitung pertaneng, bukan per kilogram. Dalam pertaneng isinya 3-4 ekor itu dihargai Rp50 ribu,” katanya.
Kegelisahan Nashiruddin bertambah, sebab ikan yang merupakan tangkapkan sampingan dulu melimpah. Kini semakin sulit didapat semenjak hutan mangrove semakin berkurang.
“Awalnya air disini itu bersih. Sekarang ini sudah kotor dan bau karena ada pipa besar yang membuang ke laut dan menyebar. Tak hanya saya, teman-teman nelayan yang bisa menangkap cumi juga banyak yang mengeluhkan kondisi ini,” ujarnya.
Oleh karena itu dia bersama nelayan setempat lainnya bersikukuh menolak perluasan tambak udang di daerahnya.
Tak Sesuai Perda RTRW
Keberadaan tambak udang di Pulau Bawean berpenduduk sekitar 107.000 jiwa yang sangat meresahkan nelayan dan membahayakan ekosistem itu juga dinilai tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2025-2045.
Muhammad, Pendiri Perkumpulan Peduli Konservasi Bawean mengatakan, ketidaksesuaian tersebut didasari karena umumnya profesi penduduk Pulau Bawean merupakan nelayan dan petani.
Baca juga : Terbukti Merusak Lingkungan, Tambak Udang Ilegal di Karimunjawa Ditutup
Bahkan, karena keindahan alamnya, Pulau Bawean dibranding sebagai tempat wisata oleh Pemkab Gresik. Sehingga dia sangat menyayangkan adanya tambak udang di Pulau Bawean.
Lebih-lebih, tambak udang insentif yang ada di pulau itu tidak mematuhi prosedur yang sudah ditentukan. Ia menyebutkan, seharusnya tambak udang itu dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
“Kami sangat menyayangkan ketidaktegasan Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap peraturan daerahnya sendiri. Mestinya kan tidak boleh, karena peruntukan lahannya bukan untuk tambak udang,” ungkapnya saat dihubungi Senin (21/10/2024).
Selain tidak dilengkapi IPAL, lanjutnya, aktivitas tambak udang yang ada di Pulau Bawean juga disinyalir tidak mengantongi izin pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Selain berdampak pada nelayan, bila tidak dijalankan sesuai prosedur, aktivitas tambak udang ini akan berdampak jangka panjang pada sektor pariwisata. Bahkan, bisa menghilangkan satwa endemik lokal seperti rusa bawean.
“Jalan masuk ke pantai pasti tidak boleh. Belum lagi pencemaran yang ditimbulkan juga membuat air laut menjadi bau dan gatal-gatal di kulit. Potensi bawah laut juga pasti rusak,” katanya.
Untuk itu, ia secara tegas juga menolak adanya tambak udang di Pulau Bawean. Selain itu, ia juga mengajak para pihak agar betul-betul menjaga dan merawat sumber daya alam di pulau yang pernah dikuasai Pasukan VOC pada tahun 1743 ini.
Diklaim Tanpa Masalah
Sebelumnya, dikutip dari Radarjatim, Muhammad Ishadul Khaq, pengelola tambak udang vanamei CV. Arkhaq Putra di dusun Kepuh Legundi, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean mengatakan pihaknya telah melaporkan dan meminta izin Kepala Desa Kepuh Legundi pada tahun 2020 sebelum tambak beroperasi. Dan dia mengatakan tambak telah beroperasi selama lebih dari setahun sampai Agustus 2021 tanpa ada masalah.
Terkait dengan limbah dari budidaya tambak udang miliknya sudah membuat kotak filter air pembuangan sebelum air dari tambak dialirkan ke pembuangan kelaut melalui pipa pembuangan. Pihaknya juga telah menanam sekitar 1000 pohon mangrove di tepi pantai dekat tambak udang untuk kelestarian lingkungan.
Seiring berjalannya waktu, Ishadul Khaq yang merupakan anak Supardi, pemilik tambak udang itu yang berasal dari Rembang, Jawa Tengah, ingin memperluas usahanya dengan berencana membeli lahan seluas tiga hektare di desa sebelahnya.
Tetapi karena berita yang beredar tentang adanya pencemaran lingkungan yang disebabkan aktivitas tambak udang itu membuat sebagian masyarakat menolak rencana perluasan tambak udang milik CV. Arkhaq Putra.
Baca juga : Rusa Bawean, Si Gesit yang Tidak Suka Kehadiran Manusia
Akan Dikoordinasikan
Menanggapi persoalan tersebut, Dianne Hetty Widajatie, Kepala Bidang Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Perikanan, Dinas Perikanan Kabupaten Gresik mengungkapkan, pihaknya telah meminta tim lapangan berkoordinasi dengan pihak perangkat desa setempat untuk membuat laporan tertulis sebagai dasar untuk timnya bertindak.
Selain itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan dinas terkait seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Kabupaten Gresik untuk mengetahui kesesuaian zonasi untuk perikanan budi daya dalam RTRW Kabupaten Gresik.
Bila memang sesuai, lanjutnya, Dinas Perikanan Kabupaten Gresik biasanya akan meminta Nomor Induk Berusaha (NIB), dan harus memiliki pedoman Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Untuk mendapatkan label ini juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ketat.
Sedangkan terkait dengan laporan nelayan yang merasakan dampak pencemaran, ia mengaku tidak lepas tangan dan akan melakukan koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik, termasuk soal apakah tambak udang tersebut sudah memiliki IPAL atau belum.
“Kalau masalah lingkungan ini memang kita sepakat bahwa kita harus satu persepsi bahwa jangan sampai lingkungan itu tercemari. Sehingga ekosistem dari perairan tidak terganggu,” katanya saat dihubungi Mongabay, Senin (28/10/2024).
Dia bilang, pihaknya juga sangat mendukung bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.30/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan yang menyebutkan bahwa sekeliling Pulau Bawean merupakan kawasan konservasi perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
“Kalau misalnya rusak akan berdampak pada ketersediaan ikan tentunya. Tujuan akhirnya kan untuk kesejahteraan nelayan. Kami senang sekali Pulau Bawean ditetapkan menjadi kawasan konservasi oleh pemerintah pusat,” tandasnya. (***)
Lahan di Sumenep Terkapling-kapling dari Tambak Udang sampai Tambang Fosfat