- Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Kalimantan Tengah makin tak jelas. Proyek yang pemerintah gadang-gadang pengentasan krisis pangan dengan menanam sawah itu di lapangan malah jadi tanaman sawit perusahaan, dan sebagian jadi semak belukar.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, food estate di Kalteng itu makin meyakinkan kalau proyek pangan ini salah satu modus penguasaan lahan skala besar yang dapat merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat.
- Berdasarkan data Sawit Watch, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era pemerintahan Joko Widodo (2015-2024) sebesar 698.566 hektar atau 69.856,6 hektar pertahun. Lahan baku sawah jadi salah satu target utama perubahan alih fungsi jadi kebun sawit.
- Hana Saragih, dari Riset dan Advokasi FIAN Indonesia mengatakan, potret proyek food estate di Kalteng merupakan bagian dari kegagalan pemerintah mencari solusi atas ancaman krisis pangan. Padahal, solusi krisis pangan berada pada komunitas produsen pangan skala kecil, karena mereka mampu menyediakan dengan sumber daya terbatas.
Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Kalimantan Tengah makin tak jelas. Proyek yang pemerintah gadang-gadang pengentasan krisis pangan dengan menanam sawah itu di lapangan malah jadi tanaman sawit perusahaan, dan sebagian jadi semak belukar.
Pantau Gambut menemukan semak belukar di 12 dari 30 titik yang mereka kunjungi, sementara sebagian lahan terbuka untuk pencetakan sawah baru. Dari 18 titik terbuka, 15 terbengkalai, tiga titik berubah menjadi perkebunan sawit perusahaan.
Temuan terbaru Pantau Gambut menyatakan, 274,67 hektar lahan food estate di Desa Palingkau Asri, Palingkau Jaya, dan Tajepan, Kabupaten Kapuas jadi kebun sawit dengan area pembukaan baru pada April-Mei terdapat di Tajepan.
“Berdasarkan peta, lokasi itu untuk area ketahanan pangan. Faktanya ada sawit… Kami ada foto-foto yang menunjukkan lahan di Tajepan sedang disiapkan jadi sawit,” kata Juma Maulana, GIS Officer Pantau Gambut, dalam peluncuran riset terbaru di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan hasil pemantauan terdokumentasi, terlihat jelas sedang ada persiapan lahan dan penanaman sawit.
Dalam riset ini, Pantau Gambut melakukan pemantauan terhadap peta kerja proyek studi investigasi desain (SID) food estate Kalimantan Tengah yang Pemerintah Kalteng keluarkan. Area dalam peta kerja SID merupakan lahan yang akan jadi ekstensifikasi food estate yang sebagian besar berada dalam eks pembukaan lahan gambut (PLG) 1 juta hektar era Soeharto.
Di lahan ekstensifikasi sampai 16.643,6 hektar itu, Pantau Gambut menentukan 30 titik pemantauan spesifik di lahan eks-PLG. Perkebunan sawit ada di tiga titik sampel. Lahan yang jadi kebun sawit berada di dalam titik lokasi FE 19, 24, dan 27, sesuai peta kerja SID.
Semak belukar
Tak hanya jadi sawit, food estate sawah di Kalteng juga jadi semak belukar. Padahal, 2.945 hektar tutupan pohon sudah menghilang sepanjang 2022 di area food estate ini atau sama dengan luas 4.207 lapangan sepak bola.
Tutupan pohon hilang ini tersebar di 12 desa terdampak. Desa Pantai dan Mandomai, dengan kehilangan tutupan pohon luas.
Hasil analisis Pantau Gambut menemukan ekstensifikasi food estate di kawasan dengan tutupan pohon rapat. Bahkan, pembukaan terlihat melampaui batas yang ditentukan berdasarkan peta kerja SID, karena meluas ke kawasan sekitar.
Meskipun demikian, pembukaan ini tidak ditunjukkan dengan tanaman pangan. Dari 30 titik area eks PLG yang Pantau Gambut kaji, 18 titik mengalami pembukaan lahan. Dari 18 titik itu, 15 titik sudah terbuka kini terbengkalai sekitar 4.159, 62 hektar.
“Kalau proses dikerjakan, di wilayah-wilayah itu ada tanaman. Temuannya, sebagian besar semak belukar,” kata Wahyu.
“Artinya, selama tiga tahun ini tidak ngapa-ngapain.”
Masalah tidak berhenti di sana. Kegagalan food estate Kalteng, di wilayah lama ataupun lokasi ekstensifikasi terlihat dengan ketidaksesuaian lahan gambut untuk padi jenis irigasi atau tadah hujan.
Perlu usaha luar biasa untuk memaksa varietas itu tumbuh subur di lahan ekstensifikasi. Sekitar 4.207 hektar lahan gambut yang sudah dibuka itu harus ditaburi kapur atau dolomit. Ini harus dilakukan untuk menaikkan tingkah pH tanah dan menetralkan keasaman.
Pantau Gambut mengambil tiga dari lima blok lahan eks PLH sebagai sampel pemantauan kelayakan penanaman padi. Dari tiga blok seluas 243.216 hektar itu, Pantau Gambut menemukan hanya 1% yang benar-benar sesuai untuk lahan pertanian.
“Sudahlah… ngaku saja kalau (lahan) itu tidak sesuai. Sulit sekali dipaksakan untuk padi,” kata Wahyu.
Pantau Gambuzt menemukan hanya 10% dari 30 titik sampel yang memiliki kesesuaian tinggi untuk ditanami padi. Ada kecurigaan proses penetapan lahan ekstensifikasi tanpa pertimbangan matang dan hanya untuk memenuhi target cetak sawah baru.
Wahyu khawatir lahan gambut yang sudah terbuka dan dibiarkan terbengkalai itu akan memperparah potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selama ini sangat tinggi di Kalteng.
Gambut yang sudah terbuka dan terpapar matahari serta udara akan membuat ekosistem ini rusak dan mudah terbakar. “Pemerintah lagi-lagi keras kepala dan tidak mau belajar dari masa lalu.”
Alat penguasaan lahan skala besar?
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, food estate di Kalteng itu makin meyakinkan kalau proyek pangan ini salah satu modus penguasaan lahan skala besar yang dapat merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat.
“Proyek yang membangun kebun pangan ini tujuannya hanyalah penguasaan lahan,” katanya kepada Mongabay, 5 November lalu.
Food estate juga menguntungkan korporasi besar saja, sedang petani kehilangan fungsi sebagai produsen pangan.
Pemerintah, katanya, akan selalu gagal kalau bikin pangan hanya berpusat pada pertanian skala besar. Apalagi, masyarakat di sekitar proyek itu terpinggirkan dan karakteristik wilayah tidak jadi pertimbangan mendasar. Belum lagi, katanya, perusahaan yang menangani food estate tidak punya pengalaman mengelola lahan gambut dengan baik.
“Dari pengalaman ,perusahaan-perusahaan ini hanya memiliki jejak kerusakan gambut. Terutama kanalisasi yang jadi penyebab utama ekosistem gambut rusak.”
Menurut dia, negara harus bertanggung jawab atas proyek food estate gagal di Kalteng, terlebih ada yang jadi kebun sawit perusahaan. Dia bilang, negara harus menindak tegas kepada perusahaan yang sudah buka kebun sawit di situ.
Dia mendorong, pemerintah evaluasi food estate yang masuk proyek strategis nasional di Kalteng ini. Perusahaan yang bangun kebun sawit itu juga perlu ditindak secara hukum.”
Modus lama
Alih fungsi lahan pangan jadi kebun sawit bukan barang baru. Satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo, banyak praktik itu terjadi di Indonesia.
Berdasarkan data Sawit Watch, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) sebesar 698.566 hektar atau 69.856,6 hektar pertahun. Lahan baku sawah jadi salah satu target utama perubahan alih fungsi jadi kebun sawit.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, apa yang terjadi di food estate Kalteng itu memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pemerintah sepertinya tidak punya kekuatan meminimalisir alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit.
Hal itu sejalan dengan riset yang mereka lakukan selama Jokowi memimpin Indonesia. Walaupun pemerintah memiliki kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), katanya, lahan pangan adalah salah satu wilayah yang sangat mudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Padahal, kata Achmad, ketika lahan pangan sudah menjadi PLP2B, tidak boleh ada perubahan alih fungsi, baik itu perkebunan sawit, infrastruktur bahkan pengembangan kawasan industri. Kebijakan PLP2B sudah menjadi Peraturan Daerah (Perda) di setiap daerah.
Ironisnya, katanya, kebijakan itu seperti jadi pajangan saja, tidak ada praktik di lapangan. Fenomena ini yang kemudian ditemukan Sawit Watch selama Jokowi menjabat, dan itu tidak hanya terjadi di proyek food estate, tetapi proyek pangan lainnya yang dibuat oleh pemerintah.
“Konversi lahan pangan menjadi perkebunan sawit seharusnya tidak terjadi dengan adanya kebijakan PLP2B. Namun, di lapangan kita menemukan banyak praktik itu,” kata Rambo.
Dia melihat apa terjadi pada proyek food estate di Kalteng sebagai contoh bagaimana konversi lahan pertanian terbukti beralih fungsi jadi kebun sawit.
Menurut dia, kalau praktik itu tidak ada tindakan pemerintah, lahan proyek pangan akan jadi perkebunan sawit.
Giorgio Budi Indrarto, Deputy Director, Yayasan Madani Berkelanjutan berpikir serupa. Dia khawatir, lahan pangan yang kena serobot perkebunan sawit itu akan mengganggu sistem pangan Indonesia. Untuk itu, perlu ada pembenahan menyeluruh.
Dia bilang, kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi tidak memperbaiki kondisi pangan, justru makin mengkhawatirkan.
Kalau era Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ingin mengatasi persoalan pangan, katanya, harus melakukan hal rkebalikan dengan Jokowi. Proyek pangan, katanya, harus menjadikan penghasil pangan skala kecil sebagai subyek.
“Diikuti dengan pengaturan sumber-sumber agraria bagi masyarakat serta mengunci anggaran untuk kedaulatan pangan sebagai bentuk komitmen berkelanjutan guna mengatasi persoalan pangan saat ini,” kata Giorgio melalui rilis yang Mongabay peroleh.
Terbukti gagal
Hana Saragih, dari Riset dan Advokasi FIAN Indonesia mengatakan, potret proyek food estate di Kalteng merupakan bagian dari kegagalan pemerintah mencari solusi atas ancaman krisis pangan.
Padahal, katanya, solusi krisis pangan berada pada komunitas produsen pangan skala kecil, karena mereka mampu menyediakan dengan sumber daya terbatas.
FIAN Indonesia menilai, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan proyek pengembangan pangan skala besar itu gagal mengatasi ancaman krisis pangan di Kalteng.
Pertama, mega proyek food estate ini tidak menggunakan perspektif hak atas pangan dan gizi sebagai landasan kebijakan. Food estate yang kemudian disebut sebagai kawasan sentra produksi pangan lebih untuk penyediaan cadangan pangan dan ekspor.
Kedua, praktik pengabaian hak atas tanah dan sumber daya alam. Di semua lokasi proyek lumbung pangan, baik di Mantangai Hulu, Kalumpang (Kabupaten Kapuas), maupun di Gunung Mas (Sepang Kota dan Tewai Baru), tak pernah ada konsultasi publik bahkan sosialisasi mengenai food estate.
Hana bilang, pemerintah jalankan proyek dengan pendekatan top-bottom, atau tidak ada upaya memastikan perlindungan akses dan kontrol atas tanah dan sumber daya. “Seperti tidak ada menanyakan status tanah yang masuk dalam plot proyek menurut versi penduduk setempat.”
Dua penyebab itu, katanya, berdampak cukup serius terhadap tiga kehidupan masyarakat setempat. Pertama; penghancuran sistem pangan lokal secara sistematik yang membuat hilangnya tradisi “menyeha tanah” sebagai larangan bakar untuk menyiapkan ladang.
“Ketergantungan pangan pokok dari pasar akhirnya menjadi pilihan satu-satunya, karena penanaman dan pengembangan benih lokal terhenti akibat petani tidak lagi bisa berladang,” kata Hana kepada Mongabay, 5 November lalu.
Kedua, infiltrasi agro toksik atau bahan kimia pertanian. Dengan larangan membakar, pemerintah lebih leluasa mempromosikan pertanian yang menggunakan bahan kimia pertanian dan benih hibrida sebagai cara bertani ‘lebih aman’.
Ketiga, perluasan pangan ultra proses (ultra process food). Misal, awalnya, mie instan tak jadi beban ketika dibeli berubah jadi beban pengeluaran rumah tangga yang dikeluhkan ibu-ibu setiap hari. Karena beras tak lagi produksi sendiri dan harus beli.
Untuk menghemat uang belanja dan waktu memasak, karena kerja harus tambah banyak untuk mendapatkan uang tunai, mie instan dan penyedap rasa sintetis menjadi pilihan utama. Dampaknya, gizi masyarakat perlahan dikendalikan korporasi pangan melalui konsumsi mie instan.
Fenomena itu sangat jelas terlihat dalam penelitian FIAN Indonesia dengan empat organisasi lainnya dengan judul “Memantau Hak Atas Pangan dan Gizi Seputar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah” yang terbit Desember 2022.
Bukan jawaban atasi krisis pangan
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, proyek food estate bukan jawaban pemenuhan pangan nasional, atau krisis pangan. Proyek ini terbukti selalu gagal, dan hanya menimbulkan kontroversi serta masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang terjadi di Papua.
Anehnya, kata Dewi, meskipun menuai masalah, dari perencanaan hingga pelaksanaan, pemerintah tetap mengulang proyek pengembangan pangan skala besar dengan dalih krisis pangan. Padahal, katanya, mega proyek itu justru menyebabkan konflik agraria dan ketimpangan tanah.
Dewi memberitahukan empat bahaya mendasar kehadiran proyek food estate ini. Pertama, masalah politik pangan, proyek ini bertujuan menggantikan petani sebagai produsen pangan dengan korporasi besar, yang mengancam ketahanan pangan rakyat.
Kedua, akan terjadi perampasan tanah, seperti i di Papua dan Merauke. Ketiga, kerusakan lingkungan karena pembukaan hutan dan penebangan kayu untuk proyek food estate.
Dewi bilang, food estate akan merusak alam dan habitat satwa, serta berdampak langsung pada masyarakat Papua yang bergantung pada tanah dan hutan untuk hidup mereka.
Keempat, kegagalan yang terus berulang dalam setiap proyek food estate. Sejak era Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Jokowi, proyek-proyek besar ini selalu gagal mencapai tujuan, malah menyisakan masalah agraria, deforestasi, dan kerusakan sosial-ekonomi.
Alih-alih untuk ketersediaan pangan, katanya, proyek ini berpotensi kembali menjarah hutan, merusak lingkungan, dan memperburuk ketimpangan agraria.
Pemerintah, katanya, harus belajar dari kegagalan ini dan mengubah arah kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan sama.
“KPA mendesak pemerintah baru keluar dari kemelut dan legacy buruk food estate dengan solusi lebih adil dan berkelanjutan,” kata Dewi dari siaran pers.
Proyek food estate, katanya, hanya menguntungkan elit politik dan bisnis, sedang tanah rakyat jadi “ladang permainan” dengan dalih ketahanan pangan.
Dia mendesak, pemerintahan baru segera mencabut kebijakan food estate dan mengganti dengan reforma agraria sejati untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi petani.
Reforma agraria, katanya, akan menjadi jalan menciptakan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Sedang food estate, katanya, adalah legacy dari pemerintahan sebelumnya, yang terbukti gagal dan merugikan petani serta rakyat kecil.
“Ini harus dihentikan dan gantikan dengan kebijakan yang mendukung petani sebagai pilar utama pembangunan pangan.”
*********