- Pendanaan iklim masih akan jadi bahasan serius dalam konferensi perubahan iklim (Conference of the Parties/COP) 29 di Baku, Azerbaijan. Berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia menekankan pentingnya perubahan sistem pendanaan yang selama ini tidak tepat sasaran, antara lain, dominan ke mitigasi, timpang buat adaptasi.
- Tory Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, mengatakan, akses pendanaan juga jadi masalah. Upaya mengakses pendanaan, melelahkan dan rumit. Perlu bertahun-tahun persiapan terhadap akses pendanaan dan menjadi protes negara berkembang.
- Mengacu pada laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) 2023, investasi proyek berbasis alam hanya US$200 miliar. Nilai kecil dibandingkan investasi dana publik dan swasta yang mengucur ke perusakan alam dan keanekaragaman hayati yang mencapai US$$7 triliun. Dana itu antara lain untuk pembangunan pembangkit listrik berbahan baku fosil, dan perang di Ukraina serta konflik di Palestina.
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti bentuk pendanaan iklim terutama untuk adaptasi, sebaiknya jangan berupa utang tetapi hibah. Belum lagi soal alokasi dana, terbesar untuk mitigasi, buat adaptasi masih kecil. Selain itu, buat loss and damage, perlu ada sistem jelas terkait siapa yang bayar dan menerima. “Harus ada reformasi arsitektur pendanaan global.”
Pendanaan iklim masih akan jadi bahasan serius dalam konferensi perubahan iklim (Conference of the Parties/COP) 29 di Baku, Azerbaijan. Berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia menekankan pentingnya perubahan sistem pendanaan yang selama ini tidak tepat sasaran, antara lain, dominan ke mitigasi, timpang buat adaptasi.
Tory Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, mengatakan, COP29 sebagai financial moment. Ada masalah dalam pendanaan iklim lantaran proyeksi kebutuhan membengkak lebih US$100 miliar per tahun seperti yang dicanangkan dalam COP15 di Copenhagen pada 2009.
“Hitungan dari Standing Committee on finance memperkirakan kebutuhan pendanaan iklim global setiap tahun hingga 2030 mencapai US$8 triliun,” kata Tory.
Hal itu berdasarkan perhitungan terhadap nationally determined contribution ( NDC) tiap negara dan berbagai laporan UNFCCC.
Estimasi itu, katanya, menunjukkan kebutuhan pendanaan iklim terus membesar, terutama menyasar kerusakan dan kehilangan (loss and damage) karena perubahan iklim.
Selama ini, pendanaan iklim terlalu berfokus pada mitigasi dan adaptasi dengan dominasi keperluan mitigasi, lantaran indikator kebutuhan lebih mudah terukur daripada pendanaan adaptasi.
“Kalau berdasarkan Paris Agreement, harusnya 50:50, tapi adaptasi ini kerap jadi anak tiri. Sekarang, ada anak baru yang lahir, loss and damage.”
Lalu, muncul pula keperluan pendanaan terhadap alam yang teintegrasi dengan perlindungan keanekaragaman hayati. Pendanaan ini perlu untuk perlindungan dan rehabilitasi alam serta kawasan ekosistem hutan.
Mengacu pada laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) 2023, investasi proyek berbasis alam hanya US$200 miliar. Nilai kecil dibandingkan investasi dana publik dan swasta yang mengucur ke perusakan alam dan keanekaragaman hayati yang mencapai US$$7 triliun.
Dana itu antara lain untuk pembangunan pembangkit listrik berbahan baku fosil, dan perang di Ukraina serta konflik di Palestina.
Tory mengatakan, sudah ada perhitungan terkait emisi perang di Ukraina dan invasi Israel ke Palestina yang menunjukkan setara seluruh emisi Bahrain selama ini.
“Ini memusingkan. Karena kita kejar angka tertentu untuk pembiayaan iklim. Sisi lain ada investasi-investasi seperti ini yang menghancurkan lingkungan.”
Masalah lain dari pendanaan adalah akses. Upaya mengakses pendanaan, katanya, melelahkan dan rumit. Perlu bertahun-tahun persiapan terhadap akses pendanaan. “Inilah yang menjadi protes dari negara berkembang.”
Penunjukkan berkali-kali Bank Dunia sebagai wali amanah pun, kata Tory banyak kena protes negara berkembang. “Sisi lain, ada riset yang menunjukkan penerima manfaat adalah swasta besar. Memang yang di-apporve adalah negara, tapi penerimanya korporasi swasta besar.”
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti bentuk pendanaan iklim terutama untuk adaptasi, sebaiknya jangan berupa utang tetapi hibah. Belum lagi soal alokasi dana, terbesar untuk mitigasi, buat adaptasi masih kecil.
Selain itu, buat loss and damage, katanya, perlu ada sistem jelas terkait siapa yang bayar dan menerima. “Harus ada reformasi arsitektur pendanaan global.”
NDC kedua
Masyarakat sipil juga menilai COP29 sebagai momentum Indonesia menunjukkan komitmen terhadap aksi pengendalian krisis iklim. Dalam ajang ini, Indonesia dengan pemerintahan baru akan memasukkan dokumen NDC kedua.
Berdasarkan informasi yang masyarakat sipil dapatkan, submisi NDC kedua awalnya sebelum pelantikan Presiden Prabowo, namun ditunda. Yang terbaru, COP29 akan menjadi momentum pemerintahan baru menunjukkan komitmen iklim mereka.
Penyerahan dokumen ini memiliki tenggat di akhir 2024. Masyarakat sipil memprediksi tidak akan ada perubahan signifikan dari draf yang sudah disiapkan sebelum Prabowo dilantik, sekalipun ada perbedaan mendasar dalam RPJMN terkait pandangan pemerintah saat ini dengan komitmen iklim.
“Kita (masyarakat sipil) belum mendapatkan dokumennya secara resmi, jadi kami tidak bisa menilai ini bagus atau tidak. Tapi setidaknya kami sudah memberikan masukan sesuai yang jadi concern kita,” ucap Nadia.
Dia mengapresiasi keterbukaan pemerintah terhadap masukan masyarakat sipil. Langkah ini jadi cara supaya komitmen iklim Indonesia lebih memberi tempat bagi suara masyarakat sipil.
Sejauh ini, kata Nadia, sebanyak 64 organisasi masyarakat sipil memberi masukan pada pemerintah dalam NDC kedua, termasuk masyarakat adat, perempuan, anak-anak, petani, nelayan dan kelompok disabilitas.
“Ini penting. Agar implikasinya pada kebijakan-kebijakan turunannya.”
Untuk emisi, belum ada kejelasan resmi terkait target penurunan secara nasional. Pada NDC terakhir 2022, pemerintah mencantumkan untuk pengurangan emisi karbon sebesar 915 juta ton setara CO2 atau 31,89% dari total proyeksi emisi karbon pada 2030. Angka ini akan naik menjadi 1.240 juta ton setara CO2 atau 43,2% dari total proyeksi emisi 2030 kalau mendapat dukungan kerjasama internasional.
Sejauh ini, masukan masyarakat sipil terkait kelompok rentan, kata Nadia sudah diterima pemerintah. Namun, dia berharap, perubahan situasi politik di dalam dan luar negeri, termasuk naiknya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, tidak akan mengubah banyak NDC Indonesia dan keberpihakan terhadap kelompok rentan.
Sementara Eka Melisa, Direktur Perubahan Iklim Kemitraan mengatakan, Indonesia perlu mempertimbangkan peran negara yang bersekutu dalam BRICS. Apalagi, pemerintah baru sudah menyatakan keinginan bergabung di dalamnya.
“Kita perlu melihat konstelasi pendanaan iklim. Siapa yang mendanai, bagaimana memanfaatkan jaringan ekonomi negara-negara BRICS untuk kepentingan Indonesia,” katanya.
BRICS merupakan organisasi ekonomi dengan pemrakarsa Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan. Organisasi ini berupaya mendorong perubahan sistem keuangan global dari dominasi negara barat saat ini.
“BRICS ini kebanyakan developing countries yang sebetulnya penangkap pendanaan iklim terbesar,” kata Eka.
*******
Menyoal Dana Iklim ‘Loss and Damage,’ Bagaimana Peluang Indonesia?